Piala Eropa atau biasa di sebut Euro telah bergulir dengan menyuguhkan partai pembuka antara tuan rumah Prancis melawan Rumania yang berkesudahan 2-1 bagi keunggulan tuan rumah. Dalam sepak bola, banyak yang sepakat mengenai istilah “bola itu bundar”, karena di dalam sepak bola semuanya tidak bisa berjalan dengan pasti.
Sebut saja kemenangan Leicester City beberapa waktu lalu di kompetisi domestik Inggris. Klub besutan Claudio Ranieri ini berhasil memutus dominasi “The Big Four” yaitu Manchester United, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool. Kemenangan tersebut mengingatkan kita bahwa sepak bola tidak selalu berbicara soal kekuatan finansial semata.
Disamping semboyan “bola itu bulat” dunia sepak bola juga mengenal mitos. Ya, mitos yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib, selalu identik dengan sepak bola.
Mitos yang berkembang di Liga Inggris adalah siapapun yang memenangkan Community Shield akan menjadi jawara Liga Premier Inggris. Mitos lainnya yang sering di dengar oleh masyarakat sepak bola soal siapapun yang mampu mengalahkan Barca di Liga Champion akan menjadi penguasa daratan biru, tetapi hal ini berhasil di patahkan oleh Real Madrid. Si putih berhasil melumat tim sekotanya Atletico Madrid lewat drama adu pinalti, walaupun Atletico berhasil menjegal langkah Barca di fase quarter final. Memang mitos itu tidak selalu benar tetapi banyak penikmat sepak bola percaya akan hal tersebut, lalu apa mitos di Euro 2016 Prancis? Mari kita simak.
Mitos baik menghampiri Tim Ayam Jantan sebutan Prancis. Tim tuan rumah perhelatan turnamen akbar empat tahunan ini memiliki mitos tersendiri di ajang Euro. Prancis merupakan salah satu negara unggulan sekaligus salah satu negara pengoleksi piala terbanyak dengan torehan dua kali mencatatkan namanya dalam sejarah pemenang tropy bergengsi di Benua Eropa.
Tim besutan Didier Deschamps memenangkan piala ini pada tahun 1984 yang di selenggarakan di Prancis dan Piala Eropa 2000 di Belgia-Belanda. Deschamps menjadi aktor keberhasilan Prancis memenangkan Pala Eropa, karena dirinya menjadi kapten di tim yang selalu mengenakan Baju Biru sebagai Jersey kebesarannya pada dua perhelatan tadi.
Ada jarak selama 16 tahun bagi Negara asal legenda sepak bola Zinedine Zidane untuk mengangkat piala tersebut. Jika di hitung tahun ini, 2016 adalah saatnya bagi Prancis untuk mengangkat Tropy ketiganya di benua biru.
Jika memang tahun ini negara yang beribukota di Paris tersebut menang, artinya mereka berhasil mengulang memori indah tahun 1984. Fakta lain dari pagelaran Liga Eropa kali ini dengan tahun 1984 adalah Belanda tidak lolos ke perhelatan akbar ini. Pada tahun 1984 Negi Kincir Angin hanya mampu mengemas 13 poin di babak kualifikasi, hasil ini sama dengan kualifikasi Liga Eropa tahun ini dimana “The Oranje” julukan Belanda harus puas sebagai penonton dalam turnamen kali ini.
Bukan hanya itu, kegemilangan Hugo Lloris bisa menjadi kunci sukses Prancis di ajang Piala Eropa. Jika di telisik lebih dalam, rata-rata kiper yang memenangkan gelar Piala Eropa berusia 29 tahun. Contohnya saja, kiper nomor satu Prancis tahun 2000, Fabien Barthez. ketika mereka memenangkan Piala Eropa kiper berkepala plontos tersebut tengah berada di usia 29 tahun. Uniknya jika Lloris dan Prancis mencapai puncak, usia kiper asal Tottenham itu akan berusia 29 tahun 198 hari.