Lebaran tahun ini agaknya akan berlangsung seperti lebaran tahun lalu. Cuaca hangat. Awan yang berarak memanjang di biru langit. Dan angin yang berhembus kencang. Daun-daun tua yang gugur akan berlarian ke tengah jalan lalu disapu-pinggirkan oleh roda-roda yang berputar cepat dan mencampak-lemparkan ke selokan.
Tadi kulihat juga banyak orang sibuk melaju-buru di jalan lenggang untuk menyelesaikan banyak urusan. Sebuah truk membawa gandum sepenuh bak terseok melaju pelan, mungkin tepung gandum-gandum itu sudah ditunggu sekelompok ibu untuk membuat kue yang akan dihidangkan pada kerabat yang ditingkahi binar-riang mata anak-anak yang gaduh memilih kue dari atas balai dan meja-meja kecil yang penuh sesak oleh kue lebaran.
Selebat kulihat bayangan nenekku. Berambut putih. Berkain kebaya. Menenteng keranjang bambu. Perempuan yang hidupnya adalah untuk mencinta. Semua yang dimengerti dan tidak dipahaminya dirabuk-suburkan bersama dengan cinta. Bukankah tidak semua bagian hidup dapat dipahami dalam kemampuan kita?
Kami tinggal di sebuah kampung tua dengan sedikit rumah di kiri kanan jalan yang membelok-ular. Semua rumah terletak di pinggir jalan tidak jauh dari dahan-dahan pohon yang saling menyentuh-sapa. Dua pohon duku dengan akar yang menyusup-hujam sampai ke bawah rumah kami. Dan sepohon manggis di belakang rumah dengan kelopak bunga berwarna merah hati di antara warna hijau segar pada sebelah sisi. Warna yang kelak menjadi warna rinduku pada angin selatan, lembah rendah yang menghampar luas dan bukit-bukit batuan karst yang menjulang menuju langit dalam selimut lembar-lebar daun-daun jati.
Lebaran kami waktu itu ada sebuah perayaan silaturahmi penuh cinta tanpa tebal dan lebar sekat-sekat persepsi dan asumsi yang membatas-pisahkan cinta pada sesama. Semua menampi beras yang berasal dari sawah-sawah yang dihadiahkan alam yang sama. Memetik daun pisang berbiji yang melentur-lemas untuk membungkus tapai ketan yang berair manis dan segar di tenggorokan. Atau rempeyek kacang tanah yang ditawarkan bahagia disertai permohonan maaf karena tergoreng dengan sedikit gosong.
Kami tidak saling bertanya tentang institusi keagamaan yang memang sudah beraneka. Kami juga mengabaikan warna baju selain untuk kegembiraan dan keceriaan. Hati yang ikhlas-terbuka menyambut kehadiran sesama dalam ramah-hangat raut muka adalah sambutan selamat datang dan menemani dalam doa semoga semua dalam keadaan yang akan semakin baik pada hari-hari mendatang. Para tetua kampung dengan gembira membagikan berkat dan restu untuk semua anak-cucu, tanpa tapi dan kecuali.
Pintu-pintu rumah terbuka sepanjang hari dan sampai malam larut dengan ruang tamu yang penuh cahaya adalah personifikasi jiwa-jiwa riang para tuan rumah untuk menanti-sambut kunjungan para kerabat dan sahabat.
Maka bila tahun ini lebaran dapat berlangsung tanpa keresahan harga yang membumbung-lambung dan listrik yang akan segera menerangi sebelah timur rumah Indonesia kita, serta jalan-jalan yang memanjang menyelusup ke rumah Indonesia kita di sebelah tenggara, semua itu adalah kerja-kerja cinta tanpa kenal lelah.
Rumah besar Indonesia kita masih membutuhkan lebih banyak cinta untuk membuatnya menjadi lebih hangat dan riang. Semoga lebaran kali ini semakin menghadirkan cinta yang hangat kepada saudara seruang di rumah besar Indonesia itu. Lebaran yang akan dirayakan dalam hangat cahaya matahari, awan yang berarak memanjang di biru langit dan angin yang berhembus kencang.
Selamat memeluk cinta pada kemanusiaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H