Lihat ke Halaman Asli

Budhe

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam kelam memeluk bumi ketika kami sampai di rumah Budhe. Saya dan suami saya memang baru berkesempatan berkunjung ke rumah Budhe, kakak perempuan tertua ibu saya, setelah sekian hari lebaran. Suram dan dingin, itu kesan yang tertangkap. Sangat jauh berbeda keadaannya dengan sekitar dua puluh tahunan yang lalu.

Dua puluh tahun yang lalu, rumah ini masih berupa rumah berpendopo yang sangat besar, khas rumah petinggi (kepala desa) zaman dulu. Rumah ini terdiri atas 3 bagian, yaitu pendopo yang sangat luas, rumah induk, dan dapur. Masing masing berupa bangunan besar. Dulu, saya sering menghitung hitung berapa banyak rumah yang dapa didirikan di atas pendopo ini. Di depan pendopo, terdapat halaman yang tak kalah luas. Jika sedang musim panen kopi atau cengkeh, halaman ini difungsikan untuk menjemur hasil panen.

Dulu, saya sering menginap di rumah budhe. Jika pas menginap di sana, saya sering membantu mengumpulkan kopi yang baru dijemur. Aih, capeknya. Apalagi jika ditambah nyapu rumah yang luasnya selapangan sepakbola itu. Tapi, meskipun capek saya tetap suka. Bagaimana tidak? Halaman yang luas itu dikelilingi kebun yang penuh dengan tanaman buah, seperti jambu, belimbing, avokad, dondong, mangga, rambutan, dan lain lain. Tak ketinggalan bunga bougenville berwarna ungu dan putih serta nusa indah merah jambu. Sungguh menyenangkan. Saya sering nongkrong di atas pohon jambu di atas dahan dahan yang kokoh bersama saudara sepupu saya sesama keponakan budhe.

SemenjakPakdhe meninggal seperempat abad yang lalu, Budhe tinggal sendirian.Hanya saja, putranya menyediakan pembantu pagi untuk bersih-berih dan memasak danseorang yang menemaninya tidur di malam hari. Terkadang kami, para keponakannya menemani menginap di rumahnya.Meskipun selalu ada teman, saya pikir Budhe cukup kesepian karena tak satu pun anaknya yang rumahnya dekat dengan beliau.

Entah karena pertimbangan apa, pendopo, halaman, serta kebun milik Budhe dijual. Di tempat itu sekarang telah berdiri kokoh 2 buah rumah besar yang menghalangi sisi depan rumah induk. Rumah induk yang dulu berpendopo, berhalaman, dan berkebun luas itu sekarang hanya memiliki sebuah teras berlebar tak lebih dari satu meter. Di depannya sudah berdiri kokoh tembok rumah pembeli pendopo Budhe. Ah, sungguh selalu saja terasa ada yang hilang jikasaya lihat kenyataan sepertiini.

Hawa dingin pegunungan menusuk tulang.Saya pun membuka sedikit pintu rumah yang tak terkunci itu sambil mengucapkan salam. Sebuah senyuman mengembang dari sesosok perempuan tuabertubuh langsing yang masih menampakkan sisa kecantikannya di masa lalu. Budhe. Usianya sudah 85 tahun sekarang.Tubuhnya masih tegak karena memang sudah keturunan keluarga ibu sayatak ada yang bungkuk.Beliau mengenakan kebaya, berjaket, bersyal,dan makromah penutup kepalanya. Sebuah kacamata bertengger dihidung mancung Budhe.

Budhe segera mencium kedua pipiku.Nyata sekali betapa senangnya beliau dikunjungi keponakannya yang hanya berkunjung setahun sekali setiap lebaran. Ah,saya jadi merasa bersalah jarang menyempatkan diri untuk bersilaturahim ke sana. Padahal rumah Budhe hanya berjarak dua kilometer dari rumah ibu saya dengan jalur yang saya lewati.

Kami pun berbincang-bincang dengan hangat. Perbincangan ini mendadak seru karena suami saya tiba-tiba bertanya tentang foto Pakdhe yang tergantung pada pigura di dinding rumah. Foto jadul yang masih bagus karena direpro oleh salah seorang kerabat Budhe.Lalu mengalirlah cerita Budhe tentang Pakdhe.

Pakdhe Sastro namanya. Beliau menjadi kepala desa Colo sejak belum menyunting Budhe saya, mungkin sejak zaman Belanda. Sepantaran dengan Mbah Kakung, ayah Budhe yang ketika itu menjadi petinggi Japan, desa di sebelah timur Colo. Budhe bercerita tentang perjuangan ketika perang kemerdekaan didaerahnya.

Ketika itu, tahun 1948, setelah Indonesia merdeka, Belanda mencoba masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. PasukanIndonesia pun melawan mereka secara gerilya. Pemimpin pasukannya bernama Mayor Kusmanto. Nama Mayor Kusmanto ini sekarang menjadi nama salah satu jalan di Kudus.

Budhe menceritakan, betapa menjadi istri Kepala Desa itu berat. Sesekali Belanda datang ke sana. Si Belanda duduk di kursi goyang sambil nyethethi burung. Sementaraanjing hitam –sebutan untuk serdadu Belanda berkebangsaan Indonesia- mengeliling desa dengan senapan siap tembak. Pakdhe juga pernah ditangkap Belanda karena dituduh membantu pasukan gerilya. Untunglah saat itu sudah terjadi gencatan senjata sehingga Mayor Kusmanto segera mendatangi tempat penyekapan Pakdhe dan mengeluarkannya dari tahanan Belanda.

Peristiwa yang mengerikanadalah ketika terjadi serangam bombardir dari Belanda. Seisi desa ditembaki dari udara, sementara ranjau-ranjau darat dipasang di mana mana.Rumah Budhe terkena bom itu, seorang pembantunya meninggal dunia terkena pecahan bom. Ketika itu, Budhe selamat karena disuruh mengungsi Pakdhe ke rumah kakek di desa sebelah.

Bersama anaknya yang masih kecil, Budhe menyusuri tebing dan sungai. Di sana sini terdapat ranjau darat yang siap meledak bila terinjak.Sementara itu, di atas sana, desingan pesawat Belanda tak juga usai. Syukurlah masih selamat. Namun, rumah dan isinya hancur. Ketika beliau kembali dari pengungsian, rumahnya sudah didirikan kembali oleh tentara gerilya.

Budhe juga juga mencerikan tentang mata-mata Belanda yang ada di desanya. Selalu ada pengkhianat dalam sebuah perjuangan. Sedihnya, mereka adalah bangsasendiri yangmerelakan darah bangsanya bagi kepentingan bangsa lain. Mata-mata ini kemudian ditembak di depan mata oleh tentara gerilya. Sebuah harga mahal yang cukup layak bagi pengkhianat. Meskipun demikian, saya masih ngeri untuk membayangkannya.

Sebelum malam beranjak melarut, kami pun pamitan kepada Budhe dengan menyimpan sebuah kesan tersendiri dalam hati. Bulan bulat kuning di atas sana. Kami harus segera kembali ke rumah untuk memulai lagi kerja esok hari. Sebelumnya, kami mesti menjemput anak-anak yang masih berada di rumah embahnya. Hawa dingin terasa menggigit tulang karena ternyata kami lupa membawa jaket.

Sekelumit kisah dari Gunung Muria.

-Dian-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline