Lihat ke Halaman Asli

Nilai Kepintaran vs Nilai Kehidupan

Diperbarui: 30 Juni 2016   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar dari : shanty.staff.ub.ac.id

Belakangan ini, orang tua memberi penilaian anak hanya sebatas pada angka yang tertera dalam hasil akademiknya. Sudah pasti bagi orang tua yang anaknya mendapat nilai tinggi di rapor akan sangat bersyukur dan gembira. Eits, jangan dulu senang dengan nilai tersebut.

Kecerdasan dengan angka besar di rapor belum jadi jaminan ia akan menjadi seseorang yang berhasil di kemudian hari.

Kenapa bisa demikian?

Anak hidup tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, melainkan ia dituntut untuk mampu memberi kepuasan batinnya sendiri. Itu sebabnya, sekolah dan keluarga mesti berintegrasi agar menciptakan generasi sukses baik untuk diri sendiri dan memberikan kebermanfaatan.

Keluarga dan sekolah?

Ya, sekolah hanya memberikan soal berupa angka, bahasa, dan lain sebagainya. Kalaupun paling sulit hanya sebatas pada matematika, fisika, atau mungkin karena anak tak suka, bahkan tidak menyenangi subjek mata pelajaran tersebut. Sedangkan keluarga memberi persoalan dan mengajarkan jalan keluar mengenai persoalan kehidupan. Ini yang nantinya membuat seorang anak tahan terhadap terpaan.

Kemudian, di sekolah hanya menerapkan materi aspek soal yang hanya berupa contoh. Sedangkan keluarga, si anak tersebut menjalankan langsung persoalannya, lalu menyelesaikan. Dan yang terakhir sebuah kurikulum yang ada di sekolah meski merupakan sistem yang rumit, namun belum sesulit rentetan problem mengenai hidup.

Itu mengapa, tak sedikit orang cerdas, pintar, dan punya segudang prestasi ternyata justru terjerumus perbuatan tercela seperti bunuh diri, menganggap diri gagal, melakukan kriminalitas, dan lainnya. Karena sekolah hanya membentuk anak sebagai orang yang berprestasi dari segi nilai. Sedangkan keluarga menciptakan insan yang siap untuk berhasil menghadapi apapun yang akan terjadi di kehidupan.

Maka jelas bahwa keluarga senyatanya pendukung utama kesuksesan seseorang. Namun apabila kemudian si anak ini diberi pendukung lain berupa pendidikan, tentunya anak tersebut bukan lagi sukses tetapi dapat memberi kesuksesan untuk orang lain bahkan bagi bangsa dan negara. Sukses dan menyukseskan bukanlah pilihan, tetapi merupakan hak yang bisa didapat semua anak.

Opini ini merupakan buah pikiran murni dari Dian Pertiwi Joshua, Mahasiswi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Universitas Negeri Jakarta(UNJ) yang diikutsertakan dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga Tahun2016 dengan tema, “Penguatan Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak.” Kompetisiini diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline