Lihat ke Halaman Asli

Jalan-Jalan ke Pegunungan Muria

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1310023890493849796

Liburan tahun ini memang saya jadwalkan untuk jalan-jalan ke alam terbuka. Selain murah meriah, juga untuk memberikan pengetahuan tentang alam kepada anak-anak saya. Siapa tahu, dengan mendekatkan mereka dengan alam, kecintaan mereka akan alam menjadi bertambah. Lokasi yang saya pilih tak jauh dari rumah ibu saya sehingga ada dua agenda yang bisa kami lakukan sekaligus, yaitu menginap di rumah mbah dan jalan-jalan ke gunung. Rumah ibu saya berada di pegunungan Muria, tak jauh dari gunung Muria. Tepatnya, di sebelah timur desa Colo, yaitu Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah utara desa, nun jauh di sana ada objek wisata religi Rejenu. Sengaja saya memilih tempat ini karena selain dekat, tempat ini juga tak seramai gunung Muria yang dipenuhi oleh wisatawan yang berziarah. Selain itu, unsur alaminya juga jauh lebih kental. Akhirnya, setelah membujuk kakak dan sepupu saya, kami pun sepakat berangkat hari Kamis, 30 Juni 2011. Saya, ibu, kakak , anak, dan keponakan saya berangkat dari rumah Ibu pukul 14.00 kemudian menuju rumah budhe saya. Ternyata di sana sudah menunggu budhe saya, 3 orang sepupu saya, dan anak-anak mereka. Jumlah kami pun bertambah menjadi 16 orang. Sudah jadi rombongan besar, jauh di luar perkiraan saya. Pesertanya mulai dari umur 3,5 tahun, yaitu anak saya sampai umur 75 tahun, yaitu budhe saya. Mulailah perjalanan menanjak dilakukan. Sebenarnya, jalannya sudah cukup halus. Meskipun jalan setapak, jalan menanjak ini sudah disemen. Ada ojek pula untuk naik ke sana. Cukup Rp10.000,00. Namun, karena niat kami jalan-jalan, maka kami pun memilih untuk berjalan kaki sampai ke puncak. Sepanjang jalan, kami melihat pemandangan yang sangat  alami. Ada sungai mengalir di bawah sana, suara burung bersahut-sahutan. Terkadang terdengar pula teriakan kawanan monyet. Di kiri dan kanan jalan, terdapat kebun-kebun milik penduduk yang ditanami bermacam tumbuhan seperti kopi, talas, dan labu siam.  Jalan menanjak tak dirasakan oleh anak-anak yang ikut, tetapi cukup terasa berat bagi emak-emak yang rata-rata di atas 30 dan 40 tahun. Apalagi saya membawa beban yang cukup berat karena mesti ngemban Haikal yang tak mau turun jalan sendiri. Tentu, beratnya beban saya ini tak seberapa jika dibandingkan dengan beratnya perjalanan yang dilakukan oleh ibu dan budhe saya karena usia mereka yang memang sudah sepuh. Untunglah, setelah menempuh perjalanan dua pertiga rute, ada keponakan saya yang membawa sepeda motor kemudian mengantarkan budhe dan ibu saya sampai ke tempatnya. Haikal ikut ibu sehingga jalan saya pun lebih ringan, seringan anak-anak yang lain, jauh mendahului kakak dan sepupu-sepupu saya. Hore! Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, sampailah kami di puncak Rejenu. Pemandangannya menyenangkan sekali. Waktu kami masuk, kami  disambut oleh sebuah perkampungan kecil yang semuanya merupakan warung. Saya sebut perkampungan karena para pemilik warung itu memang sebagian besar menghabiskan waktunya di puncak Rejenu. Mereka membuka warung mie dan pecel pakis. Kami pun singgah di  salah satu warung yang kebetulan miliki sepupu kami juga. Setelah istirahat beberapa lama, kami menunaikan sholat ashar di masjid kecil yang ada di sana. Setelah itu, peserta rombongan dewasa kecuali saya berziarah ke makam Syech Sadzali, seorang ulama yang dimakamkan di situ. Saya tak ikut masuk karena harus mengawasi semua anak yang ikut dalam rombongan. Di Rejenu, terdapat sumber air yang istimewa, karena rasanya tak tawar seperti air gunung yang lain. Air ini berasa sedikit kecut, ada asinnya, ada manisnya pula. Nano nano, rasanya. Penduduk setempat menyebutnya air tiga rasa. Banyak orang percaya pada khasiat air ini, namun saya pribadi lebih memandangnya sebagai salah satu bukti kebesaran Allah. Kami pun menyempatkan diri untuk minum air yang ada di sana. Banyak pengunjung yang mengambil air itu untuk dibawa pulang. Dan meskipun diambil sekian banyak, sumber air itu tak pernah berkurang. Sore yang dingin membuat kami lapar. Kami pun kemudian makan mie dan minum kopi di warung sepupu kami. Wah, sedapnya. Jauh lebih sedap daripada jika dinikmati di rumah. Kalau mau pecel pakis, di sana juga tersedia. Tak puas rasanya kami berada di sana karena waktu yang tak terasa cepat sekali berlalu.  Sebenarnya, saya ingin singgah di air terjun yang berada di sana, namun tak jadi karena waktu sudah sangat sore. Pukul 17.15 kami turun. Ternyata perjalanan turun pun tak kalah melelahkan karena anak saya tidur sehingga beban memberat dan kaki saya harus mengerem sekuat daya agar tak terpeleset. Lepas maghrib, kami baru sampai di rumah ibu saya. Senang sekali rasanya, meskipun sampai hari ini, pegal-pegal di betis masih sedikit terasa. [caption id="attachment_118091" align="aligncenter" width="960" caption="Memulai perjalanan"]

13100223811587209045

[/caption] [caption id="attachment_118094" align="aligncenter" width="960" caption="Biar lelah tetap semangat. Kami membelakangi awan. lho... Tinggi, kan?"]

13100225161087875353

[/caption] [caption id="attachment_118096" align="aligncenter" width="960" caption="Kebun kopi"]

1310022665762895342

[/caption] [caption id="attachment_118098" align="aligncenter" width="960" caption="Gemericik air"]

1310022831682157715

[/caption] [caption id="attachment_118099" align="aligncenter" width="960" caption="Menunggu emak"]

13100229771058926647

[/caption] [caption id="attachment_118101" align="aligncenter" width="960" caption="kampung di tengah hutan"]

1310023207150546814

[/caption] [caption id="attachment_118103" align="aligncenter" width="960" caption="Salah satu dari 3 sumber air tiga rasa"]

13100235751804564508

[/caption]

13100236592037941503




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline