Lihat ke Halaman Asli

Diaz Abraham

TERVERIFIKASI

Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Inilah “Tradisi” Anak Muda di Bulan Ramadan yang Tergerus Zaman

Diperbarui: 9 Juni 2016   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadan menjadi bulan yang paling di tunggu oleh Umat Islam di seluruh Dunia, di bulan ini para pemeluk Agama Islam percaya akan datang rahmat yang luar biasa dari Tuhan. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan di bulan tersebut.

Penduduk Indonesia sebagai pemeluk Agama Islam terbesar di dunia memiliki berbagai macam cara untuk menyambut bulan penuh rahmat ini. Ada beberapa keluarga langsung mengecat rumahnya untuk memperindah tampilan menyambut bulan suci serta hari besar Umat Islam setelahnya, yaitu Lebaran Idul Fitri.

Saya teringat ketika berusia 7 tahun, melihat sekumpulan pemuda sedang menggulung sarungnya, bukan menggulungnya di pinggul tetapi di bentuk menjadi semacam pecut atau di lipat ujung sarungnya menjadi gumpalan. Yak, itulah senjata mereka untuk bertempur.

Gerombolan orang tersebut mayoritas laki-laki, mereka berkumpul sesuai domisilinya atau daerah rumahnya untuk bertarung melawan gerombolan kampung lain. Pertarungan kedua kelompok itu di sebut perang sarung, bahasa itu yang biasa di gunakan.

Gerombolan itu terdiri dari berbagai usia, yang paling tua remaja, orang inilah yang menjadi “jendral” dalam pertarungan itu. Sedangkan yang paling kecil adalah anak SD sebagai peramai dalam pertarungan. Anak kecil ini biasanya digunakan sebagai pemancing lawan untuk menyerang.


Beberapa tahun berselang, “tradisi” itu tetap eskis, bahkan waktu pertarungan yang awalnya di lakukan saat Shalat Taraweh bertambah menjadi saat Shalat Subuh . Mereka, para pemuda yang melakukan tradisi tersebut sering meninggalkan Shalat Taraweh, mereka “kabur” dari mushola atau mesjid menuju arena pertarungan saat sujud.

Pertarungan yang meresahkan warga tersebut sering kali membawa kerugian batu-batu yang digunakan melempari musuh sering nyasar ke rumah warga atau mobil maupun motor yang melintas. Tak jarang pemilik rumah keluar dan memarahi para pemuda. Kadang amarah empunya rumah itu tak di gubris dan di anggap angin lalu.

Korban dari kedua belah pihak yang bertikai juga ada mulai dari memar maupun pendarahan di kepala. Pihak kepolisian tak jarang turun tangan untuk meredam pertikaian antara kampung yang bersebelahan tersebut. Tetapi pengawasan kepolisian tidak ketat sehingga peristiwa ini sering terjadi dan terus berulang tahun demi tahun.

Kebiasaan buruk ini menjadi sebuah tradisi bagi anak muda di berbagai daerah. Tetapi tahun ini sepertinya “pertarungan” itu sudah sulit di jumpai. Misalnya saja di tempat penulis tinggal, setiap tahun selalu ada perang sarung tetapi tahun ini pergerakan anak muda tidak ada. Setiap malam setelah Shalat Teraweh tidak ada gerombolan anak muda dan teriakan “satu, dua , tiga” yang sering di teriakan kedua kubu untuk mengambil ancang-ancang penyerangan.

Menurut seorang warga bernama Aldi, pertarungan itu sudah berlang sangat lama dan musuh kampung tempat tinggal penulis tetap sama “dari jaman bapak gua juga udah mulai tuh tempur sarung gak tau dah kenapa pada tempur,” katanya. Aldi menuturkan bahwa ada sensasinya sendiri dalam pertaruingan antar kampung tadi “asik sih itung-itung olah raga, macu adrenalin juga kan apa lagi kalo ada polisi hahaha,” sambungnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline