Dewasa ini, Indonesia telah memiliki banyak perusahaan berskala besar di bidang media massa yang menguasai berbagai jenis media dan kemudian berkembang menjadi konglomerasi.
Konglomerasi media dalam beberapa kasus semakin lama justru hanya menjadikan media sebagai alat kepentingan ekonomi dan politik dari pemilik media bersangkutan. Seperti kita ketahui, beberapa media saat ini dimiliki oleh pengusaha dan pendiri partai yang berafiliasi pada kepentingan ekonomi dan politik tertentu.
Paduan antara kendali konglomerat media secara nasional dengan pemilik media yang juga pemimpin partai politik tak jarang mengancam independensi ruang redaksi.
Media massa dan pemberitaan yang dihasilkan menjadi sangat bias dan cenderung menipu publik. Bahkan, tak jarang terjadi semacam "malapraktik" pemberitaan media massa.
Dengan atau tanpa kita sadari, pemberitaan media saat ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menekan kelompok lawan, baik untuk kepentingan ekonomi dan politik dari sang konglomerat atau bahkan untuk mempromosikan dan menguntungkan kelompok bisnisnya sendiri.
Kecenderungan media di tengah praktik konglomerasi yang terus merajalela hingga kurang bisa untuk menghubungkan suara rakyat dalam hal sinergitas pengawasan terhadap pemerintah maupun terhadap lembaga lembaga publik. Media lebih intens pada kepentingan sendiri termasuk mencari keuntungan dengan jumlah presentase yang cukup besar.
Pada akhirnya, kita sama-sama menyaksikan bahwa media menjelma menjadi wadah "pebisnis" yang meraup keuntungan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Sehingga secara umum dapat dipahami bahwa ekspansi dan konglomerasi media yang dilakukan oleh media, memiliki dua tendensi kepentingan berkaitan dengan kebijakan, yaitu potensi implikasi sosial politik dan budaya yang diinginkan dari perusahaan media, serta potensi ekonomi yang ingin diraih dari pengembangan usaha media tersebut.
Konglomerasi media mengarah pada persaingan bisnis tidak sehat antar pemilik media massa sehingga menyebabkan beberapa perubahan terutama dalam membuat konten siaran atau pemberitaan pers yang menjadi subjektif dan sarat kepentingan.
Tidak adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) akan membuat penyeragaman opini publik.
Sehingga cepat atau lambat, penyeragaman opini dan kekuatan bisnis politik oleh kekuatan media yang dominan akan berdampak buruk dan mengancam regulasi serta kebebasan pers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H