Lihat ke Halaman Asli

Adrian Diarto

TERVERIFIKASI

orang kebanyakan

Puisi | Lorong Sewarna Tembaga

Diperbarui: 3 Mei 2019   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sinar matahari mewarna tembaga di pohon-pohon jati
Melorong-memanjang, menghangatkan sore yang sepi

"Akan kulewatkan barang seminggu di rumah berdinding bukit," katamu tentang sore
 
"Tetapi selalu saja waktu serasa berdesak-himpit," kutemui senyum serupa keluhan di dekat sepasang mata murammu

Aku berhenti di antara sore yang melorong sewarna tembaga di sisi jauh
Matahari sepertinya sedang bermain di antara pohon-pohon jati yang berjajar

"Boleh dengan sedikit gula?" kuingat sebuah tanya yang pernah kuberikan kepadamu tentang secangkir teh di sore yang hangat bertahun lalu, di ruang tamu yang terlihat lebih pendek saat jenjang langkahmu melintasi lantainya

Lalu tanganmu menambahkan gula, bersama tubuh yang harus membungkuk lebih rendah di balai bertikar pandan

Rasanya memang tidak ada masa yang berlalu
Semua selalu hadir kembali saat sore menjadi sewarna tembaga, melintasarungi waktu yang entah akan ke mana pergi

Saat sore berlalu, gelap membungkus pohon-pohon jati
Derik serangga bernyanyi senyaring dawai-dawai biola menyanyikidungkan malam

| Tepus | 1 Mei 2019 | 15.00 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline