Sebuah kabar saya terima dari kepala sekolah dalam apel pagi tadi. Intinya, seluruh kabupaten sepakat melaksanakan Kurikulum 2013 yang sebenarnya masih dalam taraf uji coba. Harusnya baru sekolah tertentu yang melaksanakan, namun kebijakan Kepala Dinas ternyata berbeda. Semua serentak melaksanakan tahun ini. Kasus yang sama dengan pelaksanaan kurikulum yang lalu, kami pun melaksanakannya serentak meskipun di kabupaten lain tidak demikian.
Karena itulah, berkaitan dengan tugas saya di MGMP, saya pun mencari tahu tentang Kurikulum 2013. Saya pun bertemu dengan tulisan ini. Saya buka, saya pahami sedikit-sedikit meskipun belum begitu jelas karena waktu yang terbatas. Selain perubahan struktur dan beban belajar, saya melihat adanya perubahan kompetensi dasar yang cukup mencolok. Untuk mengetahui perubahannya, saya menggunakan Standar Isi KTSP sebagai perbandingan.
Dalam Standar Isi KTSP, ada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Kompetensi Dasar dibagi lagi menjadi beberapa indikator yang dibuat oleh guru. Berbeda dengan KTSP, Kurikulum 2013 tidak mencantumkan Standar Kompetensi. Istilah ini diganti dengan Kompetensi Inti yang di sana dijelaskan bahwa Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu,gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan (afektif, kognitif, dan psikomotor) yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skills.
Kompetensi Inti dirancang dalam empat kelompok yang saling terkait yaitu berkenaan dengan sikap keagamaan, sikap sosial, pengetahuan (Kompetensi Inti 3), dan penerapan pengetahuan.
Okelah, sampai di sini saya masih paham. Kompetensi Inti ini nantinya dibagi menjadi beberapa Kompetensi Dasar yang akan dipelajari anak-anak (dan juga gurunya) di sekolah. Sayangnya, ketika saya menelisik ke Kompetensi Dasar yang ada, penjabarannya masih sangat abstrak, bahkan ada beberapa istilah yang belum saya pahami. Mungkin saya yang terlalu bodoh, tetapi ketika saya tanyakan pada teman yang tengah menempuh S2 pun dia tak tahu, sehingga anggapan saya ubah: pembuat kurikulum yang terlalu pandai. Selain itu, pada mata pelajaran yang saya ampu, yaitu Bahasa Indonesia, saya juga melihat adanya tingkat kesulitan yang tak berjenjang. Misalnya, tentang fabel yang merupakan materi kelas VIII dan cerpen yang nantinya dipelajari di kelas VII. Menurut saya, anak kelas VII lebih tepat mempelajari fabel karena sesuai dengan umur mereka. Sedangkan cerpen lebih baik diajarkan pada kelas yang lebih tinggi dengan asumsi pemikiran mereka lebih kritis dan bisa 'membaca' fenomena yang terjadi di sekelilingnya.
Memang sih, katanya guru tak perlu membuat RPP dan buku teksnya juga disediakan. Namun semua masih katanya dan katanya. Sampai hari ini, belum ada diklat tentang kurikulum 2013 di tingkat kabupaten, bahkan provinsi. Saya sebagai penjaga gawang MGMP tentu makin pusing karenanya. Kurikulum, oh, kurikulum, makin ke dekat dengan tahun pelajaran baru, makin abstrak juga dirimu bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H