[caption caption="Dua HP Esia kami, kini tinggal jadi mainan (dok Pribadi)"][/caption]
Sebulan belakangan ini, handphone Esia saya tidak bisa lagi dipakai untuk berkomunikasi. Awalnya saya kira handphone saya yang rusak, tapi setelah mencoba dengan handphone anak saya Rizqy dan juga mengalami hal yang sama, dimana tidak ada sinyal sama sekali di dua handphone tersebut. Naluri saya mengatakan, apa yang selama ini saya cemaskan akhirnya datang juga.
Rontoknya satu persatu kerajaan bisnis Aburizal Bakri, bagaikan menunggu meledaknya bom waktu. Dan kini salah satu diantara matarantai bisnis Group Bakri itu yaitu Bakrie Telecom, menemui ajalnya. Bisnis komunikasi yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun, yang berawal dari Ratelindo atau Radio Telephone Indonesia, sebuah sistem komunikasi telepon radio tak bergerak untuk rumahan.
Dengan sistem pemasaran yang mudah dan murah di mall-mall, hanya bermodalkan fotocopy KTP di tahun 1993 itu, saya bisa menikmati komunikasi telepon rumah. Suatu hal yang sangat sulit saya dapatkan saat itu bila saya berurusan dengan Telkom.
Sistem pemasaran yang sederhana dan tidak menuntut macam-macam, membuat Ratelindo saat itu sempat mengguncang Telkom, hanya karena daerah operasinya yang masih terbataslah yang membuat Telkom tidak sampai kolaps. Hanya bermodalkan fotocopy KTP yang beralamatkan Kalideres, sementara saya tinggal di Tomang, dua hari kemudian saya sudah bisa berhalo ria dengan para pemakai telepon lainnya.
Bandingkan bila saya harus berurusan dengan Telkom dengan prosedurnya yang njelimet sebagaimana moto perusahaan BUMN atau kantor pelayanan pemerintah pada umumnya yang berbunyi “kalau bisa dipersulit, buat apa dipermudah” agar semakin banyak uang haram yang bisa dikeruk dari kantong mereka yang punya urusan.
[caption caption="Telepon rumah Ratelindo generasi kedua, sudah bisa menyimpan nomor yang sering dipanggil dan mengirim serta menerima SMS"]
[/caption]
Dua kali saya sempat menikmati migrasi sistem telepon Ratelindo ini, migrasi pertama saat telepon rumah kami yang hanya bisa buat menelpon itu, diganti dengan perangkat baru yang lebih canggih yang bisa dipakai untuk sms, bisa menyimpan sekian nomor yang sering dihubungi di memorinya, dan mutu suara yang semakin jernih.
Hanya dengan membayar 25 ribu rupiah perbulan selama setahun, dan membawa perangkat receiver lama ke kantor Ratelindo di Wisma Bakrie di Kuningan, kami sudah mendapatkan perangkat yang canggih yang lebih mobile bisa dibawa kemana saja ke sekeliling rumah. Pesawat yang diproduksi oleh LG ini juga sebenarnya bisa dibawa keluar rumah asal masih pada batas area jangkauan tower yang mensuply sinyal ke pesawat.
Migrasi kedua saya alami saat sistem mereka kembali upgrade ke sistem yang sudah full mobile. Bukan hanya systemnya saja yang berganti, tapi juga namanya. Mereka tampil dengan nama baru, esia. Esia yang baru memakai system CDMA dan sudah memakai simcard, sebagaimana telepon selular lainnya yang aktif di jalur GSM.
Seperti orang pacaran, saya sempat putus sambung dengan Esia. Hal ini disebabkan gagalnya Esia menyajikan saluran internet yang lancar melalui saluran telepon mereka, sementara satu-satunya saluran internet waktu itu hanya melalui saluran Telkom. Sering disaat baru mau bersilancar di internet, salurannya putus yang membuat kesal, sementara tagihan tetap membengkak. Beredarnya telepon seluler baik yang CDMA maupun GSM, membuat saya beralih ke versi selulernya Esia, hingga akhir hayatnya.