Mengetahui saya lagi jalan-jalan di Ranah Minang, Winda Krisnadefa mengirim SMS kepada saya. Bila saya ke Payakumbuh, kalau sempat mampir ke rumah nenek nya di Halaban, di kaki Gunung Sago, 20 kilometer dari kota Payakumbuh. Windapun memberikan data yang dibutuhkan kepada saya, dalam sms itu.
Berangkat dari Duri tanggal 14 Desember jam 21.30 malam, saya sampai di Payakumbuh jam 04.30, persis saat azan subuh berkumandang dari Masjid di sekitar kota Payakumbuh.
Turun dari bus travel yang membawa saya dari Duri, Riau. Saya langsung menuju Masjid Muhammadiyah yang berdiri persis di pinggir Jalan Jenderal Soedirman ditengah kota Payakumbuh.
Selesai melaksanakan shalat Subuh, saya langsung menuju rumah “orang tua” saya di Payakumbuh yang berada persis disamping agak kebelakang masjid, di depan rumahnya tertulis Percetakan Eleonora.
Setelah ngobrol kangenan dengan ibu dan dua orang adik laki-laki yang meneruskan usaha ayah mereka yang bergerak di bidang Percetakan hingga jam 07.30, saya lalu berjalan masuk pasar kota Payakumbuh. Tempat saya pernah di besarkan di tahun 1964-65 dan 1969-70. Pasar yang dulu begitu saya hafal setiap sudutnya.
Disaat sarapan pagi di rumah makan Asia Baru, rumah makan yang usianya juga sudah tua dan terkenal di Payakumbuh. Saya lalu menelepon keponakan saya yang tahun lalu menikah dengan seorang gadis Koto Panjang, sekitar 10 kilometer dari kota Payakumbuh. Setelah mengobrol beberapa saat, lalu dia mengatakan akan menjemput saya.
Tapi, karena cukup lama menunggu akhirnya saya memutuskan akan berangkat ke Halaban lebih dulu, dengan mengirim SMS kepada keponakan saya.
Saya tidak langsung naik kendaraan yang menuju ke Halaban, melainkan jalan kaki dulu dari Pasar hingga melewati jembatan Ratapan Ibu terus Pasar Ibuh. Menapak tilasi jalan yang saya lewati waktu hendak berangkat kesekolah dulu.
Mendekati pendakian menuju Labuh Basilang, 1,5 kilometer dari Pusat Kota. Baru saya menaiki angkot yang menuju ke Halaban, setelah lebih dulu menanyakan kendaraan yang harus saya naiki untuk menuju kesana, ke petugas parkir yang berada di jalan depan Pasar Ibuh.
Kepada sopir angkot saya katakan saya akan turun di Tembok, ketika di bertanya kepada saya dimana saya akan turun di Halaban.
Sampai di Tembok, saya turun dari angkot. Karena saya satu-satunya penumpang yang diantarkan kesana, angkot itupun lalu lalu memutar dan berbalik arah kembali menuju kota Payakumbuh, 20 kilometer dari sana.
Karena yang akan saya cari adalah nama yang dalam hal ini nenek Winda, maka ketika saya turun dari angkot dan berjalan menuju warung yang ada di seberang jalan, saya juga mencari orang yang sudah tua. Dengan harapan, orang tersebut lebih banyak mengenal orang-orang tua yang berada di kampung tersebut.
Saya lalu menuju seorang ibu yang kebetulan sedang duduk di bangku di depan warung. Setelah mengucapkan salam dan bersalaman, saya lalu menanyakan nama neneknya Winda, seperti yang dikirim lewat SMS.
[caption id="attachment_80531" align="aligncenter" width="595" caption="Warung tempat saya menanyakan rumah keluarga Winda"][/caption]
Setelah berfikir beberapa saat serta di bantu mengingatkannya oleh beberapa orang yang berada di warung saat itu, si ibu yang belakangan ketika saya tanyakan bernama Minih itu, lalu menunjukkan kepada saya sebuah rumah yang di depannya tumbuh pohon bambu kuning.
Berbekal keterangan dari ibu Minih, saya berjalan menuju rumah yang disebutkan yang berjarak sekitar 150 meter dari warung.
Sampai dirumah yang di katakan sebagai rumah neneknya Winda, saya melihat semua pintu tertutup. Tapi karena ada sebuah sepeda motor yang di parkir di halaman, saya lalu memberanikan diri mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.
[caption id="attachment_80534" align="aligncenter" width="631" caption="Rumah keluarga Winda, pintu dan jendela di tutup, karena sebagaian besar keluarga pergi merantau"]
[/caption]
Beberapa saat berselang, tak terdengar suara yang menanggapi. Kembali saya mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam rumah terdengar suara menyahut dan bunyi langkah yang menginjak lantai papan mendekati pintu.
Begitu pintu terbuka, seorang laki-laki dengan perawakan kecil keluar dari rumah. Saya lalu bertanya dengan menyebutkan nama nenek Winda, Upiak Adang.
Setelah membenarkan pertanyaan saya, saya lalu mengulurkan tangan kepadanya dan mengatakan saya adalah teman Winda yang baru datang dari Jakarta. Untuk memperkuat kepercayaannya, sayapun lalu menelepon Winda Krisnadefa, dan menyuruh Winda menelepon saya kembali karena saat itu pulsa handphone saya tinggal beberapa ribu. Dikhawatirkan tidak mencukupi bila di pakai untuk pembicaraan yang agak panjang.
[caption id="attachment_80535" align="aligncenter" width="631" caption="Erianto, paman yang biasa dipanggil oleh Winda Mak Itam, ketika melakukan percakapan lewat telpon dengan Winda"]
[/caption]
Menunggu Winda menelepon, kamipun berkenalan. Saya lalu memberikan kartu nama serta sekaligus menanyakan nama dia. Rupanya dia adalah paman Winda, bernama Erianto. Tapi winda memanggilnya mak Itam, demikian katanya.
Selagi masih saling memperkenalkan identitas masing-masing, telpon dari Winda pun masuk. Hanphone sengaja saya nyalakan dalam posisi handsfree, dengan jelas dapat saya dengarkan percakapan mereka, serta kegembiraan Winda mengobrol dengan pamannya.
[caption id="attachment_80541" align="aligncenter" width="631" caption="Yang Tersisa: Dua paman atau Mamak Winda yang masih setia di kampung halaman, Dedi dan Erianto"]
[/caption]
Selagi mereka asyik ngobrol, seorang laki –laki dengan perawakan sedang namun tinggi, mendekati kami sa
[caption id="attachment_80542" align="aligncenter" width="631" caption="Salah satu rumah keluarga Winda yang benar-benar kosong tanpa penghuni ditinggal pemiliknya pergi merantau"]
[/caption] mbil ikut tersenyum mendengarkan pembicaraan Winda dengan pamannya. Setelah pembicaraan hubungan telepon selesai, Erianto, paman Winda memperkenalkan tamu yang baru datang adalah paman Winda juga, adik Erianto yang namanya Dedi.
Ketika saya tanyakan tetang keluarga yang lain, paman Winda yang kalau di Minangkabau di panggil Mamak itu mengatakan, bahwa istrinya sedang ke Pasar Gaduk yang kebetulan saat itu adalah hari pasarnya. Sedang anak-anaknya bersekolah.
Ngobrol kami di selingi dengan makan buah rambutan yang tumbuh di halaman rumah, dan saat itu sedang berbuah dan sudah matang.
[caption id="attachment_80546" align="aligncenter" width="631" caption="Ngobrol sambil menikmati rambutan"]
[/caption]
Obrolan kami berlanjut hingga ke dalam rumah, sambil melihat foto-foto Winda bersama keluarga, yang beberapa di antaranya saya sertakan disini. Begitu juga saya mengambil foto suasana rumah keluarga Winda yang sepi, seperti kebanyakan rumah keluarga di Minangkabau, karena ditinggalkan sebagian besar keluarga pergi merantau.
Mengenai nenek Winda sendiri, Upiak Adang. Sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah yang saya susuri ini adalah rumah keluarga Winda dari pihak Ibu, sedang rumah keluarga pihak ayah Winda ada di Bukittinggi.
[caption id="attachment_80547" align="aligncenter" width="385" caption="Diantara foto dokumentasi Winda yang saya lihat di ruang keluarga Winda. Sang Pengantin: Edu dan Winda"]
[/caption]
[caption id="attachment_80550" align="aligncenter" width="631" caption="Winda bersama kedua orang tua dan adik, waktu wisuda"]
[/caption] [caption id="attachment_80553" align="aligncenter" width="631" caption="Rumah keluarga Winda: Sepi, ditinggal para anggota keluarga pergi merantau"]
[/caption] [caption id="attachment_80552" align="aligncenter" width="632" caption="Erianto, satu-satunya anggota keluarga yang masih setia menunggui rumah keluarga Winda"]
[/caption] [caption id="attachment_80554" align="aligncenter" width="595" caption="Beberapa koleksi foto dokumentasi foto keluarga Winda yang terpajang rapi di ruang keluarga"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H