"Sudah nimbun sembako, Ted? Siap - siap lho, kalau di lockdown kayak Wuhan.", pesan ibu mertua kepada suami, ketika virus corona mulai merebak di Indonesia.
Jujur saja, saya pun memikirkan hal serupa.
Saya kira reaksi kami cukup beralasan. Mengingat ibu mertua tinggal di Jakarta, kota tempat awal mula Covid-19 di Indonesia bermula. Sementara saya tinggal di Bogor, tak jauh dari Jakarta.
Dari berita yang saya simak, kebijakan lockdown umumnya diterapkan oleh negara yang terkena Covid-19 untuk menekan penyebaran virus. Dan kebijakan itu membuat masyarakat tak bisa bergerak leluasa seperti biasanya.
Melihat ketidakpastian kondisi saat wabah Covid-19 mulai menyelimuti Indonesia, maka reaksi spontan yang dipikirkan oleh seorang ibu yang kesehariannya di dapur seperti saya, tentu saja mengamankan kebutuhan pangan terlebih dahulu.
Tapi lain lagi dengan reaksi suami yang malah berhitung asset. Katanya, negara - negara yang terkena Covid-19, lambat laun akan mengalami perlambatan ekonomi, yang bisa saja mengarah ke krisis.
Dan di masa krisis, ada istilah cash is king. Itu sebabnya walau sudah menyimpan dana darurat, suami menimbang - nimbang untuk mencairkan investasi reksadana yang nilainya mulai tergerus. Dimana hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa perekonomian mulai memburuk.
Saya banyak berdiskusi dengan suami tentang dampak Covid-19 di masa depan. Salah satunya andai terjadi resesi, takutnya krisis kemanusiaan juga turut mengiringi. Seperti kasus penjarahan hingga rasisme yang telah tercatat dalam sejarah krisis 1998 lalu.
Tahu sendiri kan asal muasal Covid-19 ini darimana?
Masalahnya, suami saya berkulit putih dan bermata sipit. Meski lahir dan besar sebagai orang Jawa, banyak yang mengira ia orang Tionghoa. Jadi, saya sempat khawatir kalau suami mendapat perlakuan tak menyenangkan gara - gara Covid-19 ini.