"REBORN,"--Terlahir kembali. Ya, begitulah kondisi yang tengah saya alami. Setelah beberapa bulan tak menulis--hanya menulis di note ponsel--akhirnya saya kembali untuk memulai menulis. Menulis segala hal tentang kehidupan--seperti visi awal saya masuk ke dunia tulis menulis. Dan ternyata memang banyak hal terjadi di sekeliling yang perlu saya tuliskan supaya, salah satu alasannya, titah kemanusiaan yang saya emban bisa beranjak sedikit ke arah kesempurnaan. "Sampaikan walau satu ayat!"
Beberapa bulan tak menulis tentu saja sangat berdampak, kalau boleh dibilang, buruk bagi kesehatan jiwa-raga. Asupan nutrisi jiwa tak terjaga. Pun dengan raga--minimnya olahraga jari. Memang masih membaca. Namun jika terlalu banyak informasi masuk, tapi tak mendapat pengolahan yang baik untuk diproduksi ulang menjadi sebuah produk baru, ini akan menjadi penyakit. Penyakit kronis yang tak ada obatnya selain menulis itu sendiri. "Sebab menulis itu menyehatkan," kata para penulis profesional.
Persoalan Negara sudah sedemikian carut marut. Korupsi sudah tak terbendung lagi. Seperti banjir yang belakangan menenggelamkan beberapa wilayah di Indonesia. Titik pangkal belum terdeteksi. Sehingga berbagai persoalan yang ada tak pernah benar-benar tersentuh proses penyelesainnya. Malah semakin mengikis nalar kemanusian kita.
Kita tentu bertanya-tanya--seperti seorang filosof--kenapa semua ini tiba-tiba terjadi? Baru saja tahun 2014 kita sambut, dan euforia kemeriahannya yang konon sampai menghabiskan uang puluhan, bahkan ratusan miliar masih terasa, bencana alam dan kemanusiaan secara sporadis menusuk batin kita. Manusia Indonesia.
Bencana alam memang sebuah keniscayaan di Negara kita. Sebab ada 127 gunung aktif mengelilingi tempat tinggal kita. Belum lautan yang siap menyapu pekarangan rumah kita--yang semakin hari semakin hilang karena proses pembangunan yang tak terkontrol. Gempa bumi menjadi pengalaman empirik kita sehari-hari.
Selain itu, bencana kemanusiaan pun tak luput merontokkan nurani kita. Korupsi sampai hitungan trilliun menjadi biasa terpancar dari corong-corong demokrasi. Kenapa ini semua bisa terjadi menghampiri Negara kita tercinta?
Beragam jawaban muncul. Kita pun tentu memiliki jawaban sendiri tentang kenapa bencana semakin sering menghampiri kita. Tapi yang pasti, satu suara kita sepakat, bahwa bencana yang kini menjelma bak raksasa hijau perkasa ini lahir karena ulah tangan-tangan manusia. Ya, itu, kita sendiri. Sehingga, tahap awal untuk menyelesaikan sengkarut persoalan yang ada adalah introspeksi. Merenung. Bertanya ke dalam diri: "Apa yang sudah saya lakukan sehingga kehidupan menjadi semakin absurd, dan kekacauan menjadi semakin akrab di telinga?
Oleh karena itu, marilah kita saling introspeksi. Memeriksa ke dalam diri tentang hal-hal apa saya yang telah kita lakukan pada kehidupan. Apakah itu baik, atau malah buruk. Jika baik harus terus diteruskan. Jika buruk harus segera diperbaiki, diganti dengan hal-hal baik. Sebab, bukankah kita ini bagian dari alam semesta. Lalu, mengapa masih menyalahkan orang lain?***(@AndyanoCurniaz)
(Sumedang, 2/5/2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H