Lihat ke Halaman Asli

Dian Mardi Safitri

Homemaker, lecturer

Bulan Cantik, Aku Kangen Ibu...

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bulan cantik

Ini malam yang ketiga. Bulan hampir bulat sempurna.  Aku tahu, besok pasti bulan akan terihat lebih cantik. Setiap malam, selalu aku ceritakan pada Ibu bagaimana bentuk bulan yang aku lihat hari itu ketika aku menunggu Ibu pulang. Aku selalu berharap, Ibu ada di sampingku ketika aku memandangi bulan kesayanganku itu. Tapi aku mengerti bahwa ada saatnya aku harus memandangi bulan itu sendiri, walau rasanya sepi.  Padahal, bulan semakin terlihat cantik di mataku kalau Ibu ada. Ini sudah malam keempat. Ibu terlihat sibuk akhir-akhir ini. Mungkin saja bulan tak terlihat oleh Ibu karena Ibu berkonsentrasi pada pekerjaannya. Padahal aku tahu benar, Ibu selalu mengagumi bulan seperti aku. Kami memang penggemar bulan. Malam ini, aku tahu, bulan akan tampak bulat sempurna. Seharusnya malam ini akan jadi malam yang spesial untuk aku dan Ibu. Tapi Ibu belum datang ketika malam mulai memeluk hari. “Ibu, jam berapa Ibu pulangnya?” “Maaf Nak, Ibu masih di jalan. Mungkin satu jam lagi Ibu baru akan sampai di rumah” “Ibu, sekarang Ibu lihat langit deh… Bulannya bagus ya Bu? Bulan purnama… Aku di luar rumah, nunggu Ibu pulang, kepingin lihat bulan sama Ibu.” Aku tahu Ibu juga melihat bulan yang sama dalam perjalanannya pulang. Ibu juga bilang, bulannya bagus. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tertahan di sana. Sesuatu yang membuat mata Ibuku basah. Aku mengenal Ibuku. Ibu selalu merasa bersalah padaku kalau Ibu terlalu sering pergi. Ini sudah malam yang keempat, Ibu pulang dan mendapati adikku sudah lelap dan menjumpai aku yang sudah tidak seceria sebelumnya. Aku kangen Ibu. Adik juga kangen Ibu. Aku tahu, Ibu pasti juga kangen kami. Semoga perjalanan Ibu lancar hari ini, dan Ibu sampai di rumah saat bulan masih terlihat cantik. Di tengah kemacetan Jakarta, sebuah sms terkirim pada seorang sahabat, diikuti bulan yang semakin samar karena air mata yang siap meleleh, “Jeng, aku nggak bisa tahan airmataku. Barusan Alfan nelfon, bilang nunggu aku pulang di luar rumah, pengen lihat bulan sama aku. Aku merasa bersalah banget Jeng…”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline