Lihat ke Halaman Asli

Ngidam Burger Rp5.000 Ditahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon keinginan saat hamil atau yang biasa disebut ngidam itu datangnya dari si jabang bayi dalam kandungan, dan kalau tidak dituruti bayinya nanti bisa ngeces (mengeluarkan liur) terus-terusan.

Dulu ketika saya hamil anak pertama, kondisi keuangan saya dan suami masih dalam masa perjuangan, jangankan untuk menuruti keinginan ngidam, untuk makan sehari-hari aja harus putar otak bagaimana memenuhi gizi selama kehamilan di tengah kondisi keuangan cekak.

Saat usia kehamilan saya memasuki trisemester kedua, kisaran 4 bulan. Setiap kali melewati restoran cepat saji di Swalayan Banyumanik, Semarang saya selalu terngiang iklannya, hanya dengan Rp5.000,- bisa merasakan lezatnya burger isi daging sapi tersebut.

Sebenarnya Rp5.000,- di tahun 2007 bukanlah harga mahal, namun bagi orang yang tengah mengalami krisis keuangan tentu angka tersebut berharga. Kala itu saya bisa berbelanja sayur Rp7.000,- untuk makan dua hari bersama suami. Keinginan saya tahan-tahan karena tahu suami pun tengah berjuang. Saya lebih memilih membeli beras dan kebutuhan sehari-hari dibanding hanya menuruti keinginan jabang bayi. Sehari, dua hari, seminggu, sampai dua bulan saya masih juga belum mengutarakan liur yang tertahan tiap melewati swalayan itu kepada suami.

Sampai suatu ketika suami saya tidak bisa tidur selama dua hari dua malam, ketika saya tanya kenapa ternyata ia sangat ingin main PS bersama temannya di rental. Sampai terbawa mimpi katanya. Saya katakan, "jika ingin main, mainlah, tapi apa Ayah ada uangnya?" ternyata hal itu juga yang membuatnya bingung. Kami belum ada uang lebih, sedangkan uang kami saat itu tinggal Rp10.000,-

Setelah itu saya sholat Maghrib dan berdoa, saya hanya bilang kepada Tuhan, bahwa mungkin keinginan suami main PS karena ngidam si jabang bayi juga, yang kemungkinan laki-laki (hanya feeling saja kala itu). Selesai saya melipat mukena, datang tetangga yang mengajak suami untuk menemaninya menjual AC bekas ke pengepul rongsokan. Suami ijin pergi, dan puji syukur pulangnya membawa tambahan uang Rp30.000,- ia mengatakan berkat doa dari ibu hamil langsung didengar Tuhan. Lega saya mendengarnya, saya pun menyuruhnya untuk segera main PS, "sana diturutin ngidamnya." Lantas ia tersadar, apa iya saya selama ini tidak pernah ngidam apa-apa? Selain kedondong muda di pohon milik Budenya yang dimakan dengan cabe dan garam yang dimakan tiap pagi sebelum sarapan.

Saya hanya tersenyum dan berkata, "sebenarnya aku pengen banget makan burger di swalayan depan. Tapi kasian kalau minta sama Ayah, takut kepikiran." jawab saya tidak enak hati sambil mengelus-elus perut saya yang membesar. Badan saya memang tidak begitu gemuk atau berisi kala itu, hanya naik 6kg selama hamil 9 bulan 3 hari.

Akhirnya tanpa banyak bicara suami saya mengambilkan jaket dan langsung mengajak saya makan disana. Sesampainya disana pun ternyata saya tidak kuat menghabiskan satu burger, mungkin karena sudah kelamaan ditahan. Suami dengan mata iba meminta maaf pada saya karena sudah mengajak saya hidup susah bersama dia. Saya katakan tidak apa, karena sudah komitmen hidup berdua sejak awal, resiko apapun harus kita hadapi berdua. Akhirnya ia yang menghabiskan burger saya, dan dengan melihatnya makan bahagia saya sudah senang.

Menyoal mitos, memang benar anak pertama saya sempat ngeces sebulan penuh. Kata sebagian orang karena dulu ngidamnya tidak keturutan. Tapi itu karena giginya mau tumbuh, dan kala melewati masa itu, produksi liurnya pun normal kembali.

Mungkin kisah nyata saya ini terlalu klise, dan banyak orang yang telah melalui masa perjuangan diawal pernikahan dengan hal yang jauh lebih rumit. Namun saat ini puji syukur, saya bisa mengenang masa-masa perjuangan itu dengan senyum.

Tidak ada satupun anak yang bisa memilih orangtuanya, ingin dilahirkan oleh siapa, dibesarkan dimana, dididik oleh siapa. Bukan anak yang memilih, tapi tugas orangtualah untuk menyiapkan segala yang terbaik untuk si buah hati, "titipan Tuhan" yang selayaknya kita jaga dengan sebaik-baiknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline