Lihat ke Halaman Asli

Jejak Langkah [episode 1]

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Temaram sinar bulan menyelinapi bilik mungil milik Aira. Merenggut mimpi indah yang tengah Aira nikmati. Dengan malas Aira singkapkan selimut lusuh yang selalu setia membungkus tubuh mungilnya, melangkah gontai memenuhi panggilan sang bulan menuju tirai putih menjuntai di sudut kamarnya. Aira menyibak tirai itu, perlahan tubuhnya lunglai, jatuh bersimpuh di lantai dingin kamarnya. Aira menatap sendu bulan sabit yang melengkung indah itu sembari berbisik..., "Bulan..., mengapa kau tak pernah berhenti menggangguku?" ** Aira bergegas merapikan blouse dan rok a-line kembang kesayangannya. Siang ini Aira akan menemui salah seorang klien di restorant pinggiran kota. Atasan Aira mendadak dinas luar, hingga tugas untuk melobi klien penting inipun ditugaskan padanya. Ini kali pertama Aira berhadapan langsung dengan klien, sebelumnya Aira hanya melakukan transaksi melalui telephon ataupun email. Jadi tak heran jika Aira merasa keder, tidak percaya diri. Setelah semua berkas dan detail design produk andalan perusahaan tersusun rapi dalam binder, Aira pun meluncur di jalan kota ditemani sopir kantor, menuju daerah pariwisata, pantai Senggigi. Disambut oleh receptionist cantik nan ramah membuat jantung Aira semakin berdegup kencang. Grogi, ketakutan! Membayangkan kegagalan mempresentasikan produk perusahaannya, membuat kaki Aira lemas tak bertenaga. Aira membayangkan tengah menjejaki ribuan duri tajam walau dihadapannya terhampar petak ubin marmer berlapiskan pasir putih nan memukau. Ketakutan yang Aira rasakan begitu berlebihan, ia merasa tak nyaman dengan tugasnya kali ini. Terlebih teringat semalam, kunjungan sinar bulan yang memaksanya tak sanggup memejamkan mata, hingga pagi menjemput. "Mbak Aira ya? pak Bagus telah menunggu anda, silahkan." seorang waitress mempersilahkan Aira memasuki taman kecil di bibir pantai yang sangat rindang. Aira menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkah kakinya mendekati sosok pria yang tampak tengah asyik membolak-balikan harian Lombok Post, salah satu tabloid andalan kota Mataram. "Maaf, selamat siang." Sapa Aira dengan sopan. Laki-laki dihadapan Aira itu pun menurunkan dan melipat koran yang tengah dibacanya. Ia mengangkat wajahnya. "Bapak Bagus...?" Aira mengulurkan tangannya, mereka bertatapan... "Saya...," belum sempat Aira memperkenalkan dirinya, pria dihadapannya ini berdiri dan menatap Aira dengan lekat... "Airaaa.. Aira Hasni??!" dia menyebut nama lengkap Aira dengan nada suara tertahan. Aira tersenyum, ditatapnya dengan ramah klien pertamanya ini..., namun seketika itu juga Aira tersentak kaget! Jantung Aira seolah berhenti berdetak, tanpa sadar Aira mendesis.... "Baagus....?" Hening.... Dengan cepat Aira menurunkan tangan yang ia sodorkan barusan. Ketika tatapan mereka kembali beradu.. Aira merasakan tubuhnya mengigil... Aira membalikkan tubuhnya, tak sanggup berlama-lama memandang pria itu. Setengah berlari Aira ingin cepat-cepat meninggalkan restoran ini. Aira tak lagi memikirkan nasib proposal yang akan dipresentasikannya, tak perduli jika ia harus kehilangan mata pencahariannya! Sedangkan di belakang Aira, pria yang bernama Bagus itu pun mengejar Aira tak kalah cepatnya. Dengan satu hentakan, Bagus menarik lengan Aira, mencengkeram kuat lengan Aira yang meronta-ronta. "Bagus, lepassssin!" jerit Aira histeris. "Airaa..." Lembut suara Bagus menembus relung hati Aira. ** Bulan.... Inikah pertanda hadirmu semalam? Datangi aku, tunjukan hadirnya, kembali dalam hidupku? Kau jahat Bulan! Aku tak inginkan ini, sungguh! Hadirnya hanya melepuhi luka hatiku yang terus menganga Tak jua mengering, meski sinarmu telah berulang-ulang, Meredup... di ujung malam.... To be continue....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline