Sudah pernah naik MRT lalu ingin melanjutkan perjalanan dengan bus Transjakarta? Bagi yang sudah pernah dan turun MRT bukan di stasiun Bundaran HI tapi di stasiun Dukuh Atas hingga stasiun Bundaran Senayan, pasti merasakan betapa tidak terintegrasinya setiap stasiun dengan halte bus Transjakarta.
Bagi penumpang yang turun di setiap stasiun yang berada di sepanjang jalan Jenderal Soedirman tersebut, pasti merasakan bagaimana tersiksanya mereka begitu keluar dari stasiun MRT yang adem karena dilengkapi dengan penyejuk udara, lalu tiba di luar stasiun dan berjalan menuju halte Transjakarta saat tengah hari dengan panas matahari menyengat dan membakar bumi berjalan sekitar 200 meter menuju halte bus Transjakarta. Bagi mereka yang masih muda mungkin masih bisa bergegas dan berjalan cepat. Bagaimana dengan mereka yang sudah uzur sehingga berjalanpun tertatih-tatih?
Sebenarnya Stasiun Bundaran HI pun tidak sepenuhnya terintegrasi dengan tepat. Hanya saja, karena jalan yang menghubungkan Stasiun MRT dengan halte bus Transjakarta berada di bawah tanah dan berpendingin ruangan, maka perjalanan sejak turun MRT menuju halte bus Transjakarta yang berada di permukaan tanah lebih dari 100 meter, tidak terasa begitu menyiksa.
Berbeda dengan MRT, maka RLT seluruhnya berada diatas permukaan tanah, menggelinding di rel yang berada di atas jembatan layang lebih kurang 10 meter dari permukaan tanah. Sebagaimana terlihat di video beberapa akun YouTubers Indonesia.
Belajar dari tidak terintegrasinya dengan baik antara stasiun MRT dengan halte bus Transjakarta, maka alangkah baiknya desain dan posisi stasiun LRT dan halte bus Transjakarta bisa dibuat pada posisi yang sejajar. Sehingga penumpang yang baru turun dari kereta LRT dan ingin melanjutkan perjalanan mereka dengan bus Transjakarta, tidak lagi harus berjalan puluhan bahkan ratusan meter sebelum bisa melanjutkan perjalanannya.
Saat saya mengunjungi Stasiun LRT yang berada di Pulo Mas, jauh sebelum masa beroperasinya LRT dari Stasiun Velodrom, Rawamangun, hingga ke Stasiun Pegangsaan Dua, saya memang belum sempat melihat posisi integrasi antara Stasiun LRT dan halte bus Transjakarta. Namun mengingat LRT yang jangkauan jalurnya jauh lebih luas dan panjang dari MRT, sudah harus memikirkan integrasi yang tepat diantara dua moda trasportasi ini.
Memang, ada sedikit keuntungan yang didapatkan oleh bus Transjakarta. Karena RLT berjalan di atas jembatan layang, dan halte bus Transjakarta berada di bawahnya. Maka penumpang LRT yang akan menyambung perjalanan mereka dengan bus Transjakarta tidak akan begitu kepanasan saat menunggu bus di bawah stasiun LRT, karena cukup terlindungi oleh stasiun LRT yang berada di atasnya.
Lalu bagaimana bila di bawah stasiun LRT tidak terdapat jalur bus Transjakarta? Disinilah peran angkutan kecil Jak Lingko sebagai kendaraan pengumpan bus Transjakarta. Angkutan Jak Lingko ini bisa mengisi trayek antara stasiun LRT, lalu melewati jalur dimana ada halte bus Transjakarta, sebelum angkot tersebut menuju terminal terakhirnya.
Sebagai penutup dari artikel ini saya mengharapkan, dengan telah dilanjutkannya MRT tahap II, yang menghubungkan stasiun Bundaran HI hingga Stasiun Kota, saya mengharapkan, integrasi antara MRT dengan bus Transjakarta nantinya tidak lagi seperti yang terjadi pada jalur MRT tahap I antara Stasiun Bundaran HI dengan Stasiun Lebak Bulus yang telah beroperasi. Sehingga pengalaman berpanasan berjalan kaki puluhan hingga lebih dari seratus meter jarak diantara Stasiun MRT dan halte bus Transjakarta tidak ada lagi. Karena hal ini juga akan menghemat waktu penumpang yang akan melanjutkan perjalanan mereka ke tujuan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H