Lihat ke Halaman Asli

Diantika IE

Freelancer

Majelis Taklim

Diperbarui: 5 Oktober 2019   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Limbangan pagi hari. Mentari malu-malu memunculkan diri dari balik gunung. Cahanyanya yang hangat membelai mesra dedaunan, pohon-pohon, dan juga tubuhku yang masih kaku dan pegal dilanda angin malam saat begadang semalaman. Langkah kakiku perlahan, menelusuri jalan yang sedikit menanjak.

Ada ragu yang menggelayut, menganggu sekali di kepala. Ah, mungkin aku memang terlalu perasa. Pagi itu memang aku akan bertamu. Akan tetapi mengapa harus sepagi ini? Apakah tidak akan merepotkan tuan rumah?

Langkakhu terhenti di pertigaan jalan setapak. Embun-embun berkilatan memantulkan cahaya matahari. Kelap-kelip cantik membius mata. Cicit burung pipit di atas ranting-ranting. Mereka bersahutan menyambut mentari. Berterbangan kian kemari, bergegas mengais rejeki.

Seorang petani jalan mendekat. "Punten, Neng," ujarnya seraya melempar senyum yang tulus. "Mangga, Pak," aku beringsut mengatur posisi, memberi jalan lewat kepada bapak petani. Langkahnya tidak tergesa, tetapi tetap gagah menatap ke depan. Cangkul di pundaknya berayun seiring langkah kakinya. Diikatnya golok serta serangkanya di pinggang. Langkah bapak petani mantap, menyusuri pematang sawah menjauh, meninggalkanku. Terbenam di antara hijau hamparan sawah.

Aku tertegun, sosok Pak tani tadi mengingatkanku pada sosok Wak Karto yang telah lama meninggalkan kami anak-anak asuhannya. Wak Karto adalah uwakku yang tidak dikaruniai anak, jadi, kamilah anak-anak sekampung yang menjadi anak-anaknya. Aku adalah salah satu anak paling dekatnya.

Wak Karto selalu riang pergi ke sawah, langkahnya juga mantap seperti petani tadi. Jika daun padi masih penuh embuh, Wak Karto mengajarkanku mengambil belalang yang masih bersembunyi di balik daun-daun  padi itu. Belalang itu kemudian kumasukan ke botol bekas air mineral.

"Keluarkan lagi kalau kamu sudah puas bermain, jangan lupa masukkan satu dua helai daun padi ke dalamnya agar belalang tidak kelaparan," pesan Wak Karto saat itu.

Hm, aku kecil memang tidak terlalu feminim. Mainku di sawah bersama Wak Karto dan Istrinya Wak Tinuy. Ayah dan Ibu sibuk bekerja mendidik anak-anak bangsa. Mereka berdua, tidak keberatan jika anak perempuannya turun ke sawah mengambil belalang, turun ke selokan mengambil ikan-ikan kecil, atau berpanas-panasan di tengah-tengah hamparan sawah yang membentang dari ujung timur ke barat, selatan ke utara.

Ayah dan ibu tidak pernah khawatir anak perempuannya berkulit hitam legam. Mereka berdua baru khawatir jika anaknya tidak lagi main gara-gara sakit step demam semalaman. Itu pun mereka tetap panik dalam batas wajar. Tubuhku dikompresnya sama parutan labu siam dan dibalur bawang merah parut yang dicampur minyak kelapa. Ah, masa kecilku memang istimewa.

Langkahku maju beberapa langkah. Ada yang menarik tertangkap panca indraku. Matahari yang baru muncul dari bawah bukit. Aku jatuh cinta pada pemandangan itu. Kusempatkan megambil satu dua poto. Kemudian kembali menyusuri jalan menanjak menapaki jalan. Kuharap, bisa segera sampai di tujuan, Majelis Taklim Al Barokah.

Seseorang yang sangat aku kenal muncul dari balik pintu. Kusalami dan kukecup punggung tangannya. Ia mempersilakanku duduk. Aku sedikit kikuk namun berusaha menenangkan diri. Bertamu terlalu pagi adalah hal yang paling tidak pernah aku setujui. Sementara, kini menimpa diriku sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline