Lihat ke Halaman Asli

Menu Hari Ini adalah Teori Pembelajaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

A. Berbagai Teori Belajar dan Pembelajaran Masalalu, Kini dan Masa Depan

a. Persoalan yang Membedakan Teori-teori Pembelajaran

Teori bisa dikelompokan menurur cara mereka menjawab beberapa persoalan dasar, termasuk diantaranya persoalan tentang hakikat belajar dan proses pembentukan teori (Hillner 1978). Jawaban-jawaban atas persoalan ini tidak berupa detail-detail teori tersebut melainkan memperlihatkan secara umum apa yang diusahakan oleh teori tersebut dan bagaiman pelaksanaannya. Persoalan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

b. Delapan Persoalan yang Kontroversial

Persoalan atau pertanyaan pertama yang perlu dijawab oleh seorang teoretis pembelajaran adalah apakah ia hendak menggunakan variabel perantara (intervening variables) atau tidak. Sebagian besar teoretisi menggunakan elemen tertentu yang bisa disebut sebagai variabel perantara dalam teori-teori mereka, namun sering kali tanpa menyebutnya demikian. Dengan demikian jawaban yang paling banyak diberikan atas pertanyaan ini adalah “ya, tetapi...”.

Pertanyaan kedua adalah apakah variabel perantara atau hal tertentu yang berperan sebagai variabel perantara dalam teori, bersifat koneksionis atuau kognitif. Mayoritas teori dalam sejarah teori pembelajaran bersifat koneksionis, meskipun disana sini terdapat kompromi terhadap pendirian kognitif. Sebagian perubahan pada pendekatan kognitif dapat kita lihat pada pendekatan Bolles, pada rumusan-rumusan baru mengenai memori, pada meningkatnya minat orang terhadap pemikiran piaget dan pada tulisan-tulisan bandura yang semakin kognitif. Namun kadar perubahan tersebut belum dapatv terbaca denagn jelas menginget pentingnya pendekatan Skinnerian dalam berbagai topik. Para psikolog yang berfokus pada aspek-aspek lain psikologi menyebut perubahan ini denagn nama “revolusi kognitif”.

Pertanyaan ketiga berkaitan denagn penguatan: apakah penguatan merukpakan hakikat dasar dan inti pembelajaran, ataukah hal itu merupakan istilah keliru yang digunakan untuk menamakan  fenomena tertentu yang lebih tepat bila dijelaskan dengan cara lain? Thorndike, Hull, dan Skinner adalah yang paling gigih  mengiyakan jawaban pertama sementara watson dan guthrie adalah yang paling gigih mendukung jawaban kedua, sementara para teoretisi lain mengambil posisi yang lebih lunak diantara keduanya. Dewasa ini semakin jelas bahwa ada banyak kemungkinan mengenai bagaimana konsekuensi tindakan dapat mempengaruhi perilaku selanjutnya.

Pertanyaan keempat, yang tidak terlalu diperdebatkan namun tidak kalah penting adalah mengenai apakah pembelajaran harus dianalisis pada level molar atau pada level molekular. Semua teoretisi menganalisis paling tidak untuk sebagian level molar, yakni pada level tindakan sehari-hari. Namun namun mereka berbeda satu dan lainnya dalam hal apakah tindakan-tindakan ini harus dijelaskan melalui analisis pada level yang lebih molekular. Walaupun Wolman adalah orang yang paling tegas berpendirian untuk tinggal pada level molar,mayoritas teoretisi juga berpendirian pada teori molar ini. Dua perkecualian adalah Gutrie dan Estes, keduanya memandang bahwa pembelajaran molar berasal dari pembelajaran yang lebih bawah pada level molekular, melalui pengkondisian atau elemen-elemen kecil yang bergabung menghasilkan tindakan-tindakan molar. Dalam hal ini teori Hull dan model stimulus-sampling Estes memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terlepas dari kemiripan keduanya pada segi lainnya.

Pertanyaan kelima adalah apakah teori harus disajikan secaraformal atau secara informal. Mayoritas sistem-sistem terdahulu lebih dekat denagn sisi informal bahkan ketika ada keperluan untuk membangun struktur logika yang kuat pada teori tersebt (seperti pada Gutrie misalnya) hal itu diwujudkan tanpa masuk kedalam jebakan logika formal dan filsafat ilmu. Sebaliknya Hull dan Estes mawakili mereka yang memeasang perangkap formal tersebut, menyajikan struktur logika teori mereka secara eksplisit. Akhir-akhir ini beberapa pembuat model matematis juga mengembil cara formal. Pendekatan-pendekatan komputer harus bersifat formal seperti halnya perintah-perintah akurat yang diberiakn pada komputer, karena komputer tidak merespon (memahami) jenis lainnya. Sekalipun demikian, tidak selalu jelas bagaimana mengaitkan program komputer formal dengan perumusan yang lebih umum mengenai hakikat pembelajaran.

Pertanyaan keenam berkaitan denagn luas cakupan, seluas apa cakupan yang hendak ditangani oleh sebuah teori? Teori-teori yang menjawab pertanyaan kelima denagn penyajian formal cenderung untuk menjawab pertanyaan keenam dengan cukup sempit. Disisi lain teori yang dikemukakan secara formal bisa menangani cakupan topik yang lebih luas denagn resiko kecil untuk terjebak dalam inkonsistensi atau ambiguitas.

Pertanyaan ketujuh adalah sejauh mana penekanan diberiakn kepada pengaruh aspek bawaan terhadap perilaku dan pengaruh bayasan-batasan biologis (biological constaints) terhadap pembelajaran. Kebanyakan teoretisi  manjawab “tidak terlalu banyak penekanan”. Teori pembelajaran Amerika lebih menekankan segi perolehan daripada bawaan. Dewasa ini para teoretisi mulai memikirkan persoalan bawaan ini. Persoalannya adalah sejauh mana penekanan itu hendak dilakukan. Apakah kita sekarang berada dalam fase yang terlalu menekankan bawaan, seperti halnya fase sebelumnya terlalu menekankan perolehan ataukah kita baru menemukan adanya batasan biologis yang  nyata terhadap pembelajaran dan perilaku?

Pertanyaan terakhir adalah pertanyaan mengenai kepraktisan. Apakah pembelajaran sekedar ciptaan teoritis laboratorium dan dari balik mejanya, suatu upaya intelektual untuk memahami dunia, atau apakah hal itu upaya untuk menangani dan barangkali mengubah dunia? Persoalannya bukan pada apakah teori-teori pembelajaran semestinya bisa berguna melainkan lebih pada siapa yang harus melaksanakan aplikasinya.

c. Posisi Kanan, Kiri dan Tengah

Meskipun pertanyaan-pertanyaan diatas telah menjadi bahan perselisihan dalam teori-teori pembelajaran, pertanyaan yang paling dominan dalam sejarah bidang ini adalah pertanyaan kedua dan ketiga. Dari pertanyaan ini kita dapat melihat bahwa sejarah teori pembelajaran amerika pada abad keduapuluh terbentuk oleh sebuah arus besar (mainstream) yang mendominasi bidang ini yang dikelilingi oleh tantangan dari arah yang berlainan, menyerap sebagian tantangan itu kedalam arus besar dan terus berkembang. Arus besar ini adalah tradisi koneksionis-penguetan yang dimulai oleh Thorndike, mencapai perkembangan teoritisnya yang terbesar pada Hull dan akhir-akhir ini didominasi oleh skiner. Menurut Sinner kebiasaan atau hubungan stimulus-respon merupakan sesuatu yang berada dalam diri organisme.

Pada titik ini mungkin akan lebih baik bila kita mengubah pengibaratan yang kita gunakan menjadi pengibaratan dunia politik dan menamakan arus besar sebagai pertai tengahyang berpegang pada prinsip dasar bahwa apa yang dipelajari adalah kecenderungan membuat berbagai respon, dan bahwa ciri mendasar dalam pembelajaran adalah penguatan. Partai tengah ini ditentang dari kanan dan kiri oleh partai-partai yang lebih kecil namun vokal. Partai kanan sepakat dengan partai tengah bahwa apa yang dipelajari adalah respon, partai kanan berfokus lebih konsisten dari partai tengah pada hubungan stimulus-respon sebagai unit pembelajaran. Tetapi, berbeda dengan partai tengah partai kanan menolak peran dasar penguatan dan lebih memilih kontiguitas sebagai perinsip dasar pembelajaran. Partai kanan memiliki pendekatan yang paling mekanistik dan berfokus pada pentingnya praktik atau latihan dan pembelajaran melalui tindakan. Tokoh-tokoh terkemuka dari partai kanan adalah Watson dan Guthrie. Dengan demikian penentangan partai kanan terhadap partai tengah berlangsung dominan terutama pada awal-awal abad keduapuluh, meski pengaruhnya bisa dirasakan hingga sekarang.

Sebaliknya partai kiri tidak memperhatikan masalah penguatan sebagai gantinya berkonsentrasi menolak gagasan bahwa respon adalah apa yang dipelajari. Mereka berpendapat bahwa apa yang kita pelajari adalah pengetahuan, keyakinan, pengharapan, dan pemahaman dengan kata lain kognisi.

d. Kriteria Teori yang Ideal

jenis teori ideal yang diperjuangkan oleh para teoretisi yang paling ambisius adalah yang mirip denagn cita-cita yang digagas oleh Hull namun namun gagal diwujudkan olehnya: formal, akurat, konsisten secara internal, namun sekaligus juga cukup luas cakupannyasehingga meliputi seluruh topik mengenai pembelajaran atau motifasi. Teori tersebut memiliki berbagai postulat dan teorema, dan terkonstruksi sedemikian rupa sehingga bisa diubah untuk menangani bukti baru ketika teorema tertentu gagal dikukuhkan oleh eksperimen. Selain kombinasi keluasan dan akurasi, teori tersebut juga harus berguna dalam menyelesaikan persoalan-persoalan praktis.

e. Arti Penting Teori Pembelajaran Dewasa Ini.

Psikologi pembelajaran terapan memiliki arti penting, bukan hanya sebagai cara menempatkan teori-teori dalam penggunaannya yang praktis melainkan juga sebagai cara untuk memperbaiki teori-teori. Studi-studi terapan juga membantu kita memastikan kondisi-kondisi batas yang ada pada teori. Teori memang tidak memberiakn kita solusi, namun teori mengarahkan perhatian kita kepada variabel-variabel yang bermanfaat untuk menemukan solusi.

f.     Teori pada Masa yang akan Datang

Pada masa yang akan kemungkinan besar pembelajaran akan sangat berbada dengan sistim pembelajaran masa kini, kemungkinan-kemungkinan itu terjadi karena adanya perkembangan yang semakin maju. Maka dalam pembelajaran juga dituntut adanya perubahan secara drastis, tidak lagi menggunakan teori pembelajaran yang sudah ada dan kemudian digunakan serta di kembangkan. Kemungkinan besar teori-teoribaru  itu akan bermunculan dengan banyaknya dikarenakan kualitas pendidik yang sudah mulai diutamakan untuk membuat dan mengembangkan teori mereka sendiri dalam melaksanakan pembelajaran. Dala menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan berbagai perubahan tata nilai, pendidikan harus mampu menciptakan pengalaman-pengalaman baru, baik yang ditata secara sistematis yang merupakan pengalaman belajar secara formal di sekolah maupun yang tidak terstruktur di luar sekolah yaitu dalam keluarga dan masyarakat. Kulaitas manusia yang tangguh, handal dan unggul harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Era globalisasi telah merombak tata nilai kehidupan yang dipedomani secara mendasar. Untuk menanggulangi permasalahan yang timbul dari globalisasi diperlukan suatu kreativitas. Dalam hal ini, hendaknya pendidikan mampu meningkatkan kemampuan bersikap dan berpikir peserta didik dalam berkreatif, berinovasi serta mengembangkan wawasan yang sangat luas.

Pembinaan kreativitas peserta didik akan terjadi dengan baik di sekolah, jika peserta didik peka terhadap perasaan ingin tahu dalam menjawab permasalahan. Peserta didik akan lebih kreatif di sekolah bila dapat melibatkan diri dalam pendalamam bahan pembelajaran, mampu menganalisis, mencari alternative, menyisihkan alternative yang tidak berhasil dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan lainnya yang melibatkan daya pikir konstruktif. Jadi teori pembelajaran pada masa akan datang hendaknya suatu teori yang mampu membuat daya pikir konstruktiv anak dalam belajar dikeluarkan.

Guthrie mengarahkan kita untuk memperhatikan respon yang hendak dipelajari dalam kondisi tertentu dimana respon tersebut akan digunakan, dan juga perlu memperhatikan respon tertentu dalam kondisi yang berbeda-beda agar respon itu tertanam kuat dalam diri kita. Skinner memberi saran agar kita mencari tahu hal apa yang menguatkan tindakan tertentu, sehingga kita bisa manghadirkan penguatan itu jika kita ingin tindakan itu terjadi atau menghilangkannya jika kita ingin menghapus tindakan tersebut. Dollard dan Miller mengingatkan kita agar mewaspadai dorongan yang mungkin dipelajari dalam sebuah situasi yang kemudian bisa berfungsi sebagai dasar pembelajaran baru yang justru tidak dikehendaki. Wertheimer dan Kohler mengemukaakan pentingnya rancangan situasi pembelajaran agar tumbuh pemahaman riil yang kreatif alih-alih hapalan membuta. Lewin menganjurkan agar kita merekonstruksi ruang hidup siswa, lengkap dengan tujuan, tekanan, jalur dan hambatan yang ada dalam persepsi siswa. Bandura mengingatkan kita untuk memperhatiakn bahwa pembelajaran bisa memperlibatkan pengematan atas perilaku orang lain dan akibat-akibat yang diterimanya. Piaget dan Gagne menekankan bagaimana pembelajaran pada saat ini berkembang dari pembelajaran pada waktu sebelumnya. Tolman, Hull, Estes, dan Anderson menawarkan banyak usulan-usulan serupa denagn bentuk-bentuk yang lebih teknis. Semua usulan ini membutuhkan kreatifitas tertentu bila hendak diterapkan dalam pengetahuan praktis. Masing-masing juga menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Denagn demikian semuanya berfungsi memperkaya pemahaman kita terhadap situasi-situasi pembelajaran yang kita amati dan membantu kita menemukan solusi atas problema pembelajaran praktis yang kita hadapi.

B. Analisis Berbagai Teori Pembelajaran

1. Pengkondisian Pavlov

Pelaku eksperimen memulai percobaan denagn memberikan sebuah stimulus (stimulus tidak berkondisi). Istilah stimulus tidak berkondisi (unconditioned stimulus) dan stimulus berkondisi (conditioned stimulus) mungkin terdenagn agak janggal bila kita mengingat pengertian yang dikandungnya.dewasa ini banyak orang menyadari bahwa kedua istilah ini merupakan terjemahan yang keliru dari istilah Rusia yang digunakan oleh Pavlov. Yang sebenarnya dimaksud adalah bahwa daging merupakan stimulus tidak kondisional (unconditional, tidak dikondisikan melalui latihan-latihan sebelumnya), sementara lonceng atau stimulus lain sebelum daging yang diberikan pada percobaan pavlov adalah stimulus kondisional bagi berliur (conditional, dikondisikan denagn cara memasangkannya dengan daging. Dengan demikian karena penterjemahan yang kurang tepat, selama beberapa generasi para psikolog berbahasa inggris menggunakan istilah berkondisi (conditioned) dan tidak berkondisi (unconditioned) yang terdengar aneh. Walaupun sekarang ada beberapa penulus yang menggunakan istilah kondisional (conditional) dan tidak kondisional (unconditional), kebanyakan penulis tetap berpegang pada tradisi lama dengan menggunakan dua istilah yang kurang tepat namun lebih familiar tersebut.

Karena pavlov seorang fisiolog, wajar bila ia menggunakan istilah-istilah fisiologi. Ia mengemukakan bahwa hukum-hukum pengkondisian bisa dijelaskan oleh kegiatan timbal balik dari dua proses utama di dalam otak: eksitasi dan inhibisi. Eksitasi (excitation) adalah proses pembangkitan, proses yang cenderung membuat respon terjadi, sementara inhibisi beroperasi dengan cara yang saling bertentangan. Diantara keduanya, eksitasi memerankan peran yang jauh lebih besar dalam menciptakan pengkondisian, namun inhibisi bisa menjelaskan bagai mana berlangsungnya pengkondisian dalam hal-hal khusus.

Proses penarikan eksitasi dari stimulus berkondisi menuju lokasi stimulus tidak berkondisi bukan satu-satunya cara peredaran eksitasi di korteks. Eksitasi juga cenderung untuk secara otomatis ber-iradiasi (irradiate) yakni keluar dari pusat awalnya menyebar disemua penjuru dipermukaan korteks. Inhibisi dan eksitasi menghasilkan efek yang bertolak belakang, kedua proses ini memiliki kemiripan dalam segi lainya. Sebagai contoh inhibisi dan eksitasi sama-sama ber-iradiasi di atas korteks. Menurut Pavlov, interaksi diantara kedua proses tersebut menyebabkan berlangsungnya banyak hal dalam pengkondisian. Inhibisi biasanya muncul dalam situasi dimana eksitasi menghasilka efek yang berlebihan atau tidak sejalan. Salah satu contoh inhibisi adalah penghapusan atau ekstingsi (extinction). Contoh lainnya adalah inhibisi penundaan (inhibition of dealy) yang terbentuk ketika dilakukan penundaan yang cukup lama antara awal stimulus berkondisi dan awal stimulus tidak berkondisi. Contoh ketiga adalah pelatihan diskriminasi (discrimination training) hal ini diakibatkan oleh terbentuknya inhibisi pada lokasi korteks yang berkaitan dengan lonceng yang tidak diikuti dengan makanan.

2. Behaviorisme Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Alasan penamaan istilah behaviorisme (behaviorism) adalah karena watson hanya tertarik pada perilaku, bukan pada pengalaman sadar. Pengalaman manusia harus dikaji sama objektifnya seperti perilaku mesin. Kesadaran tidak objektif, karena itu kesadaran secara ilmiah tidak valid dan tidak bisa dipandang penting. Dan yang dimaksud dengan perilaku (behaviour) oleh Watson tidak lebih rumit dari sekedar pergerakan otot-otot. Apa itu bicara? Pergerakan otot-otot tenggorokan. Apa itu berpikir? Pembicaraan subvokal, pembicaraan dalam hati denga diri sendiri dan lain sebagainya. Dengan cara demikian Watson membuang mentalisme demi memilih ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif mengenai perilaku. Menurut Watson insting terlalu mentalistik sifatnya. Ia menegaskan bahwa perilaku disisi lain adalah persoalan mengenai refleksi-refleksi yang dikondisikan. Yakni mengenai respon-respon yang dipelajari melalui apa yang dewasa ini disebut dengan pengkondisian klasik. Kita menunjukan sosiabilitas atau agresi bukan karena kita terlahir untuk itu melainkan karena kita pembelajaran melakukan hal itu melalui pengkondisian. Upaya Watson menghancurkan teori-teori melebar bukan hanya sampai ke insting melainkan juga sampai ke ciri-ciri mental lainnya yang dianggap bawaan pada manusia. Ia menyangkal bahwa kita terlahir dengan kemampuan mental atau watak tertentu. Yang kita warisi hanyalah tubuh kita dan sedikit refleks. Perbedaan dalam hal kemampuan dan kepribadian hanyalah perbedaan dari segi perilaku yang dipelajari dengan demikian dari beberapa segi Watson adalah seorang pendukung yang gigih terhadap peran lingkungan peran berhadapan berhadapan denagn peran keturunan dalam kontrofersi terkenal mengenai nature atau nurture

Watson memandang semua pembelajaran sebagai pengkondisian klasik. Kita trelahir dengan koneksi stimulus-respon yang disebut sebagai refleks. Contohnya antara lain bersin sebagai respon terhadap gangguan dihidung dan lain sebagainya. Proses pengkondisian bagi stimulus yang berbarenagn dengan refleks yang pertama kali dideskripsikan oleh Pavlov memungkinkan setiap respon dalam perbendaharaan refleks bawaan untuk muncul ketika ada stimuli baru selain yang semula memunculkannya. Hal inilah yang menurut Watson merupakan cara kita belajar merespon situasi-situasi baru. Semua respon yang berlangsung dengan urutan yang tepat akan membentuk keahlian terlatih. Pembentukan rangkaian semacam itu dimungkinkan karena masing-masing respon menghasilkan sensasi otot yang menjadi stimuli bagi respon berikutnya. Dengan demikian perilaku baru yang kompleks diperoleh melalui kombinasi berurutan dari refleks-refleks yang sederhana.

Penjelasan Watson lainnya mengenai bentuk pembelajaran ini bersandar pada dua perinsip yaitu frekuensi (frequency) dan resensi (resency). Prinsip frequensi menyatakan bahwa semakin sering kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita mnejadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi. Begitu pula perinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi.

Watson kurang berminat pada fektor penguatan (reinforcement), imbalan (reward), dan hukuman (punishment) sebagai penyebab terjadinya pembelajaran. Sebagai gantinya ia berpendapat bahwa apa yang membuat kita bisa belajar hubungan stimulus dan respon adalah semata-mata kerena keduanya berlangsung beriring (in coniguity). Kerena itulah Watson disebut sebagai sseorang teoretisi kontiguitas yakni teoretisi yang meyakini bahwa pembelajaran bis dihasilkan melalui keberinginan (contiguity) belaka, tanpa penguatan.

Watson mengakui adanya peran pewarisan melalui keturunan atau hereditas (heredity), disamping pengakuannya yang sudah-sudah atas adanya refleksi-reflesi bawaan. Ia mengemukakan ada tiga polareaksi emosiaonal yang bersifat bawaan.tiga pole reaksi tersebut antara lain adalah takut, marah dan cinta.

3. Koneksionisme Awal Thorndike

Satu gagasan yang jelas tidak ada dalam teori Watson adalah konsep penguatan (reinforcement), imbalan (reward) cenderung meninggalkan munculnya suatu respon, dan tidak adanya imbalan cenderung mengakibatkan penghapusan atau ekstingsi (extinction). Dalam psikologi sudah lama dikenal adanya gagasan bahwa rasa nikmat dan rasa sakit sebagai konsekuensi tindakan akan sangat  menentukan perilaku kita. Butir yang paling bernulai disini adalah bahwa Watson adalah seorang teoretisi kontiguitas, Thorndike adalah seorang teoretisi penguatan. Thorndike tidak sepenuhnya menolak gagasan Watson ia meringkas pandangan ini dalam hukum pelaksanaan (law of exercise). Walaupun demikian menurutnya hukum pembelajaran yang pokok adalah hukum efek (low of effect). Hukum ini menyatakan bahwa penempaan hubungan stimulus-respon ditentukan bukan hanya oleh fakta bahwa stimulus dan respon berlangsung bersama melainkan oleh efek-efek yang mengikuti respon. Jadi efek memuaskan dan efek mengganggu yang ada pada respon akan menentukan apakah hubungan stimulus dan respon akan ditempa ata dibuyarkan. Thorndike memodifikasi hukum efek dengan menjadikan faktor pemuas lebih penting daripada faktor pengganggu. Ia menetapkan bahwa imbalan akan menguatkan hubungan stimulus-respon namu hukumnya hanya secara tidak langsung akan melemahkannya. Pendangan Thorndike mengenai pembelajaran bahwa pembelajaran adalah pembentukan hubungan stimulus-respon melalui langkah-langkah penguatan menjadi pandangan yang dominan dalam teori pembelajaran Amerika.

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teorikoneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

4. Teori Pembelajaran Menurut Guthrie

Prinsip dasar pembelajaran Guthrie mirip dengan prinsip pengkondisian Watson, Guthrie mengatakan “kombinasi stimuli yang mengiringi suatu gerakan bila diulang akan cenderung untuk diiringi oleh gerakan itu” (1960,h.13). atau dengan kata lain “jika anda melakukan sesuatu dalam sebuah situasi, ketika anda dalam situasi itu lagi anda akan cenderung melakukan itu lagi”.  Menurut Guthrie kita harus waspada untuk tidak menyamakan antara “gerakan” (movement) dan tindakan ((act) atau penyelesaian (accomplishment). Dalam prinsip pembelajarannya Guthrie merujuk pada gerakan-gerakan kecil dari otot-otot tertentu. Diperlukan kerjasama dari banyak gerakan seperti itu untuk menghasilkan suatu tindakan (act) yang terlatih. Dalam teori ini untuk memunculkan respon yang kita inginkan maka dapat ditempuh dengan tiga metode, metode pertema adalah metode ambang (threshold) yaitu dengan memunculkan stimuli yang kabur atau lemah sehingga respon yang tidak kita inginkan tidak akan muncul. Metode kedua adalah metode penat (fatigue) dengan cara mengulang berkali-kali respon yang salah sehingga individu tersebut akan merasa penat. Dan metode yang ketiga adalah metode stimuli menyimpang (incompitable stimuli) stimuli atau respon yang tidak dikehendaki dihadirkan bersama stimuli lain yang bisa menghasilkan respon berbeda dan menyimpang.

Watson dan Guthrie memandang pembelajaran bergantung pada penguatan (reinforcement). Dalam sistem keduanya, diasumsikan bahwa pembelajaran hanya ditentukan oleh keberinginan atau kontiguitas (contiguity) stimulus dan respon dengan kata lain pembelajaran hanya ditentukan oleh fakta bahwa kedua hal itu berlangsung bersama. Karena itulah Watson dan Gutrie disebut sebagai teoretis kontiguitas

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

5. Pembentukan Teori Formal Menurut Hull

Dalam konsep Hull, teori yang ideal berbentuk struktur logis yang terdiri atas postulat-postulat dan teorema-teorema seperti yang ada pada geometri euklid. Dengan demikian teori semacam ini hanyalah rekaan yang bersifat logis. Hull mengorganisir variabel-variabel perantara (intervening variabel) menjadi skema prediksi empat tahap. Tahap pertama terdiri atas variabel-variabel independen sebagai titik tolek prediksi. Tahap analisis yang kedua adalah memunculkan variabel-variabel perantara. Pada tahap ketiga ia menambahkan inovasi insentif (insentive motifation, disingkat K). Pada tahap yang terakhir dalam analisis Hull terdiri atas variabel-variabel dependen, aspek-aspek perilaku yang benar-benar bisa diamati dan diukur.

Salah satu postulat yang diperlukan untuk memahami turunan yang dihasilkannya adalah osilasi (ascillation). Osilasi menunjuk pada asumsi Hullbahwa jumlah potensi eksitatoris tidak berupa nilai pasti melainkan berupa nilai rata-rata dari distribusi nilai acak. Hull berpandangan bahwa teorinya memiliki arti penting bukan terutama karena variabel-variabel perantara yang memuat didalamnya melainkan karena segi penghitungan (kuantifikasi) yang bersifat akurat dan pasti. Postulat-postulat bukan hanya menyatakan hubugan diantara variabel-variabel, semua itu berbentuk persamaan yang bisa digunaka untuk menghitung secara teliti suatu variabel dengan variabel lainnya. Akan tetapi penilaian pihak lain terhadap karya Hull justru berbeda dari penilaiannya sendiri. Justru dalam hal ketepatan kuantitatif itulah ia palingrentan terhadap kritik.

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

6. Teori Pembelajaran Menurut Skiner

Sama seperti Thorndike, Skinner adalah teoretis yang menekanka penguatan sebagai faktor mendasar dalam pembelajaran, memiliki minat yang besar pada problema pendidikan dan tidak menekankan pada teori.

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Skiner mengemukakan ada dua jenis pembelajaran yaitu perilaku responden (respondent) dihasilkan oleh stimulu spesifik. Ketika ada stimulus, respon terjadi secara otomatis. Skiner berpendapat bahwa sebagian besar perilaku tergolong dari jenis perilaku Operan (operant). Apabila perilaku responden dicirikan oleh kemunculannya sebagai respon atas stimuli, perilaku operant dicirikan oleh operasinya terhadap lingkungan untuk menjaga berlangsungnya konsekuensi tertentu. Sementara dalam perilaku refleksi penguatannya adalah stimulus tidak berkondisi dalam perilaku operant penguatannya adalah ambalan. Jadi bisa dikatakan bahwa imbalan yang mengikuti sebuah operan membuat responnya untuk cenderung terjadi lagi.

Dalam teori Skinner suatu respon dapat dikuatkan dengan menghadirkan pengauatan positif atau menghilangkan penguatan negatif. Kedua penguatan tersebut sama-sama bisa mengkondisikan. Skinner mengemukakan bahwa efek penguatan bersifat sederhana dan langsung namun efek hukuman bersifat tidak langsung dan lebih sulit diprediksi. Hukuman tidak selalu akan mengurangi perilaku yang dihukum alasannya adalah penguatan-penguatan negatif yang bisa berupa hukuman pada umumnya juga merupakan stimulu munculnya perilaku responden. Secara umum Skinnermemandang hukuman sebagai metode yang buruk untuk mengontrol perilaku. Salah satu alasannya adalah kemungkinan akan menjadi bumerang yang menghasilkan efek bertolak belakang dengan yang diinginkan.sebab lainnya adalah bahwa efek-efek dalam penekanan perilaku yang tidak diinginkan sering kali bersifat sementara, dimana hukuman terkadang terlihat berhasil secara dramatis namun dalam jangka panjang sebetulnya amat tidak berhasil dalam mengubah perilaku.

Stimuli deskriminatif positif adalah stimulus yang menunjukan bahwa merespon akan dikuatkan : stimulus deskriminatif negatif menunjukan bahwa merespon tidak akan dikuatkan.

7. Teori Gestalt

Penekanan pera psikolog gastalt terhadap keseluruhan yang padu ini tidak berarti bahwa para psikolog tersebut tidak menyadari adanya keterpisahan. Jejak-jejak memori para psikolog gestalt bukan merupakan elemen-elemen yangbterpisah melainkan merupakan perpaduan yang utuh. Dengan kata lain merupakan suatu gestalt. Sebagai konsekuensinya belajar bukan merupakan persoalan  bagaimana menambah jejak-jejak baru dan mengurangi jejak-jejak lama, melainkan bagaimana mengubah dari gestalt satu menjadi gestalt lainnya.

Kontribusi paling penting dari teogi gestalt terhadap pemahaman kita mengenai pembelajaran adalah pada studi tentang wawasan (insight). Pembelajaran semacam itu kemungkinan sangat sulit untu dilupakan dan sangat mudah untuk ditransfer ke situasi-situasi baru. Pembelajaran bertahap melalui upaya coba-coba juga bisa diinterpretasi sebagai wawasan yang kecil-kecil dan persial. Hukum kerapatan (law of proximity) ketika diterapkan pada persepsi menunjuk pada bagaimana item-item cenderung untuk mengelompok sesuai dengan ruang sela mereka, dimana item-item yang lebih rapat akan mengelompok dan menyatu. Hukum penutupan (law of closure) menyatakan bahwa area yang menutup lebih siap membentuk satuan. Diterapkan pada persepsi fakta ini bisa dilihat dengan mengacu pada contoh garis-garis sejajar sebelumnya. Interpretasi gestalt mengenai lupa (forgetting) seperti interpretasinya mengenai pembelajaran, mengacu pada perubahan-perubahan perseptual. Jejak memori cenderung untuk berubah secar sepontan seiring berjalannya waktu menjadi gestalt yang lebih baik.

8. Teori Kognitif Sistem Lewin

Lewin adalah psikolog yang berfokus pada motifasi, kepribadian, dan psikologi sosial. Psikologi gestalt dalam pembahasannya tentang pembelajaran cenderung memandang hasrat kepada tujaun tertentu sebagai hal yang tidak perlu dipersoalkan lagi dan berkonsentrasi pada cara mencapai tujuan itu melalui rekonstruksi kognitif. Lewin lebih berkonsentrasi pada hasrat dan tujuan itu sendiri mangkaji dan menghubungkannya dengan kepribadian. Lewin merancang sebuah sistem teoretis yang bisa digunakan untuk memprediksi perilaku seorang individu yang bermotifasi. Ia menemukan jawabannya dalam konsep ruang hidup (life space). Konsep ini bisa didefinisikan dengan totalitas fakta yang menentukan perilakuseorang individu dalam waktu tertentu. Lewin menawarkan sebuah sistem yang menjelaskan dan memprediksi perilaku namun tidak menawarkan suatu teori pembelajaran. Pengetahuan mengenai ruang hidup yang dijelaskan oleh Lewin memungkinkan kita untuk memprediksi secara logis apa yang akan dilakukan oleh individu.

9. Piaget dan Perkembangan Kognitif

Salah satu cara mengidentifikasi seorang teoretisi adalah dengan melihat variabel perantara yang ia postulasikan. Piaget menggunakan skema sebagai variabel perantara favoritnya. Skemata adalah cara mempersepsi, memahami, dan berpikir tentang dunia. Skemata bisa berubah dan perubahan itu penting artinya dalam perkembangan kognitif. Proses ini disebut dengan akomodasi (accomodation). Proses akomodasi yang digunakan anak-anak untuk memperbaiki skemata mereka mirip dengan yang digunakan oleh para ilmuan untuk memperbaiki skemata teknis mereka. Yang umum terjadi pada akomodasi adalah proses kebalikannya dimana skemata mempengaruhi interpretasi pengalaman. Proses ini dikenal sebagai asimilasi (assimilation) .

Dalam perkembangan kognitif dikenal tahapan-tahapan dalam perkembangan antara lain, tahap pertama disebut dengan tahap sensori-motor (sensory-motor) tahapan ini berlangsung dari seorang individu lahir hingga ia berusia 2 tahun. Tahap kedua yaitu tahap praoperasional (praoperational) tahap ini berlangsung dari usia 2 tahun hingga usia 7 tahun, pada tahapan ini anak mulai melihatkan efek yang dihasilkan dari pembelajaran bahasa. Tahapan yang ketiga yaitu operasional konkrit (concrete operations) yang berlangsung dari usia 7 sampai 11 tahun, tahapan ini menunjukan adanya peningkatan refleksibilaitas yang melebihi tahap pra operasional. Sedangkan tahapan yang keempat atau tahapan yang terakhir adalah operasional formal (formal operations), yang berawal dari usia 11 tahun berupa peningkatan cara berpikir abstrak yang berlangsung hingga sekitar usia 16 tahun.

C. Berbagai Pergeseran Teori Pembelajaran

Setiap teori pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Jadi setiap kekurangan itu dapat dilengkapi dengan munculnya teori- teori baru sehingga terjadilah pergeseran-pergeseran. Pergeseran tersebut meliputi:

1.      Pergeseran teori dari koneksionisme menuju kognitivisme

Pada teori koneksionisme, menunjukkan adanya hukum kesiapan, dimana setiap individu harus mempunyai kesiapan dengan sepenuh hati dalam melakukan setiap tindakannya.Pengetahuan yang di dapat bersifat objektif, pasti, tetap. Belajar merupakan perolehan pengetahuan serta mengajar merupakan memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar. Otak pada teori ini berfungsi sebagai alat penjiplak struktur pengetahuan sehingga peserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengajar terhadap pengetahuan yang dipelajar. Segala sesuatu yang ada di alam telah terstruktur, teratur, rapi. Pengetahuan juga sudah terstruktur rapi.Keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas dipuji atau diberi hadiah. Ketaatan kepada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Kontrol belajar dipegang oleh sistem di luar diri si-belajar. Hal ini menjadikan proses pembelajarannya hanya berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya tanpa adanya pengembangan melalui aktivitas maupun media yang lain. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, teori koneksionisme mengalami pergeseran menuju teori kognitivisme

Teori kognitive mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan sehingga pengetahuan itu bersifat  nonobjektif, temporer, serta selalu berubah. Belajar merupakan pemaknaan pengetahuan, sedangkan mengajar itu menggali makna. Pada teori ini, otakberfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang unik, sehingga bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Jadi dengan adanya teori kognitivisme seorang siswa akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan tetap setia dalam ingatan.

2.      Pergeseran Teori Kognitivisme Menuju Teori Kontruktivisme

Teori kognitivisme lebih menmekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki orang dan lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merewspons terhadap stimulus yang dating pada dirinya.

Dalam teori kognitivisme setiap indvidu sudah mulai berinteraksi dengan lingkungannya untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman.. namun pengetahuan setiap individu berbeda- beda sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam pemerolehan ilmu pengetahuan. Dengan katya lain, siswa yang pintar akan semakin pintar dna siswa yang kurang pintar akan tertinggal.

Berdasar kelemahan teori ini, maka bergeser menuju teori kontruktivisme. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.

3.      Pergeseran Teori Kontruktivisme ke Humanisme

Selama beberapa dekade terakhir ini terjadi pergeseran dalam dunia pendidikan, yaitu pergeseran Teori Konstruktivisme ke humanisme. Menurut Teori Konstruktivisme seseorang harus membangun sendiri pengetahuannya secara aktif. Penekanan Teori Konstruktivisme adalah proses internal yang terjadi di dalam struktur kognitif individu yang belajar. Sedangkan Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.

Para ahli pendidikan menyimpulkan bahwa strategi pembelajaran yang mengacu kepada Teori Konstruktivisme lebih menjanjikan,agar para siswa dapat bertahan dan mampu bersaing di era globalisasi ini berdasarkan hasil-hasil penelitian yang membandingkan keduanya. Daur belajar konstruktivistik (Johnston, 2001) adalah salah satu contoh pendekatan konstruktivistik. Pendekatan ini mempunyai enam fase dalam kegiatannya, yaitu identifikasi TPK, mengakses pengetahuan yang telah dimiliki siswa, mengecek apakah pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut benar atau salah, memberi kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama, penerapan pengetahuan baru dalam konteks berbeda, dan evaluasi.

Perbedaan dalam pelaksanaan atau penerapan strategi pembelajaran konstruktivistik dan behavioristik adalah dalam pembelajaran yang pertama guru lebih banyak bertanya dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyatakan apa yang diketahuinya dan apa yang tidak diketahuinya daripada strategi pembelajaran yang kedua.

Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri . Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan inovasi baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan inovasi pembelajaaran, konstruktivisme lebih menekankan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.

Seruan tersebut memberi dampak terhadap landasan teori belajar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Semula teori belajar dalam pendidikan Indonesia, lebih didominasi aliran humanisme. Akan tetapi saat ini, pendidikan di Indonesia banyak yang menyerukan agar landasan teori belajar mengaju pada aliran konstruktivisme. Akibatnya, oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran. Orentasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya.

Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.

Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76). Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).

Memperhatikan uraian diatas, nampanya pembelajaran dengan pendekatan problem posing sejalan dengan prinsip pembelajaran berparadigma konstruktivisme. Melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing, siswa bisa belajar aktif dan mandiri. Ia akan membagun pengetahuannya dari yang sederhana menuju pengetahuan yang kompleks. Dan dengan bantuan guru, siswa bisa diarahkan untuk mengaitkan suatu informasi dengan informasi yang lainnya sehingga terbentuk suatu pemahaman baru.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung proses tersebut adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem posing memiliki dampak positif terhadap prestasi belajar siswa.

Selain itu Rusefendi dalam Surtini (2004:49) mengatakan bahwa upaya membantu siswa memahami soal dapat dilakukan dengan menulis kembali soal tersebut dengan kata-katanya sendiri, menuliskan soal dalam bentuk lain atau dalam bentuk operasional. Kegiatan inilah yang dikenal dengan istilah problem posing. Oleh karena itu dengan pembelajaran problem posing ini, siswa diharapkan dapat membuat soal sendiri yang tidak jauh beda dengan soal yang diberikan oleh guru dari situasi-situasi yang ada sehingga siswa terbiasa dalam menyelesaikan soal termasuk soal cerita dan diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline