"Kali ini aku harus benar-benar Ikhlas." Kalimat itu yang senantiasa aku katakan kepada diriku sendiri. Sekadar menghibur diri, mencoba menguatkan diri agar tidak menangis lagi.
"Cukup, Sum. Tidak perlu ditangisi lagi. Sekarang kamu sudah aman. Iya, insyaalah jauh lebih aman bersamaku," ujar mas Herlan sesaat setelah kami menikah.
Aku memeluknya dengan erat. Menumpahkan tangisan di dadanya yang kuharap itu adalah tangisan terakhirku. Tangan Mas Herlan mengelus rambutku perlahan. Terus mencoba menenangkanku.
Dadaku bergejolak. Mengingat apa yang sudah terjadi sebelum pernikahan ini terjadi. Aku diusir dari rumahku sendiri, dituduh sebagai pencuri dan pembawa sial dalam keluargaku sendiri.
"Pergi dari sini!" hardik Mas Danu dengan suara yang menggelegar bak petir menyambar tepat di telingaku. Mendenging, sakit rasanya indra pendengaranku. Namun ada yang jauh lebih sakit dan hancur ketika seorang perempuan berbadan jenjang malah tertawa dengan puas melihat kejadian pengusiran sang nyonya rumah.
Kali itu padahal aku sedang mengandung, anak dari mas Danu suami yang sangat aku cintai selama ini. Berbulan-bulan aku terlantar, beruntung Yani sahabatku mau menampung dan memberiku tumpangan tenpat tinggal. Sayangnya, bayiku tidak bisa kuselamatkan. Aku mengalami keguguran karena stres berat memikirkan nasib diri dan larut dalam kekecewaan yang tiada ujung ya. Tidak percaya bahwa mas Danu bisa setega itu. Bersekingkuh dengan perempuan yang mentertawakanku saat itu.
"Aku harap kau tidak lagi mengingat semua kejadian itu, Sum. Mari kita mulai dari awal lagi. Kehidupanmu yang baru. Kehidupan pernikahan kita," ujar mas Herlan lagi. Aku mengangguk perlahan. Memejamkan mata dan bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menentang apa yang dikatakan lelaki yang menjadi suamiku kini.
Dan hari ini. Ramadan pertama kami. Tidak henti-hentinya aku bersyukur, karena sejak saat itu hari-hariku menjadi banyak berubah. Meskipun hati ini ini masih saja dihinggapi perasaan aneh yang entah kenapa itu membuat senyumku tidak benar-benar lepas. Pikiranku belum benar-benar netral, hati dan jiwaku belum benar-benar tenang.
Setiap hari pula aku menyaksikan usaha keras mas Herlan dalam mebuat hari-hariku lebih betwarna. Melihatnya kerja keras demi aku. Melihatnya datang dengan senyuman terbaik di balik pintu saat pulang kerja petang hari, membawakanku oleh-oleh. Entah itu makanan kesukaanku atau lauk pauk untuk kami makan bersama.
Hhh, rasanya terlalu jahat jika aku masih saja memelihara rasa sakiy yang masih menenpel sebagai efek dari masa laluku. Kini waktunya aku mengikhlaskan semua. Mensyukuri apa yang aku miliki kini. Karena sejatinya bersyukur adalah menerima dengan ikhlas apa yah diberikan Tuhan dan menerima dengan lapang dada apa yanh menjadi takdir kita. Aku yakin semua yang terjadi adalah scenario terbaik yang telah digariskan Tuhan untukku. Ya, pasti tidak akan ada tang sia-sia dengan apa yang terjdi selama ini selalu ada hikmah di balik semua kejadian.