Lihat ke Halaman Asli

Menyongsong Hadirnya Aren dan Lengsernya Tebu Dari Tahta Industri Gula Nasional

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto Pada edisi 17-23 Juni 2009 No. 3308 Tahun ke 39, Tabloid Sinar Tani memuat tulisan mengenai Gula dengan judul “Rendemen Naik, Produksi Gula Meningkat”. Ada salah satu alinea menyebutkan bahwa, Pemerintah berencana membuka perkebunan tebu, pabrik gula baru dan industri berbasis tebu di beberapa daerah. (Foto kiri : Bapak Presiden SBY sedang meresmikan Pabrik Gula Baru; Kanan : Bapak Ahmad Manggabarani, Dirjen Perkebunan DEPTAN) Pada tulisan tersebut Dirjen Perkebunan Deptan, Bapak Ahmad Manggabarani juga mengatakan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan Indonesia menjadi eksportir Gula pada tahun 2014 mendatang. Selama tahun 2009 ini, Indonesia sudah memenuhi sepenuhnya kebutuhan atas swasembada gula kristal putih untuk konsumsi dan sudah menghentikan impor. Bapak Dirjenbun juga melaporkan bahwa luas areal perkebunan tebu bertambah dari 427.178 hektar pada tahun 2007 menjadi 441.318 hektar pada tahun 2009. Produksi tebu naik dari 33,066 juta ton tahun 2007 menjadi 34,756 juta ton pada tahun 2009. Sedangkan produktivitas tebu berhasil ditingkatkan dari 77,4 ton/ha menjadi 78,8 ton/ha. Pada tahun 2008 yang lalu saya juga pernah menulis tentang hal semacam ini dengan judul ”Pabrik Gula Berbasis Aren, Kenapa Tidak? Adalah berawal dari repotnya Pemerintah kita yang memaksakan diri untuk tetap menjadikan tebu sebagai harapan utama produksi Gula Indonesia. Ibarat makan Buah Simalakama, susah sekali menggantikan tebu sebagai bahan baku pabrik gula kita. Pemerintah seolah tidak berniat mencari solusi atau alternatif bahan baku gula selain tebu. Mari kita coba untuk menghitung dan menimbang kelayakan tebu sebagai andalan gula Indonesia. Pertama dari sisi produktivitas yang rata-rata hanya mencapai 78,8 ton/ha, taruh kata rendemennya mencapai 10%, maka gula yang diperoleh hanya sekitar 7,88 ton/ha/musim. Padahal rendemen gula kita sangat sulit sekali mencapai angka dua digit itu, paling-paling hanya sekitar 8 - 9 %. Jadi hanya menghasilkan gula antara 6 – 7 ton/ha/musim. Upaya-upaya sudah terlalu banyak dilakukan, hasil-hasil penelitian juga yang mana lagi yang belum dijalankan. Semua untuk mendongkrak produktivitas tebu menjadi naik dan berproduksi tinggi. Namun sampai sekarang masih belum mampu merubah keadaan, ternyata produktivitas tebu malah semakin menurun. Padahal pada jaman Kolonial dulu sekitar tahun 1930-an produktivitas tebu mencapai puncaknya yaitu sebesar 17 ton gula/hektar/musim. Waktu itu memang bisa terjadi karena dengan tanam paksa, pihak kolonial bisa memaksakan untuk menanam tebu di lahan-lahan sawah nomor satu, di lahan-lahan yang paling subur, kalau perlu penanaman padi dialihkan dulu dan dipentingkan tanaman tebu. Maka wajar saja pada era itu Belanda menikmati hasil yang sangat besar dari Gula yang berbasis tebu, sehingga mereka bisa membiayai perang, membangun negerinya dengan memeras tebu untuk menjadi gula. Namun tidak hanya tebu yang diperas, lahan-lahan sawah kita yang dulu subur makmur diperasnya, tenaga-tenaga petani kita juga diperas dengan kerja paksa. Memang penjajah Belanda sangat kurang ajar!!! Sepeninggal kolonialisme Belanda industri dan perkebunan tebu diambil alih oleh Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh BUMN bidang perkebunan tebu dan pabrik gula. Pengambilalihan secara penuh baru selesai pada tahun 1950-an, yaitu tepatnya 1957, pada hal kita merdeka pada 17 Agustus 1945, jadi baru setelah 12 tahun dari kemerdekaan kita baru bisa mengambilnya. (Foto : Pabrik Gula berbasis Tebu) Yang kedua tebu juga mengambil alih lahan pangan yang lain. Sampai sekarang pun lahan-lahan tebu ini masing saling bersaing dengan tanaman pangan, yaitu dengan sawah-sawah yang mestinya ditanami padi dan palawija, di lahan-lahan kering atau tegalan yang juga biasa ditanami sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan bahkan buah-buahan. Jadi lahan tebu yang 441.318 hektar tadi secara nasional, sebenarnya seluruhnya bersaing dengan lahan tanaman pangan lainnya. Maksud saya begini, seandainya tanaman Aren bisa menggantikan peran tebu untuk memenuhi kebutuhan dan produksi gula selama ini, maka lahan-lahan tadi yang luasnya hampir 450 ribu hektar bisa ditanamai tanaman pangan, seperti padi, palawija, kacang-kacangan, sayuran dan tanaman pangan lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan tebu. Seandainya setiap hektar lahan dalam satu tahun dapat ditanami padi dua musim dan satu musim palawija dengan hasil misalnya 6 ton beras dan 4 ton jagung, maka ada bahan pangan tambahan dari 450 hektar, yaitu 2,7 ton beras dan 1,8 juta ton jagung. Ini peluang yang sangat berarti untuk mendukung kecukupan pangan dan bahan baku pakan dan mengurangi ketergantungan impor bahan pangan dan pakan. Dari sisi petani pun penerimaan dari usaha tani tebu juga sudah kalah dengan komoditi pangan lainnya. Hanya untuk petani yang tidak punya modal, pilihan yang paling mudah adalah menyerahkannya kepada pihak lain untuk ditanami tebu, dan nanti petani tinggal mendapatkan hasilnya meskipun tidak seberapa. Kalau untuk usaha tani komoditi lain sendiri modal kurang, walaupun hasilnya memang lebih tinggi. Keadaan inilah yang banyak dialami oleh petan sehingga harus menyerahkan lahannya pada pihak perkebunan tebu dan pabrik gula atau KUD-KUD. Sebenarnya kalau petani punya modal dan tenaga dalam usaha tani mereka pasti memilih komoditi lain yang lebih menguntungkan. Lalu apa Aren bisa diolah menjadi gula putih? Untuk yang hal ini Saudara saya Bapak Slamet Sulaiman sudah membuktikan dengan alat mesin pabrik gula mininya. Pabrik gula mini dengan bahan baku nira aren sudah dibangun antara lain di Minahasa Selatan. Uji coba untuk menghasilkan gula putih telah berhasil dilakukannya. Artinya tidak masalah seandainya nira aren diolah menjadi gula putih. Namun secara perhitungan sebenarnya tidak menguntungkan sebab untuk mengolah gula menjadi putih memerlukan bahan yang lebih banyak, siklus proses yang lebih panjang dan lebih rumit. Dengan demikian biaya produksi jauh lebih tinggi, nilai rasio konversi bahan baku menjadi produk jadi lebih kecil. Dilihat dari harga jual juga tidak jauh berbeda antara gula putih dan gula merah tradisional. Namun kalau gula putih pangsa pasarnya sangat besar dan seolah tidak terbatas, karena selama ini memang kebutuhan gula didominasi oleh gula putih. Berbeda dengan gula merah atau brown sugar dari tanaman palma, yang selama ini belum menjadi produk massal dunia karena keragaman produknya sangat luas dan terbuka. Nilai jualnya juga sangat beragam harganya. Seolah harga dapat diciptakan sedemikian rupa tergantung pada pemilik brand atau merek. Karena memang pangsa pasarnya juga belum luas. Berbeda dengan Gula dari pohon Maple. Di Negara aslinya Canada dan Amerika bagian utara, gula tersedia kebanyakan dalam bentuk cair, berupa syrup dari pohon Maple, atau sering disebut sebagai Maple Syrup. Di sana justru gula putih kalah populer dengan Maple Syrup. Gula putih yang berasal dari tebu dianggap gula tingkat rendah, yang kurang nilai gizinya. Bahkan gula putih dianggap biangnya penyakit diabetes di seluruh dunia. Oleh karena itu mereka lebih memilih Maple Syrup dari pada Gula Putih yang asalnya dari Brazil itu. Trend beralihnya pola konsumsi gula dari gula putih hablur ke gula berbentuk cair atau syrup sudah terjadi di luar negeri. Jepang, Korea, Eropa seperti Belanda dan Jerman juga sudah lama mengevolusi pola konsumsi gulanya. Di dalam negeri sendiri sebenarnya juga sudah lama terjadi, khususnya pada industri makanan dan minuman. Maka lambat atau cepat trend itu akan terjadi, artinya kita harus mengantisipasinya dengan penyiapan industri gula palma kita juga mengarah ke gula cair atau Sugar Palem Syrup, Coconut Sugar Syrup dll. Kalau dilihat potensinya sebenarnya Aren yang punya peluang besar menggantikan peran tebu sebagai bahan baku Gula atau bahan pemanis. Sebab Aren memiliki produktifitas paling hebat, paling tinggi dalam menghasilkan Gula. Dalam setiap hektarnya Aren bisa menghasilkan Gula sampai 77 ton per/tahun/hektar. Bagaimana bisa terjadi ? Uraiannya sebagai berikut : a. Dalam satu hektar ditanam 200 pohon Aren. b. Setelah 6-7 tahun dapat dipanen air nira dari sekitar 75 % populasi pohon, atau 150 pohon. Atau ada 25 % pohon yang beristirahat menghasilkan nira. c. Jika produksi nira rata-rata adalah 10 liter/phon/hari, maka nira yang dihasilkan adalah 10 liter/pohon x 150 pohon/ha = 1.500 liter/hektar/hari. d. Jika untuk membuat gula 1 kg diperlukan nira 7 liter, maka jika semua nira diolah akan menjadi gula sebanyak : 1.500 liter/ha/hari : 7 liter/kg = 214,3 kg/hektar/hari. e. Produktivitas Gula dari setiap hektar kebun Aren adalah : Setiap hari : 214,3 kg/hari; Setiap bulan : 6.428,6 kg/bulan; Setiap tahun : 77.142,8 kg/tahun; atau 77 ton/tahun. Keunggulan tidak hanya pada aspek produktivitas, sebagaimana hitungan di atas, tapi juga banyak keuntungan-keuntungan di aspek yang lain, yaitu : a. Dengan menggantikan tebu dengan Aren, maka lahan yang diperlukanlebih sedikit (seper sepuluhnya) kita sudah dapat memenuhi swasembada gula nasional. b. Kontinyuitas produksi pabrik berjalan sepanjang tahun, dan pabrik tidak ada masa istirahat karena bahan baku tersedia secara koninyu setiap hari sepanjang tahun. Pada Pabrik Gula berbasis Tebu biasanya hanya beroperasi selama sekitar 150 hari atau 5 bulan dalam setahun, berarti 7 tahun pabrik tidak beroperasi. c. Biaya investasi pembangunan pabrik gula berbasis Aren jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrik gula berbasis tebu. Bahkan seandainya Pabrik besar belum dibangun pun, industri gula rakyat sudah bisa mengatasi masalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan masyarakat. d. Lahan tanaman tebu sekarang juga sangat bersaing dengan tanaman pangan. Maka di era dimana ketahanan pangan menjadi prioritas baik karena program pemerintah, atau permintaan pasar yang terus meningkat. Maka cepat atau lambat komoditi Tebu diperkirakan akan terdesak oleh dorongan ekonomis dan politis yang semakin kuat. e. Beda dengan tanaman Aren yang sangat fleksibel, bisa ditanam di lahan-lahan miring, lereng lereng bukit, tepi-tepi sungai, daerah bekas hutan yang ditinggalkan, atau lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif. Maka dengan kehadiran tanaman Aren bisa menjadikan lahan lebih produktif dan berfungsi ganda sebagai penyelamat linkungan dan pencegah longsor. f. Dll. Jadi tinggal kemauan dan kesadaran politik saja yang akan merubah kebijakan industri gula nasional ini berhijrah dari yang semula berbahan baku tebu ke arah pada pabrik gula berbasis perkebunan Aren. Maka sebelum terjadi keterpaksaan dalam merubah kebijakan tersebut, sebaiknya dengan sadar para penentu kebijakan itu mengambil tongkat komando untuk secara bertahap menyiapkan lengsernya tebu dalam tahta industri pergulaan nasional. Dan segera menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong perkebunan Aren yang tampil dalam tahta tertinggi industri gula nasional kita. Bagaimana menurut Anda???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline