Lihat ke Halaman Asli

Impian Ibu

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413946598908709348

PRAK !

Celengan tua dari tanah liat itu rengkah begitu dihantam oleh sebuah ulekan batu. Seketika berhamburan uang recehan dari dalamnya.

Sigap Edi mengumpulkan recehan yang membanjir. Disusunnya uang itu berdasarkan nominalnya. Ada recehan lima ratus, dua ratus, seribu, bahkan yang seratus pun tidak jarang tampak. Semua disusun oleh Edi dengan rapi.

Tampak pula uang kertas yang lusuh tergumpal-gumpal, yang segera diurai oleh Edi. Uang kertas itu dibuka dan dihaluskannya dengan hati-hati agar tidak robek. Sama seperti uang logam, uang kertas itu pun disusun berdasarkan nominalnya.

Delapan ratus lima puluh ribu rupiah.

Bibir Edi bergerak pelan menghitung setiap rupiah yang terjejer didepannya. Dipandangnya uang-uang itu sejenak seolah-olah jika dipandang agak lama uangnya akan otomatis bertambah.

Ternyata benar. Masih belum cukup.

Edi menghembuskan napas secara perlahan-lahan. Dihadapannya kini ada sebuah keniscayaan pahit yang mesti ia hadapi. Uang yang telah ia tabung bertahun lamanya masih tetap dirasa kurang. Padahal ia sudah berjanji dalam hati bahwa tahun ini dia akan berusaha mewujudkan impian ibunya.

Ya, sejak sang ayah tiada tiga tahun yang lalu, ibunya telah memiliki sebuah mimpi. Mimpi yang sebetulnya merupakan impian ayahnya, namun beliau telah lebih dahulu berangkat ke surga meninggalkan Edi dan sang ibu. Sejak itulah ibu memiliki keinginan kuat untuk mewujudkan keinginan ayah yang belum sempat terwujud.

“Mudah-mudahan jika keinginan bapak bisa terkabul, bapak bisa lebih tenang di kuburnya.” Demikian kata ibu saat Edi bertanya mengenai keinginan almarhum ayahnya tempo hari.

Kepergian sang ayah membuat segalanya berubah. Kehidupan keluarga mereka yang pada awalnya sudah pas-pasan menjadi lebih berat setelah itu. Uang derma dari kerabat dan handai taulan habis dalam jangka waktu tiga bulan, sementara hidup harus berjalan terus.

Sang ibu tidak berdiam diri. Pada suatu pagi Edi melihat ibunya siap pergi dengan sebuah gerobak dibelakangnya. Suatu hal yang belum pernah terjadi.

“Mau kemana, bu ?”

“Mulai hari ini, ibu mau memulung. Ternyata penghasilannya lumayan, lho” Jawab ibu singkat.

“Hah, memulung ?? Jangan, bu ! Ibu tidak bakal kuat. Biar Edi saja yang memulung.” Tangan Edi kemudian bergerak hendak mengambil gerobak itu dari ibunya.

Perlahan si ibu menepis tanganya yang terulur, “Hus, kamu itu mesti sekolah. Kan tahun ini kamu lulus. Sudah, kamu selesaikan sekolahmu dulu ! Nggak usah mikir macam-macam.”

Sesudah berkata begitu ibu pun segera menarik gerobaknya. Gerobak mulai bergerak, terlihat sang ibu agak kepayahan menarik gerobak yang memang lumayan berat. Perlahan sang ibu dan gerobak pergi menjauh, meninggalkan Edi yang memandangi kepergiannya dengan tetesan air mata.

Mulai saat itu ibu akan pergi sebelum matahari terbit dan pulang saat maghrib menjelang. Edi dengan hati terluka selalu menyambut sang ibu dengan mencium tangannya beserta segelas teh manis hangat dan sedikit kue untuk ibunya. Keperihan menyambar dadanya saat terasa tangan ibunya yang telah mulai kasar karena selalu diajak menarik gerobak yang berat lagi sarat.

Namun sang ibu seperti tidak peduli dengan rasa lelahnya. Dihadapan Edi, dihitungnya uang hasil pendapatannya hari itu. Pendapatan ibu tidak tentu, kadang ia hanya membawa Rp. 5 ribu, paling banyak 30 ribu.

Berapa pun pendapatannya ibu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk dimasukan dalam sebuah amplop. Edi tidak pernah menanyakan soal tabungan itu karena ia tahu, buat apa uang itu nanti digunakan.

Ibu hanya mampu memulung sampah hingga 6 bulan setelah kakinya terkena asam urat akibat selalu berjalan jauh. Kini sang ibu hanya mampu melayani jasa cuci pakaian untuk para tetangga. Edi pun segera menggantikan ibunya untuk pergi memulung.

“Kamu bisa memulung sendiri, nak ?” Tanya ibunya khawatir saat pertama kali Edi pamit untuk pergi memulung.

“Bisa kok, bu. Ibu tenang saja.”

“Betul ? Memulung itu capek lho. Benar kamu sanggup ?”

“Sanggup, bu. Ibu saja bisa, masa saya tidak !”

Si ibu tersenyum mendengarnya. “Lalu sekolah kamu bagaimana ? Kamu tidak mau melanjutkan sekolah dulu ?”

“Nanti saja, bu. Toh Edi sudah lulus SMP. Yang penting sekarang kita mesti cari uang, bu.” Jawab Edi sambil mengenakan topi lebar, bersiap untuk berangkat dengan gerobaknya.

“Edi pergi, bu. Minta doanya biar bisa bawa uang banyak !” Edi pamit sambil mencium tangan sang ibu.

“Ya sudah. Hati-hati ya, nak.” Pesan ibunya dengan mata berkaca.

Dua setengah tahun berlalu. Kini dihadapan Edi adalah hasil tabungannya dari memulung itu. Uang yang telah ia susun dengan rapi itulah harta milik keluarganya kini. Sekali lagi Edi menghitungnya, kali ini dengan lebih teliti, berharap hitungannya yang pertama salah.

Ternyata tidak. Nilai uang tabungannya tetap hanya sebanyak itu. Delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Tampaknya memang demikianlah nyatanya. Uang itu masih kurang untuk mewujudkan impian sang ibu.

Mesti bagaimana lagi aku mencari uang ?

Waktu Edi habis untuk memulung. Seharian ia habiskan dijalan untuk mencari botol dan gelas plastik, besi tua, kardus-kardus atau bungkus Styrofoam. Terkadang ia membantu berjualan di toko kelontong milik tetangganya atau mengantarkan barang dagangan ke pelanggan.

Oh, iya ! Masih ada upah dari koh Aseng pas lebaran kemarin !

Setengah berlari Edi bergegas mengambil tas ranselnya yang lusuh. Dibukanya tas itu dan matanya berbinar ketika ia menemukan sebuah amplop putih yang agak tebal.

Edi teringat, dua minggu menjelang lebaran dirinya sempat membantu di usaha konveksi milik koh Aseng. Usaha konveksi tetangganya itu memang selalu luar biasa sibuk menjelang lebaran. Saat hari terakhir puasa dirinya dipanggil koh Aseng yang kemudian memberikan sebuah amplop.

“Nih, THR buat lebaran,” Ujar si kokoh singkat.

Amplop berisi uang itu langsung ia masukan di tasnya tanpa sempat ia tengok lagi. Sebuah kealpaan besar yang nyaris berakibat fatal bagi dirinya.

Dengan berdebar-debar dibukanya amplop itu. Hati Edi bersorak ketika didapatinya beberapa lembar uang ratusan ribu dibalik amplop itu. Segera dihitungnya uang itu.

Genap Sembilan ratus ribu rupiah.

“Yes !!” Sorak gembira Edi membahana.

“Ada apa, nak ? Kok teriak-teriak seperti itu ?” Terdengar suara ibunya dari arah pintu kamar. Tak lama tampak ibunya yang berjalan tertatih-tatih sambil matanya menatap Edi dengan pandangan bertanya.

Edi bergegas menjemput dan memapah ibunya duduk di kasur. Dengan gembira ditunjukan uang dari koh Aseng dan uang tabungannya.

“Lho, kamu habis mecah celengan ? Buat apa ?”

“Bu, uang Edi sudah cukup, bu ! Lihat, ini uang dari celengan. Jumlahnya delapan ratus lima puluh ribu. Nah, yang ini…” Edi menunjukan upah dari koh Aseng, “Sembilan ratus ribu, upah dari koh Aseng pas lebaran kemarin. Sudah cukup, bu ! sudah cukup !”

Sang ibu terpana sesaat. Detik berikutnya setitik air bening menetes dari sudut matanya. Wajahnya menunjukan kesyahduan yang dalam.

“Alhamdulillah, akhirnya impian ayah bisa kamu wujudkan ya, nak.” Terbata-bata sang ibu mengucap syukur.

“Ayo, bu. Kita pergi kepasar. Kemarin Edi sudah tanya sama bang Sani, katanya kalau kita mau beli sama dia bakal dikasih diskon khusus !”

“Ah, masa ?”

“Beneran, bu !”

“Kalau begitu ayo kita ke pasar sekarang, nak.” Riang terdengar suara sang ibu.

Bergegas Edi berjalan keluar rumah. Di kantung sakunya kini terdapat amplop berisi uang hasil menabung dan upah dari koh Aseng tadi. Langkahnya ringan. Senyum pun tersimpul di bibirnya.

“Nak, tunggu ibu, nak. Jalannya jangan cepat-cepat.” Terdengar suara ibunya yang berusaha menyusul Edi dengan langkahnya yang pelan dan tertatih-tatih.

“Oh, hehe maaf, bu. Edi lupa.” Dijemputnya sang ibu kemudian digandengnya tangan ibu sampai keluar rumah.

“Kita naik bajaj saja ya, bu.”

Ibunya tersenyum sambil mengangguk. Dipandangnya langit sore yang berwarna lembayung cerah. Hari ini mereka akan mewujudkan impian suaminya dan juga mimpinya sendiri. mereka akan ke pasar untuk membeli seekor kambing kurban untuk hari raya Idul Adha esok hari.

Sore itu langit terasa cerah sekali. Sebentar lagi takbir akan terdengar di langit senja, menyambut datangnya hari suci.

Sumber Gambar : http://fuh.my/wp-content/uploads/2013/10/mimpi-nabi.jpg




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline