"Mbak, maaf ya, pesenan Sate Lilitnya 4 pak cuma aku kirim 3. Yang satu dimakan anakku. Aku sibuk nyiapin orderan, eh dia lapar, diembatnya sate itu."
"Gapapa. Kamu sama anak-anak sehat, kan?"
"Alhamdulillah, sehat semua."
Chat antara saya dan bestie, seorang ibu tunggal dengan 3 buah hati yang dirumahkan akibat pandemi dan berjuang mengais rezeki sendiri tanpa dukungan dari mantan suami.
Setiap kali ngrumpi dengannya, mata saya mbrambangi. Sebagai sesama perempuan, saya beneran enggak tega dengan kondisinya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, barusan menata jiwa setelah ditinggal suami, eh kena PHK. Ia pun banting stir, berjualan penganan dan jadi reseller segala rupa.
Saya saluuut melihat perjuangannya. Meski tak banyak yang bisa saya lakukan, selain mendengarkannya curhat, mendoakan dan memberinya dukungan.
Sejatinya setelah di-PHK ia sudah berusaha mencari kerja. Meski punya pengalaman selama dua dasawarsa - dengan posisi terakhir di tingkat manajerial, sulit baginya mendapatkan pekerjaan.
Memang ia sadari situasi pandemi membuat job susah didapatkan. Tapi, ia merasa latar belakangnya sebagai single mom, sedikit banyak meragukan perusahaan. Ada 3 bocah yang mbuntutin, di mana emak-emak kalau sudah urusan anak yang lain bakal dipinggirin. Sementara, ketika ia berjuang merintis UMKM, ada saja kendalanya.
Hm, enggak kali ini saja saya dengar cerita serupa!
Sebuah kisah di mana perempuan tidak mendapatkan akses dan kesempatan kerja yang luas dan berkeadilan. Profesionalitas perempuan, terutama yang sudah menikah/punya anak sering diragukan!
Sementara, saat mereka berniat merintis UMKM, juga tertatih-tatih prosesnya. Entah disebabkan kurangnya kecakapan digital, minimnya akses informasi, atau tersandung diskriminasi!