Beberapa waktu yang lalu Menteri Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru terkait skripsi yang tidak lagi diwajibkan sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa. Bagi penulis mendengar berita ini seperti flashback ke masa saat kuliah tahun 2019. Saat itu penulis sedang mengampu semester 7 yang tandanya sebentar lagi akan menghadapi pembuatan skripsi.
Saat itu salah satu dosen yang menjabat juga sebagai ketua prodi mengatakan sebuah harapan yang sangat releate dengan kebijakan menteri pendidikan hari ini. Beliau berkata seandainya skripsi dihapuskan dan diganti saja dengan sebuah karya yang menjadi minat masing-masing mahasiswa. Bagi beliau skripsi tak lebih dari sekumpulan kertas yang nasibnya jika tidak menjadi pajangan di rak perpustakaan maka akan berakhir di truk pembuangan barang loak. Tak ayal ketika banyak kertas-kertas skripsi, dokumen atau karya ilmiah lainnya beralih fungsi menjadi bungkus gorengan.
Selain karena aspek diatas, beliau juga mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu krisis karya dari anak muda. Sehingga dari dihapuskannya skripsi beliau mengharapkan mahasiswa lebih fleksibel mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat selama perkuliahan. Kebebasan ekspresi ini yang dibutuhkan mahasiswa untuk melahirkan karya-karya besar yang tidak hanya berdampak saat ini juga untuk masa yang akan mendatang. Masih teringat satu kalimat pemungkas karya itu akan abadi sepanjang masa jika dibandingkan dengan tumpukan skripsi yang dilupakan begitu saja.
Namun disisi lain penulis juga mendapat perspektif lain yang justru bersebrangan dengan pendapat diatas. Ditengah skripsi yang sering menjadi momok bagi mahasiswa salah satu dosen justru memandang lebih banyak sisi positif terhadap salah satu karya ilmiah ini. Bagi dosen ini skripsi bukan hanya pekerjaan paksaan yang harus dilakukan mahasiswa demi menuntaskan syarat kelulusan dan secarik lembar ijazah. Dosen ini memandang bahwa yang menjadi titik penting dalam skripsi itu bukan hasilnya tapi prosesnya.
Bagi dosen tersebut proses yang dilalui mahasiswa dalam mengerjakan skripsi ini banyak membentuk mental atau karakter yang positif. Melalui pembuatan skripsi ini mahasiswa diajak secara langsung dalam mempraktekan ilmu kehidupan yang justru tidak diajarkan di kampus secara akademik.
Pertama, dalam pemilihan judul mahasiswa diajarkan untuk memiliki sikap memilih dan mengajak logikanya untuk berperan lebih dalam untuk berpikir kritis untuk melihat fenomena dan fakta sosial yang menjadi pemasalahan di lapangan.
Kedua, dalam menyusun skripsi tentu terdapat beberapa bab yang harus dikaji secara berurutan dan secara tidak langsung mahasiswa belajar bagaimana berpikir dan bertindak sistematis dalam merumuskan sebuah masalah. Ketiga, setelah mahasiswa berhasil menyusun karyanya, mereka harus menghadapi ujian proposal dan skripsi. Tentu dalam prosesnya mahasiswa diajarkan untuk memiliki argument atas apa yang menjadi pilihannya. Selain itu juga mahasiswa diajarkan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas sumber-sumber data yang didaptkan dan merepresentasikan data tersebut secara lugas dan jujur tanpa ada unsur manipulatif. Terakhir pembelajaran yang didapatkan mahasiswa yaitu skripsi sebagai tanda kerja keras mereka dihargai oleh secarik kertas yang dikemudian hari diharapkan dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Jadi menurut dosen tersebut skripsi itu dinilai memiliki posisi yang penting dalam kegiatan akademik.
Terlepas dari kedua pendapat yang bersebrangan penulis hanya ingin mengambil kesimpulan dari sisi positifnya. Bagi penulis dihilangkan atau tidaknya skripsi sebagai syarat kelulusan akademik kembali lagi disesuaikan dengan pilihan dan kenyaman dari masing-masing mahasiswa. Sebagaimana budaya Negeri Indonesia yang beragam ini tentu masyarakat dan perorangannya pun lebih beragam. Maka sangat jelas kita tidak bisa menyamaratakan suatu ideologi yang sama diterapkan pada semua orang karena sangat jelas manusia satu dengan yang lainnya berbeda. Namun perlu digaris bawahi tidak menyamaratakan ideologi ini berada pada tatanan kajian yang positif. Tentu jika salah satu diantara kedua ideologi ada yang salah maka ideologi tersebutlah yang harus dibuang dan disamaratkan dengan ideologi yang baik.
Jadi apakah kebijakan dihilangkannya skripsi menjadi solusi atau malah menjadi masalah baru ? tentu hal ini dikembalikan lagi pada pihak kampus untuk mempertimbangkan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan dari mahasiswanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H