"Ada yang ngobat lagi!" Bahrun teman kerjaku menghempaskan diri di kursi ruang tamu kantor guru. Wajahnya begitu lusuh, kekesalan dan penyesalan bermuara di sana. Matanya memejam, ia berkali-kali menghela napas panjang mencoba menenangkan diri.
Berbagai reaksi diberikan oleh guru lain. Ada yang mengomel, mengucapkan sumpah serapah, ada juga yang memilih tak acuh pura-pura melanjutkan pekerjaan di meja kerja masing-masing. Sebagian lagi berlalu ke luar ruangan membawa perangkat pembelajaran. Menuju kelas berikitnya karena bel pergantian jam pelajaran baru saja dibunyikan oleh guru piket.
"Masih anak itu?" tanyaku.
Bahrul mengangguk.
"Bukan hanya dia, ada dua lagi yang justru lebih parah dari anak yang biasa."
Suara Bahrul datar penuh sesal.
"Siapa?"
Sesaat kemudian Bahrul mendekat dan merendahkan suaranya. Menjelaskan detail kejadian yang dia temukan sampai akhirnya mendapatkan bukti danmenemukan pelakunya.
Aku dan Bahrul seperti ditakdirkan untuk terus menerus menangani kasus kenakalan siswa. Bahrul yang mendapatkan jabatan sebagai Wakasek Kesiswaan dan aku berada di bawahnya. Aku mendapatkan tugas untuk membina kegiatan OSIS dan ekstra kulikuler.
Sudah tiga tahun terakhir kami bersama menangani kasus-kasus yang terjadi. Tidak jarang kami harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan penyampaian materi karena ada waktu tertentu yang tersita untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di luar tugas utama kami sebagai pengajar mata pelajaran.
Semua itu berawal ketika Bu Maryati diangkat jadi PNS dan harus meninggalkan sekolah kami ke sekolah barunya.