Lihat ke Halaman Asli

Diany Khaeria Rahmi

Mahasiswi Pascasarjana Magister Kriminologi FISIP UI

Peran Penting Psikiatri Forensik Bagi Kesehatan Mental Narapidana

Diperbarui: 3 Januari 2024   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: affinityhealth.co.za

Belakangan ini ini masalah kesehatan jiwa dalam masyarakat semakin meningkat. Hal ini dapat dipertimbangkan dari maraknya tindak kekerasan domestik, penyalahgunaan NAPZA, tawuran antar warga, hingga angka pengangguran yang belum teratasi sehingga berakibat pada demonstrasi yang mengarah kepada tindakan penyaluran agresivitas (anarkis), selain itu juga masih terdapat angka putus sekolah, kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar (Asmarawati, 2017). Permasalahan kesehatan jiwa tersebut tidak hanya dialami oleh masyarakat umum saja, namun juga pelaku kejahatan, termasuk didalamnya pelaku terorisme, yang sedang menjalani masa hukumannya di penjara atau lembaga pemasyarakatan. Hal ini disebabkan karena kondisi penjara maupun lembaga pemasyarakatan di Indonesia  sebagian besar mengalami over kapasitas. Artinya antara kapasitas atau kemampuan penjara atau lapas untuk menampung dengan kondisi yang sebenarnya mengalami kesenjangan yang sangat besar. sebagaimana yang terjadi di tahun 2013, jumlah overcapacity menyentuh 143%, kemudian di tahun tahun 2017, jumlah tersebut mengalami kenaikan hingga 188%. Kemudian di tahun 2018, kemampuan penjara yang hanya dapat menampung 125.159 orang, justru telah menampung 248.340 orang (Darwin, 2019).

Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang ditampung dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kepala Sub Direktorat Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo, sebagaimana yang dikutip Darwin (2019) mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan penjara di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas, yaitu 1) banyaknya kasus kejahatan yang terjadi setiap hari; 2) kurang maksimalnya proses mitigasi sebelum dilakukan penahanan (pre-trial detention) pada lembaga kepolisian dan kejaksaan; 3) over kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; dan 4) pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012 yang telah menyulitkan narapidana untuk dapat mengajukan potongan masa tahanan atau pembebasan bersyarat. Over kapasitas yang dialami oleh rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan di Indonesia tentunya memberikan dampak negatif bagi berbagai pihak, terutama pelaku kejahatan atau narapidana itu sendiri. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah permasalahan kesehatan jiwa pada narapidana. Permasalahan tersebut tidak hanya dialami selama menjalani masa hukuman, namun juga dapat lebih buruk ketika kembali ke masyarakat dalam keadaan belum siap atau sehat secara mental.

Kondisi kesehatan jiwa yang terganggu tersebut dapat mendorong mereka kembali melakukan tindakan dan perbuatannya (kejahatan) di kemudian hari, hal ini juga potensial terjadi pada pelaku tindak pidana terorisme. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Seftilia dkk (2022) dalam penelitiannya bahwasanya ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya residivis antara lain (1) sistem penjara yang tidak menyediakan fasilitas rehabilitasi membuat para narapidana kesulitan dalam mengendalikan keinginannya untuk berbuat kriminal; (2) sistem penjara mengarah pada pembinaan, namun kenyataannya minim sekali pembinaan yang dilakukan oleh para petugas pada narapidana; (3) ketakutan dan kekhawatiran narapidana dalam menghadapi masyarakat dan menjalani kehidupan setelah terbebas dari penjara; (4) narapidana kehilangan tujuan dan harapan hidup; (5) narapidana mengalami stres, depresi, dan gangguan kecemasan, sehingga tidak dapat merencanakan arah hidupnya dengan baik; serta (6) tidak adanya kegiatan yang mengarah pada perbaikan psikologis para narapidana. 


Merujuk pada tulisan Syafitri dan Putra (2021), dijelaskan bahwa penyebab dari terdorongnya para narapidana untuk melakukan tindak residivis ini adalah permasalahan mental mereka masing-masing. Sebab kesehatan mental adalah bekal bagi seseorang untuk dapat mengendalikan diri, mempertimbangkan atau memutuskan berdasarkan logika dan rasionalitas yang merujuk pada kebaikan, sehingga secara jangka panjang akan membawa seseorang menuju kehidupan yang seimbang, dan mempersiapkan integrasi kepada lingkungan sosialnya. Mental yang sehat akan mengantarkan seseorang untuk lebih terarah karena mengetahui dan memahami tujuan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Mental yang sehat juga ditandai dengan kemampuan seseorang untuk berprilaku normal yaitu perilaku yang sesuai dengan aturan dan tidak menyimpang sehingga individu mampu menghadapi segala tuntutan hidup.

Bahwa kesehatan mental narapidana, terutama selama menjalani hukuman pidana menjadi salah satu hal yang penting untuk menjadi perhatian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan mental narapidana tersebut adalah dengan memberikan pendampingan dan konseling oleh psikiater. 

Esensi dari pendampingan ahli psikater juga akan berpengaruh terhadap stabilitas keamanan di lembaga pemasyarakatan karena peranan ilmu psikiatri diperlukan dalam penanganan permasalahan kesehatan mental narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengelola dan memantau serta melaksanakan pendampingan dan pembinaan terhadap orang-orang yang dicurigai terkena gangguan mental dan kejiwaan. Ilmu psikiatri yang dimaksud tersebut adalah psikiatri forensik, yang merupakan subspesialisasi di bidang psikiatri yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan.

Psikiatri forensik adalah cabang ilmu psikiatri yang berhubungan dengan evaluasi gangguan jiwa untuk keperluan hukum; membebaskan seseorang dari tanggung jawab perbuatan kejahatan, proses peradilan kejahatan, hukuman yang terus menerus, membatalkan kesaksian, transaksi, aktivitas lain dan mendorong seseorang untuk mendapatkan berbagai bentuk pengobatan. Psikiatri forensik merupakan ilmu psikiatri yang mempelajari segi hukum pada kelainan jiwa (Putra, 2023). Pada kesaksian psikiatri, situasi hukum yang berhubungan adalah tindakan biasa maupun kejahatan yang umumnya menyangkut salah satu diantara 2 persoalan besar yang berhubungan dengan individu dimana keadaan psikiatrinya masih dipertanyakan, yaitu (Putra, 2023):

  • Apakah seseorang mampu (kompeten) untuk melakukan sesuatu perbuatan? Kalau tidak apakah ada hal-hal yang menghalangi yang menyebabkan ia tidak bisa melakukan suatu perbuatan yang ingin dilakukannya, atau apakah segala yang sudah dilakukannya mungkin dibatalkan, umpamanya memberi kesaksian di pengadilan, melangsungkan pernikahan, membuat kontrak, jual beli, hak memiliki, dan lain-lain.
  • Apakah seseorang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan? Jika ya, apakah ada hal-hal yang memaksa untuk melakukan perbuatan tersebut yang tidak diinginkannya umpamanya membayar biaya, dipenjarakan, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan hukum dan peradilan pidana, salah satu peran utama psikiater forensik adalah mengevaluasi kesehatan mental narapidana dan terdakwa. Psikiater forensik menilai apakah mereka layak untuk diadili, membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain, menerima perawatan yang tepat, siap untuk mendapatkan pengampunan pidana, atau mampu direhabilitasi, melakukan evaluasi yang berisi riwayat kesehatan lengkap, penilaian psikologis, pemeriksaan psikiatri terhadap status mental, dan peninjauan rekam medis dan transkrip yang relevan. Para profesional ini juga melakukan penilaian pidana, perdata, dan terkait asuransi, seperti penilaian hak asuh, pelecehan anak, kecacatan, dan risiko. Dalam interaksinya dengan sistem hukum, psikiater forensik memainkan peran klinis, dimana mereka memberikan penilaian psikiatri, dan peran penilaian forensik, dimana mereka memberikan pendapat berdasarkan bukti mengenai kasus perdata dan pidana. Praktiknya mungkin berbeda-beda, bergantung pada perbedaan yurisdiksi dalam undang-undang kesehatan provinsi dan teritorial, ketersediaan sumber daya, dan kepentingan pribadi dalam urusan legislatif. Tugas dan tanggung jawab dapat mencakup:

  • bekerja dengan individu dalam tahanan, masa percobaan, atau pembebasan bersyarat
  • bekerja dengan individu yang memiliki risiko menunjukkan kekerasan atau perilaku yang menyinggung secara seksualMenilai pasien dan memilih skala untuk diagnosis dan penilaian psikopati
  • pemberian alat penilaian risiko, pengujian psikologis dan neuro-psikologis, serta pengujian laboratorium dan pencitraan diagnostik
  • berinteraksi dan bekerja dengan profesional hukum, pekerja sistem pemasyarakatan, pejabat peradilan, badan perizinan teritorial, organisasi swasta, penyedia asuransi, atau lembaga perlindungan anakMelakukan penilaian psikiatri forensik dan menetapkan rencana manajemen yang tepat
  • melibatkan pasien dan keluarganya dalam mengembangkan rencana perawatan kesehatan yang memenuhi kebutuhan keselamatan dan keamanan pasien
  • melakukan evaluasi kompetensi orang tua
  • melakukan penilaian pembebasan atas permohonan kegilaan
  • mengevaluasi kebugaran mental individu untuk konservatori
  • melakukan evaluasi kecacatan psikiatris untuk kompensasi karyawan atau kasus cedera pribadiMenetapkan rencana untuk perawatan berkelanjutan
  • berkolaborasi dengan dokter dan profesional perawatan kesehatan lainnya, petugas penegak hukum, dan perwakilan sistem hukum

Daftar Pustaka

Asmarawati, T. (2017). PEMBUKTIAN PSIKIATRI FORENSIK DALAM KEJAHATAN IBU TERHADAP NYAWA ANAK KANDUNG. Al-Qisth Law Review, Vol. 1 No. 1.

Darwin, I. P. (2019). IMPLIKASI OVERCAPACITY TERHADAP LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA. Cepalo, Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2019, 77-84.

Putra, P. H. (2023). PSIKIATRI FORENSIK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 11 No.6 , 1447-1464.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline