Lihat ke Halaman Asli

Dian Purnomo

Dian Purnomo

Lintasan Sejarah Aksi Mogok Buruh di Pelabuhan Semarang Masa Revolusi dan Republik

Diperbarui: 24 Desember 2023   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan Semarang pada tahun 1927, sumber: Digital Collections Universitiet Leiden.

Pelabuhan merupakan tempat berlabuhnya kapal yang menjadi pusat perekonomian sebuah kota. Banyak kota-kota yang didirikan di Indonesia, terutama di Pantai Utara Jawa, berawal dari pelabuhan yang ramai, disitulah interaksi antara pedagang dan masyarakat terjadi secara masif yang pada akhirnya menciptakan sebuah kehidupan yang dinamis. Namun demikian pelabuhan memiliki permasalahan yang harus dihadapi, salah satunya ialah konflik buruh yang terjadi khususnya di Semarang. Konflik ini terjadi manakala terjadi perbedaan kepentingan antar kelompok yang saling berusaha untuk mendominasi pelabuhan dan memenhi segala kebutuhan dan harapannya.

            Dalam lintasan sejarah Indonesia, pelabuhan Semarang, sering terjadi konflik buruh pelabuhan yang mengakibatkan terhambatnya sistem dan kinerja pelabuhan tersebut dalam melayani dan memberikan pelayanan pengangkutan barang dan komoditas kepada konsumennya. Bahkan tidak jarang pemogokan buruh terjadi di pelabuhan demi untuk memprotes kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Konflik dalam bentuk aksi-aksi mogok kerja ini terjadi pada masa revolusi hingga masa republik.

            Ketika Indonesia, mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Semarang merupakan sebuah kota yang penting kedudukannya di Jawa Tengah, sebagai kota pelabuahan dan perekonomian. Namun demikian kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Pada 16 Mei 1946, Inggris atas nama tentara sekutu menyerahkan Semarang kepada Belanda. Otomatis Semarang, secara administratif masuk kedalam sistem kolonial Belanda, kembali dengan menggunakan nama gemeente atau kotamadya. Dalam rangka menghidupkan kembali perekonomian Semarang yang sudah carut-marut akibat Perang Pasifik, maka Belanda segera melakukan normalisasi kegiatan di pelabuhan Semarang.

            Dalam melakukan normalisasi tersebut Belanda kembali membangun infrastruktur pelabuhan yang rusak serta memberikan kesempatan kepada perusahaan pelayaran milik asing untuk kembali beroperasi lagi. Dua perusahaan pelayaran Belanda yang telah beroperasi sebelum Perang Pasifik, kembali diaktifkan, yaitu perusahaan bongkar muat SSPV (Semarangsche Stoomboot en Prauwen Veer) dan Semarang Veem. Sebagai informasi bahwa perusahaan SSPV merupakan perusahaan yang beroperasi terhadap kegiatan bongkar muat barang-barang menggunakan perahu tongkang terhadap kapal-kapal besar yang tidak dapat berlabuh di pelabuhan Semarang.

            Dalam waktu yang bersamaan dengan diadakannya normalisasi pelabuhan Semarang, pemerintah Belanda, menghadapi perlawanan gerilya dari masyarakat Semarang. Perlawanan ini juga dilakukan oleh sarekat-sarekat buruh yang bekerja di pelabuhan Semarang. Aksi pertama terjadi pada akhir tahun 1947, dimana Gabungan Buruh Pelabuhan (GBP) melakukan aksi mogok kerja terhadap kebijakan kerja lembur di perusahaan SSPV. Kerja lembur ini penting bagi perusahaan SSPV, yang pada saat itu menerima banyak sekali permintaan bongkar muat akibat ramainya pelabuhan Semarang pasca Perang Pasifik. Permintaan tersebut tidak dibarengi oleh ketersedian kapal tongkang milik SSPV, sehingga para buruh pelabuhan diminta untuk melakukan kerja lembur untuk menangani permintaan yang banyak tersebut.

            Alasan kerja lembur tersebut bukan satu-satunya alasan para buruh melakukan mogok kerja. Alasan lain yaitu adanya jam kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Pada tahun 1947, jam kerja mereka di atas jam lima tidak diperhitungkan sebagai kerja lembur oleh pihak manajemen perusahaan, padahal kerja mereka tersebut bisa jadi terhambat karena adanya cuaca yang seringkali berubah di pelabuhan, sehingga untuk menyandarkan kapal bertonase besar menggunakan tongkang menjadi terhambat dan memakan waktu yang agak lama. Aksi pemogokan yang terjadi tersebut kemudian dapat diredakan dengan bantuan walikota Semarang, yang memberikan kemudahan akses terhadap tuntutan-tuntutan para buruh pelabuhan tersebut. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa berhentinya aksi mogok tersebut disebabkan oleh adanya konflik internal didalam organisasi GBP, sebagai organisator penggerak aksi mogok tersebut.

            Pada tanggal 27 Desember 1949, yaitu pada saat penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda, aksi-aksi mogok buruh pelabuhan tidak terjadi lagi. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya pihak militer Indonesia, yang mengawasi dan menguasai pelabuhan Semarang. Pasca penyerahan kedaulatan, otomatis wilayah Kota Semarang berada dibawah kendali pemerintah Indonesia. Pada masa ini terjadi perubahan yang fundamental terhadap Serikat Buruh. Jika pada masa kolonial Belanda, sebelum 1949, Serikat Buruh dianggap sebagai musuh oleh pemerintah karena dianggap dikendalikan oleh orang-orang Komunis. Orang-orang Komunis itulah yang menurut anggapan pemerintah kolonial Belanda, sebagai dalang terjadinya aksi-aksi mogok kerja di pelabuhan. Berbeda dengan masa Republik, pada masa ini Serikat Buruh dianggap sebagai partner pemerintah, dalam mengambil berbagai kebijakan.

            Krisis ekonomi dan ketimpangan sosial di masyarakat pada awal tahun 1950-an, menjadi alasan kembalinya aksi-aksi buruh pelabuhan. Pada Desember 1950, para buruh melakukan tuntutan kenaikan upah, pemberian tunjangan keluarga, dan dana pensiun kepada perusahaan SPPV (Semarangsche Stoomboot en Prauwen Veer), PKM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij), dan NHB (Nederlandsch Haven Bedrijf), yang kesemuanya merupakan perusahaan pelayaran Belanda yang masih beroperasi di Semarang. Aksi-aksi buruh tersebut terjadi hampir setiap tahunnya, yaitu pada tahun 1951, 1952, dan 1953, diantara tuntutan-tuntutan yang diajukannya sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Surat kabar Suara Merdeka memberitakan bahwa pada tahun 1954 secara keseluruhan telah terjadi aksi pemogokan atau anti-kerja lembur sebanyak 49 hari, sedangkan NHM cabang Semarang menyebutkan angka lebih dari 50 hari. Pada tahun 1955, terhitung sebanyak 36 hari, dan tahun 1956 sebanyak 44 hari. Dari angka-angka tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah pemogokan yang dilakukan akibat dari ketidakadilan yang dirasakan oleh buruh pelabuhan setiap tahunnya lebih dari satu bulan aksi pemogokan itu dilakukan.

            Pada tahun 1957, ketika terjadi gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, maka perusahaan SSPV pun turut dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Pada saat itu buruh yang tergabung didalam berbagai Serikat Buruh, menaruh harapan terhadap perbaikan kondisi ekonomi yang akan membaik serta tunjungan masa depan yang cerah, namun demikian harapan tersebut tidak terjadi lantaran terjadi halangan dan kecaman dari pihak militer yang menguasai perusahaan-perusahan pelayaran di Semarang, kepada para Serikat Buruh. Bahkan tidak jarang para buruh yang menjadi korban karena diperalat oleh para elite baik sipil ataupun militer demi keuntungan politik dan ekonomi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline