Lihat ke Halaman Asli

Misi Terakhir Azazil (11)

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419311317227690802

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (10)

20

Malam perlahan turun. Gelapnya terasa semakin sesak ditimpa dengan gumpalan kelabu awan yang masih betah berkelana diatas sana. Tidak ada bintang, apalagi bulan. Kegelapan yang menyesakkan  makin terasa menekan ketika tiba di daratan Jagakarsa saat sinar lampu jalanan terasa begitu lemahnya menghadapi serbuan gelap. Kerdip mereka bagaikan sebuah suluh kecil perahu yang berada ditengah laut.

Kegelapan malam yang disertai dengan senyapnya lingkungan rumah mewah bergaya Hacienda itu sangat membantu bagi sesosok tubuh yang dengan tenang berjalan melintasi deretan rumah-rumah sambil menepi menghindari sorot lampu. Dengan tenangnya ia berjalan menuju bagian belakang rumah tersebut dimana didapatinya sebuah tanah kosong yang dibatasi sebuah dinding yang terbuat dari beton kokoh dan diatasnya dihiasi jalinan kawat berduri.

Sosok yang larut dalam balutan gelap itu tanpa suara memanjat dinding kelabu yang memisahkan istana gading dengan tetangga dan lingkunganya. Sarung tangan canggihnya yang mampu memberikan efek melekat bagai seekor cicak sangat membantunya. Perlahan ia pun tiba di puncak dinding, disambut dengan jaringan kawat yang angkuh menghadang. Namun itu tidak lama, sebentar saja kawat-kawat itu tidak berdaya putus dihantam guntingan tang yang membabatnya dengan kejam.

Tanpa batas dan halangan sosok tubuh itu bergerak masuk bagian belakang rumah, melata bagaikan ular beludak yang menyusup diantara celah kecil diantara pasir.

21

Mobil patroli Polisi berwarna coklat pekat berjalan perlahan memasuki wilayah rumah mewah milik Bambang Jatmika. Salah seorang petugas yang berjaga tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang besi lebar-lebar untuk kemudian menepi sambil memberi salut dalam sikap sempurna. Dadanya terlihat naik-turun menunjukan aliran napasnya belum sesempurna sikapnya saat menghormat.

Tiba di lobby yang kubahnya berbentuk lengkungan tinggi, seorang pria berseragam safari datang menyambut kehadiran mobil tadi. Orang ini adalah ajudan Bambang Jatmika yang tadi diserahi tugas untuk menyambut kehadiran Polisi.

Iptu Ajisaka turun dari mobil. Wajahnya kusut setelah berjibaku dengan kemacetan ditambah perasaan curiga yang bertambah-tambah kepada seorang sipil sialan bernama Agustian yang kebetulan ikut serta dalam tugas kali ini.

Dengan sikap formal yang luwes sang ajudan menyambut Iptu Ajisaka. Bibirnya menyunggingkan senyum wajar sambik memberi jabatan tangan. Ia sengaja tidak memberikan senyum lebar ketika dilihatnya tingkat kekusutan wajah Iptu Ajisaka saat membuka pintu mobil. “Selamat datang, Inspektur. Mari silakan masuk ke ruang tamu.”

Iptu Ajisaka mengangguk sambil menyambut tangan si ajudan. “Terimakasih, biar saya menunggu rekan saya dulu. Kami akan masuk bersama-sama.”

Si ajudan pun mengangguk tidak membantah.

Sambil menunggu Ipda Gunawan memarkirkan mobil, mata Iptu Ajisaka menyapu sekeliling rumah. Sepetak taman yang bagus terawat menghiasi depan rumah. Daerah didalam pagar tampak cukup terang berkat cahaya yang dipancarkan oleh empat lampu jalan dan dua lampu taman. Penerangan di rumah Bambang Jatmika memang melimpah, berbanding terbalik dengan jalanan diujung sana yang terlihat hitam pekat dengan sepercik cahaya dari lampu jalan.

Sambil memperhatikan itu semua Iptu Ajisaka bertanya pada si Ajudan yang setia berdiri disampingnya, “Bagaimana penjagaan di rumah ini ?”

“Normal, pak. Ada dua orang penjaga keamanan dari Polres untuk tiap shift. Saya sendiri disini sampai jam tujuh malam. Kadang menginap kalau bapak minta.”

“Ada berapa shift untuk penjagaan ?”

“Tiga shift, pak. Tiap shift dijaga oleh dua orang anggota.”

Iptu Ajisaka mengangguk. Shift penjagaan yang normal untuk setiap anggota dewan yang terhormat. “Ada CCTV ?”

Si ajudan mengangguk, “Ada delapan titik, pak. Satu digerbang, satu di lobby, kemudian di ruang tamu, satu lagi di jalan menuju tangga, dua unit di taman belakang, satu di balkon yang terhubung dengan kamar bapak dan satu unit di ruang santai lantai 2. Cuma area kamar dan ruang makan yang tidak ada CCTV. Semuanya pakai kamera tipe dome.

Iptu Ajisaka mengangguk lagi, “Bagus, untuk rekamannya bisa merekam maksimal berapa lama ?”

“Paling lama dua minggu, pak. Setelah itu akan ditimpa oleh rekaman baru.”

Ipda Gunawan tampak datang berserta dengan Agustian yang berjalan agak sedikit dibelakangnya. Iptu Ajisaka pun menganggukkan kepala kepada si Ajudan, “Mari, kita kedalam. Ngomong-ngomong nama kamu adalah….”

“Reza, pak. Lengkapnya Muhammad Ali Reza.” Si Ajudan sigap menjawab.

“Baiklah, saya Ajisaka. Ini rekan saya Inspektur Dua Gunawan dan petugas reserse kami, Agustian.”

Ipda Gunawan menganggukkan kepala sementara Agustian tidak bereaksi, “Saya yang tadi menelpon bapak Bambang Jatmika.” Terdengar suara Ipda Gunawan.

“Ooh…iya, Pak. Tadi bapak pun juga sudah memberitahu saya kalau akan ada petugas yang datang. Baiklah bapak-bapak, mari kita ke ruang tamu.”

Ruang tamu itu adalah contoh dari sebuah kesempurnaan sebuah ruang tamu. Dinding yang dipulas dengan warna beige lembut dengan tambahan wallpaper berwarna coklat susu bercorak disalah satu sisi. Lantainya sendiri terbuat dari marmer yang memantulkan cahaya lembut dari lampu gantung besar yang mewah. Sofanya sendiri bergaya klasik italia berwarna senada beserta sebuah meja yang dihiasi dengan ukiran cantik. Sebuah lemari berisi berbagai cendramata berdiri sudut dekat jendela yang ditutupi dengan gorden yang juga berwarna beige lembut.

“Silakan duduk. Mohon bapak-bapak menunggu sebentar, sepertinya bapak sedang mandi. Sambil menunggu, bapak-bapak mau minum apa ? Kopi ? Teh ?” Terdengar suara Reza menyilakan para Polisi itu untuk duduk.

Ketiganya sepakat memesan kopi. Reza pun menghilang menuju ke dapur untuk meminta agar dibuatkan kopi. Meninggalkan ketiganya yang duduk sambil diam-diam mengagumi keindahan ruang tamu itu.

22

Kedatangan mobil Polisi tadi tidak lepas dari pengamatannya. Seperti yang sudah-sudah ia tiba tepat dalam tempo satu jam, seperti yang ia janjikan.

Kedatangan Polisi akan membutuhkan sedikit keringat dalam menuntaskan tugasnya. Setahu dia, Polisi di negeri ini tidak terlalu tanggap dalam menghadapi perubahan situasi. Maka, ia harus mengendalikan situasi dan pihak sana mau tidak mau terpaksa mengikuti permainannya.

Bakalan ada tambahan tugas buat Freyja, Ia menyeringai memikirkan hal itu. Freyja sepertinya sudah terlalu dimanjakan dengan kemewahan sehingga membuatnya sedikit, yah bisa dibilang manja. Mungkin sedikit kejutan seperti kali ini akan memulihkan kepekaan instingnya. Berpikir demikian ia pun urung memberi tahu Freyja mengenai Polisi tadi.

Sekarang tinggal menunggu sinyal dari dia, Ia adalah seorang yang ontime. Freyja juga sudah tahu hal itu jadi ia tidak perlu repot-repot memberi kabar kalau dia sudah tiba.

Terasa sebuah getaran dari sakunya. Handphone tua itu hanya menunjukan sebaris kalimat yang sudah ia tunggu-tunggu.

Sekarang !

(Bersambung)

Sumber gambar : http://panel.mustangcorps.com/admin/fl/upload/files/furniturruangtamu(10).jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline