Lidah raksasa menyala menjilati rakus dinding dan atap rapuh itu. Membara perkasa tak ciut atas segala usaha yangberusaha membinasakannya.
Di tengah galau dan kacau, mata ini terpaku ke arah perempuan sebelia diriku. Ibarat manusia yang hanya mengenal kata kotor, maka kulihat dia serupa makhluk kumal dan luka yang tersebab karena api jahat tersebut.
“Ayah-ibunya dan saudara-saudaranya mati terbakar. Hanya anak ini yang selamat.” Seorang wanita menggendong mahluk kecil itu. Mendekap dalam pelukan. Ingin memberikan aman dan damai bagi jiwa yang tengah tergoncang.
Mengerikan. Aku tidak pernah mengenal rasa pedih selain kekecewaan karena tak dihadiahkan mainan indah oleh ayah-bundaku.
Dan menjadi saksi di saat tempat bernaungmudanmanusia satu darah yang selalu menemanimu di tempat tersebut lebur menjadi arang, itu sama saja neraka bagiku.
Tapi perempuan kecil itu. Aku tak melihat matanya basah, aku tak dengarrengekan orangyang berkabung. Dia bisu, tatapannya mati. Tanpa rasa dia tak bergerak dalam pelukan sang wanita.
“Gadis kecil ini begitu shock dan trauma, sampai-sampai tak mampu bicara atau apa-apa lagi,” perkataan terucap lagi dari wanita penolong tadi.
Trauma?Shock?Diri tak mengerti. Usiaku yang belum keluar dari angka 10, hanya tahu bahwa manusia berair mata bila bersedih, marah bila kecewa, dan tertawa bila bahagia. Namun gadis belia itu. Diri ini lebih menganggapnya sebagai mahluk yang hanya hidup, hanya bernafas dan mengedipkan mata, namun emosinya mati. Aku tak mengerti.
Waktu berlari, membuat aku lebih mengerti segala inti sari. Perempuncilik mulai hidup. Bibirnya bukan hanya sebatas garis pendek, namun mulai mmpunyai lengkungan senyum. Kedua matanya mulai bercahaya bintang. Mungkin karena ayah-bundaku bersedia memberinya cinta sama seperti orang-tua matinya dulu. Dan karena aku bersedia menjadi teman satu tempat tidurnya. Berjalan beberapa waktu lagi yang membuat keintiman semakin mengikat. Kami mengenalnya sebagai Ratih.
“Ratih, mari ikut denganku. Kamu tidak bisa berdiam di rumah saja. Dunia luar akan membuatmu senang. Kamu perlu mengenal dengan banyak orang.”
“Rumah ini cukup membuatku senang. Aku tidak perlu mengenal banyak orang. Orang-tuamu dan kamu sudah cukup.”
Begitulah. Setiap orang di sini yang tidak pernah basa-basi mencintainya, sudah menyerah membujuk Ratih. Suatu waktu yang telah terlupa, Ratih berkata, ia tidak ingin mengenal banyak orang. Menyayangi seseorang membuatmu menderita saat orang itu menderita, membuatmu serasa mati saat orang itu mati.
“Dia masih trauma.” Ibuku berujar.
Jadi tak tepat bila diri berkata, Ratih mulai hidup. Ratih hanya hidup di rumah ini saja. Di luar, ia kembali menjadi manusia yang hanya bernafas dan mengedipkan mata saja. Membuatku mulai tak nyaman, dimana waktu penuhku bersamanya mulai terbagi bersama cinta pertama di awal masa-masa remajaku. Kadang muncul perasaan bersalah saat aku pamit padanya. Kulihat mata kesepiannya namun masih sanggup tersenyum tulus dan restu untuk kepergianku memaduromantisme bersama pemuda yang telah menebarkan ribuan kelopak bunga merah muda di permukaan hatiku. Kelembutan indah pertama yang diri dapat dari bibir dan sentuhannya, yang lambat-lambat menuntunku kepada dosa.
“Nia hamil ayah.”
Runtuhlah kebanggaan ayah-bunda kepada gadis yang mereka pupuk dengan cinta dan asa besar. Diri bagai domba naïfyang percaya kepada serigala yang berlari pergi setelah perutnya kenyang. Ku hanya berpeluk kepada Ratih, tak kuasa lagi ku mengeluhkan dosa dan air-mataku kepada orang tua, aku tunduk muka di hadapan mereka, sama halnya dengan mereka yang berjalan tunduk muka, tutup telinga akan bisik bising tetangga tentang kekotoran anak gadis mereka.
Ibu tenggelam oleh rasa gagal akan status ibu yang dipegangnya. Dia mati sakit. Dan jiwa ayah ikut mati. Tak percayaku, saat pria yang hidupnya tangguh itu mengoyak raganya sendiri dengan gunting tajam. Hatiku ikut koyak.
Pada siapa aku meminta petuah? Pada siapa aku belajar menjadi bunda untuk calon manusia di dalam perut ini?
Tak ada siapa-siapa selain Ratih. Dia pernah kehilangan kedua orang-tuanya dulu, mungkin dia mengerti perasaanku. Dia tak melipurku dengan bahasa, namun pelukannya hangat. Ratih kuanggap malaikat pendampingku. Kurasakan kasih Ratih layaknya manusia sedarah yang pernah terlahir dari satu rahim yang sama.
Namun aku mulai meragukan dirinya sebagai seorang manusia pengasih saat suatu kala ku lihat dirinya di kebun. Kuhampiri dan kulihat Ratih memasukan sesuatu ke dalam baskom berisi air.
Terkejutnya diri saat menyadari hal yang ditenggelamkan Ratih ke dalam air bukanlah sesuatu, tapi mahluk yang telah mati.
Ratih menyadari keberaanku
“Kaki kucing ini buntung. Kulihat beberapa anak memainkannya dengan kejam di jalan tadi. Aku tidak tega, jadi aku membawanya, “ujarnya tanpa menoleh, kedua tangannya menimang kucing tanpa nyawa tersebut. Dan tak kulihat iba di matanya.
“Kamu membuatnya mati. Kamu menenggelamkannya!!” seruku marah.
“Kucing kecil ini masih bingung mencari makan dan kehilangan satu kaki. Kucing ini akan menderita, aku membuat hidupnya lebih tenang.” Ada senyum yang bertahan selama beberapa detik dan yang tersisa hanyalah tatapan Ratih pada raga mungil yang mati di tangannya tersebut. Tatapan tanpa emosi yang sama yang pernah terarah pada rumah kumuhnya yang menghanguskan seluruh keluarganya dulu.
Kini kusadari, itu bukan tatapan depresi seseorang yang kehilangan.
Itu bukan pula tatapan manusia.
Aku tak dapat pulas malam ini. Terbayang derita anak kucing yang meronta dibinasakan Ratih. Namun saat pintu terbuka, ku berpura memejam mata.
Ratih masuk, dan tiba-tiba ku merasa ngeri, seakan iblis datang menghampiri.
“Ani minum susu ini. Ini akan membuatmu lebih baik dan bisa tidur”
Tangan yang menyentuh bahuku membuatku tersengat. Diri tak bisa melanjutkan kepura-puraan lagi. Mata ini memandangnya dan terdapat sebuah senyum di sana. Hati lega.Itu bukan lagi senyum iblis. Kenangan akan kucing malang, terlepas saat itu juga.
Aku memutuskan untuk meneguk kebaikan Ratih di dalam gelas itu. Tapi rasa minuman hangat itu tidak senikmat biasanya, “rasanya aneh.”
“Tidak ada yang aneh. Habiskanlah.”
“Ya, nanti,” aku menunda. Aku menyimpan gelas susu itu di meja samping pembaringan.
Ratih mengusap kepalaku sayang, “bila kamu ingin tidur lelap, lebih baik kamu habiskan susu itu.”
Kujulurkan lengan untuk meraih gelas itu kembali, namun urung saat kedua lengan ini lebih memilih untuk memeluk lututku yang menekuk. Jiwa lemah bersiap untuk mencurahkan kepedihan hati lagi.
“Apa anak ini akan sanggup tumbuh di tengah cacian orang-orang sekitarnya kelak? Bahkan apa anak ini akan bisa tumbuh? Aku sendiri masih belum puas dengan kasih sayang orang-tuaku, dan segera aku harus menjadi orang-tua? Sungguh tuhan tak menunggu sampai hari penghisaban tiba untuk membalas dosaku di dunia, Ratih.”
Hal yang kusadari, saat yang menimpaku terlalu berat, maka jiwa dan raga ini menjadi lemah, segala sakit tiba-tiba saja terasa. Serasa ribuan semut menggerogoti isi kepala, rasa haus melanda, namun di saat aku mencoba menelan, hanya perasaan tercekik yang kurasakan. Usapan lembut jemari Ratih tak membuat rasaku baik.
“Aku pusing, aku akan tidur…” aku hendak berbaring, namun Ratih menahan gerakanku.
“Minum susu itu, dan kamu tidak akan merasa sakit lagi.”
Aku menggeleng lemah, “aku tidak mau…”
“Kamu hanya meminumnya sedikit, maka racunnya bereaksi dengan lambat. Bila kamu menghabiskannya sekaligus, sakitnya akan cepat hilang.”
Aku mematung, memandang gadis di hadapanku dengan rasa bingung, “racun?”
“Aku tidak tega melihatmu hidup di tengah cibiran orang-orang yang menyebutmu pelacur, penzina. Kamu hanya korban, Aku mengenalmu, dan aku tahu kamu orang baik.”
Ratih menyodorkan gelas susu itu padaku,mendesakku untuk meminumnya.
Aku berontak, dengan sisa daya yang sebagian menghilang ku mendorong Ratih, gelas terlepas dari genggamannya. Beradu dengan lantai keras, lalu pecah berderai.
Ratih terkesiap. “Kamu tidak boleh murka kepadaku Ani. Dunia ini jahat, bukan tempat yang tepat untuk orang yang baik tapi lemah.Kamu lebih baik mati.”
Aku beranjak dari pembaringan. Membuat jarak jauh darinya, waspada, “kau ingin membunuhku Ratih?!”
Ratih memberi senyum malaikat pelindung, “aku hanya akan mengirimmu kepada dunia yang lebih baik.”
“Semuanya akan membaik Ratih.”
Ratih melangkah mendekat, “Setelah semua keluh kesahmu? Keciutan hatimu?”
Ratih menggeleng, “kamu tidak sanggup. Tidak ada yang membelamu. Akupun manusia yang kurang daya untuk melindungimu dari kejahatan mahluk mayapada. Sama seperti anak kucing berkaki buntung itu.”
Aku tersudut. Ratih memusnahkan jarak antara kami. Ketenangan malaikat maut itu mencekam, mengenalkan diri akan rasa takut yang tak biasa.
“Dunia ini hanya berisi predator. Hanya berisi manusia yang menganggap agama adalah nama yang terlupa. Manusia yang mencibir budaya norma.“
“Di antara mereka masih terselip manusia yang memiliki kemuliaan.”
Ratih tersenyum sinis, “manusia mulia itu nabi.”
“Aku kira kau menyayangiku selayaknya saudara sekandungan.”
“Aku menyayangimu. Karena inilah aku melakukannya. Ini caraku melindungi kalian.”
“Melindungi kalian? apa maksudmu dengan kalian?
“Aku menyesal kenapa tdak memikirkan cara ini untuk keluargaku dulu. Mereka tentu akan lebih baik daripada harus menderita lama menunggu saat tubuh mereka betul-betul hangus dalam kobaran api tersebut.”
Rasa tidak percaya menyadari bahwa diri telah menawarkan dan menjalani kebersamaan kepada seseorang yang sanggup membunuh keluarganya sendiri, “ka-kau membakar rumah itu? Kau yang membakar orang tua dan saudara kandungmu sendiri?”
“Aku merasa bersalah kepada mereka. Harusnya aku menggunakan cara yang lebih cepat untuk mengantar mereka kepada kematian damai.”
Ratih menghapus peluh dingin yang mengembun di permukaan dahiku, merapikan setiap helai anak rambut yang berantakan di sana. “Ayah-ibu orang baik, namun terlalu lemah menjalani hidup, terlalu lemah untuk mengisi penuh perut laparku dan saudara-saudaraku. Aku tidak tega. Keluargakuorang baik, terlalu baik. Maka mereka harus pergi ke tempat yang lebih baik. Tuhan akan menjaga mereka.”
Ratih menerawang mengingat kenangan. Lalu matanya kembali menatapku dengan penuh kasih, “ayahmupun baik Ani, namun dia tidak akan kuat berjalan di muka bumi ini tanpa ibumu sabagai kekasihnya. Maka kuantar dia menuju pelukan ibumu dengan gunting besar itu.”
Aku tercengang. Mataku tergenang lara. Hati terjepit perasaan duka dan sesal karena pernah menuduh pria tauladanku itu sebagai mahluk yang pernah pengecut dan lari dari hidup, lari dari dirinya, “teganya kau Ani...”
“Sama halnya dengan kamu, kuantar kau menuju mereka. Kalian akan berkumpul dengan senyum.”
“Kami tidak berhak mati di tanganmu!”
“Ya aku berhak!”
Ratih menyerangku. Aku melawan, kami bergumul. Berguling di lantai, terantuk ke dinding. Aku memperebutkan nyawaku dengan Ratih. Aku tersudut. Terjebak dalam ketidakberdayaan saat mendapati kesepuluh jemari lentik Ratih bekerja sama berusaha menghentikan masuknya jalur oksigen di kerongkonganku. Aku yakin leher dan wajahku telah membiru karena hampir kehabisan nafas. Sedetik aku berpikir untuk menyerah mati. Namun sedetik melintas di kepala. Aku akan membawa sepuluh ribu karung dosa atau bahkan lebih bersama matiku nanti. Aku belum membersihkan diri. Aku akan benar-benar akan dipecundangi Tuhan di akhirat sana. Maka tekadku memberi setitik kekuatan untuk melepas diri darinya. Kucengkram sesuatu di tanganku dan kuhempaskan pada batok kepala Ratih. Begitu keras untuk melumpuhkan kesadarannya.
Aku terbebas. Raga ini begitu lelah. Entah karena pergumulanku dengan Ratih entah reaksi racun dari susu yang kuminum satu teguk tadi. Aku terduduk bersandar pada dinding dengan rasa kepayahan.
Bola mata ini memandang Ratih yang lebih tanpa daya terkapar di lantai. Diri tak percaya. Gadis sebelia diriku, yang sudah kuanggap bagian darikeluargaku, jiwanya telah teracuni bisikan iblis jauh entah semenjak kapan.
“Orang yang punya keinginan dan berjuang untuk hidup. Dia punya hak untuk hidup Ratih. Orang seperti itu bukan orang lemah seperti yang kamu kira. Masalah apakah dia dapat bertahan atau tidak bukan urusanmu. Tuhan akan memberi mandat kepada malaikat maut untuk menjemput ajal mahluk yang Dia pilih. Dan kamu bukan malaikat maut.”
Beralih dari Ratih, Aku membelai perut yang telah sedikit membuncit ini, “dunia ini kejam dan mematikan sayang. Tapi selagi kita belum mati, berarti kita punya kekuatan untuk hidup”
“TOLONG!...”Kukeluarkan sisa suara sekencang yang ku bisa, beberapa kali kuteriakan kata itu.
“Bila usaha Ratih adalah maut yang tertunda, maka sang ruh akan ikhlas meninggalkan raga hari ini. Tapi bila sisa kekuatan ini adalah modalku untuk melanjutkan hidup, maka biarkan aku mencobanya tuhan.”
Dan aku lega beberapa manusia datang dan mencoba menolong.
“Aduh neng Ani! Ini kenapa?!”
“MasyaAllah… Ratih juga kenapa kepalanya bisa sampai berdarah gini?”
“Cepat antar ke rumah sakit!”
Suara-suara panik tersebut malah menentramkanku.
Kau lihat Ratih? Beberapa dari orang-orang ini pernah memberi panas pada hati dan telinga keluargaku karena perkataan-perkataan mereka. Tapi mereka tidak cukup jahat untuk membiarkan kita berdua terlantar mati. Tidak ada orang yang seratus persen mulia, tapi jangan takut kehabisan orang baik.
Aku menutup mata. Merelakan ragaku kepada mereka yang sudi menolongku. Dan aku relakan nyawa ini kepada tuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H