Itulah kata-kata yang tertulis di tutup kopi kemasan plastik yang dibagikan ulang oleh salah satu orang yang berkesan di hidupku. Sederhana tapi penuh makna bagiku. Rasanya seperti tertampar untuk yang ke-sekian kalinya.
Harus aku akui, selama ini memang telah menjadi manusia yang bodoh dalam urusan asmara. Bisa dibilang kurang peka, tidak peduli, atau sering terlambat menyadari segala sesuatu yang ada di sekitarku. Menyendiri, mengabaikan berbagai hal ataupun orang yang ada di sekitarku telah menjadi kebiasaan.
Aku teringat dengan kejadian sekitar 8-9 tahun yang lalu. Ada seseorang yang pernah berusaha mengalihkan perhatianku. Berusaha selalu ada di dekatku untuk menemani dan mengikuti hal-hal yang aku lakukan. Dia salah satu anggota klub basket di SMP sekaligus teman sekelasku.
Sering kali di berbagai kesempatan dia selalu mencoba membuka topik perbincangan denganku . Namun, aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia sering membuatku menjadi pusat perhatian di kelas karena pernyataan kontroversialnya. Awalnya, aku tidak menyukainya dan cenderung membenci sekaligus menghindarinya.
Dia pernah berkali-kali mengatakan bahwa kita (aku dan dia) mungkin jodoh karena memiliki berbagai persamaan dalam hal sederhana atau terlibat suatu kejadian bersama secara kebetulan. Dia tidak segan mengatakan pernyataan itu di kelas sekalipun ada guru.
Tidak hanya itu, dia pernah menunjukku untuk menjawab pertanyaannya saat presentasi demi bisa berkenalan denganku sebab dia masih belum hafal. Itulah salah satu kejadian yang memalukan dan tak terlupakan ketika SMP.
Selama berbulan-bulan dia duduk di sebelah kiri-ku. Saat aku diam di kelas dan tertunduk tidur, dia menemaniku dan tidur di bangkunya. Sampai-sampai jika dia tertidur, teman sekelas kita akan mengatakan karena dia tertular virus ngantuk dan hobiku yang suka tidur di kelas.
Saat itu aku memang tidak pernah terpikirkan untuk menyukai seseorang maupun untuk berpacaran. Aku ingin lebih fokus menjadi siswa SMP yang baik dan punya banyak teman. Aku pun menganggap dia hanya bercanda. Mungkin dia melakukan itu supaya kondisi kelas lebih hangat.
Setelah beberapa saat, tiba waktunya dia berhenti melakukan hal-hal aneh yang aku tidak sukai. Dia pindah tempat duduk entah karena apa gerangan. Ketidakhadirannya membuatku merasa aneh dan hampa. Aku merasa bersalah juga kepadanya. Aku pun mulai menyadari bahwa mungkin aku mulai menyukainya.
Waktupun terus berlalu, tak terasa masa SMA pun tiba. Aku memilih melanjutkan SMA sedangkan dia ternyata memilih masuk MAN. Sekolah kita sangat berdekatan sehingga tidak jarang kami sering bertemu di jalan saat berangkat ataupun pulang sekolah. Saat itu, aku kira bisa mulai melupakannya karena kita tidak satu kelas maupun berada di sekolah yang sama.