[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="Bantuan Gempa Padang - Google"][/caption]
Setelah melihat keadaan keluarga di kampung dalam keadaan baik-baik saja, begitu juga sudah mengetahui keluarga besarku di Padang juga dalam keadaan selamat, akupun tenang. Rasanya aku sudah bisa kembali ke Jakarta dengan perasaan lega.
Waktu sudah menunjukkan hampir jam 12, aku bersiap pergi shalat Jum’at. Aku pamit dengan seluruh keluarga, termasuk adik sepupuku Azmayeti yang sehari-hari dipanggil Yet menyuruh aku pulang, sewaktu aku menelpon dari Tanjung Alam sehabis turun dari mobil Travel yang membawaku dari Duri. Rupanya Tuhan memang menghendaki aku harus pulang, agar bisa pamit dengan seluruh keluarga sebelum kembali ke Jakarta.
Aku shalat jum’at di Masjid Rumah Tinggi, 1 km dari rumahku dan itu sekitar 150 meter dari SD Hilir Lama, tempat aku bersekolah 40 tahun yang lalu.
Selesai shalat Jum’at, baru aku sadar kacamata bacaku tertinggal di rumah. Aku lalu menelpon adik sepupuku Yet minta tolong di antarkan, aku tunggu di Simpang Katapiang. Simpang empat yang salah satu jurusannya ke arah timur adalah ke Guguak Rang Pisang, kampung ayahku.
Sekitar sepuluh menit menunggu, Yet datang bersama suaminya. Karena saat itu angkot tidak ada yang lewat, Eri, suami Yet menawarkan aku untuk mengantar ke Bukittinggi dengan sepeda motornya. Aku menolak karena tak ingin pekerjaannya sebagai Direktur BPR di nagari Magek, terganggu, karena harus mengantar aku.
Tapi alasan sebenarnya adalah aku ingin sedikit bernostalgia. Melakukan napak tilas berjalan kaki dari kampungku ke Biaro sejauh 7 kilometer, hal yang sering ku lakukan pada usia sekolah dasar lebih empat puluh tahun yang lalu.
Begitu Yet dan suaminya balik arah kembali pulang, akupun memulai perjalanan napak tilasku. Dari simpang Katapiang aku berjalan ke arah selatan, membelakangi Bukit Barisan yang ada di belakangku, menuruni pendakian Gunjo menuju Kabunalah. Dipertigaan Kabunalah aku belok kekiri melewatiperbatasan nagari Kamang dan nagari Salo.
Diperbatasan inilah ibuku di tembak dan dibunuh tentara kiriman presiden Soekarno untuk membungkamPergolakan PRRI tahun 1958 , tapi aku tak pernah tahu, di mana ibuku di buang atau di kuburkan, hilang tanpa bekas hingga kini.
Desa pertama yang kulewati di nagari Salo ini adalah Kampuang Panjang, tempat yang selalu kulewati ketika aku berjualan goreng pisang berkeliling kampung se usai shalat subuh, sewaktu aku tinggal bersama orang tua kakak ipar suami sepupuku yang lain.
Lepas dari Kampung Panjang, aku melewati desa Baringin, desa tempat tinggalnya seorang mantri suntik yang sering berkeliling nagari Kamang, mengunjungi pasien yang menjadi langganannya atau ketika di panggil karena ada yang sakit. Aku adalah salah satu pelanggannya, untuk mengobati borok yang tumbuh disekitar perutku sewaktu masih balita.
Disini juga tinggal seorang temanku Yelmi,teman berdagang asongan goreng pisang yang menikah dengan salah seorang penduduk desa ini. Inilah juga salah satu alasan mengapa aku melakukan napak tilas ini.
Di simpang tiga Beringin aku belok kekiri, dan hanya berjarak sekitar seratus meter dari sana sampailah aku di rumah Yelmi, teman yang sudah 25 tahun tak bertemu, sejak kami sempat bertetanggaan rumah kontrakan di Kalideres tahun 1985 dulu.
Selesai berlebaran dan ngobrol membongkar semua kenangan masa kecil, serta masa bertetangga di Kalideres, aku pamit melanjutkan perjalananku.
Aku memasuki Nagari Koto baru, tempat dimana dulu terkenal dengan pandai besi yang kini hanya tinggal kenangan.
Ditengah perjalanan aku menemukan segerombolan anjing kampung, yang nampaknya sedang memasuki musim kawin. Segerombolan jantan membuntuti satu betina, berlarian saling uber dan saling berusaha mendekati si betina. Gerombolan anjing ini cukup mengganggu kendaraan yang lewat, namun tak satupun yang berani mengusik amupun mengusir dari jalanan itu.
Tak berapa jauh berjalan setelah melewati gerombolan anjing itu, aku mendengar suara deritan ban sepeda motor yang di rem mendadak serta bunyi lolongan anjing tertabrak.
Ikut terkejut mendengar suara-suara itu secara reflek akau membalikkan badan, sebuah sepeda motor kelihatan oleng tak dapat di kuasai pengendaranya setelah menabrak gerombolan anjing yang berkejaran dan melintas mendadak di depannya. Dalam ketidak seimbangan itu pembonceng yang berada di belakang terlempar ke aspal dan terguling beberapa kali, setelah itu diam tak bergerak.
Beberapa orang yang berada dekat kejadiansegera berlarian memberikan pertolongan, akupun segera berlari mendekati dan melihat korban ternyata seorang nenek berusia diatas 60 tahun tergeletak tak bergerak. Beruntung sebuah kijang datang mendekat di stop oleh warga, setelah kijang berhenti sang nenek di angkat kedalam kijang dan segera di larikan kerumah sakit. Sementara itu si pengedara motor ikut membuntuti di belakang.
Aku meneruskan perjalanan hingga akhirnya sampai di Biaro. Dan menruskan perjalanan ke Pasir Jaya dengan menumpang bus jurusan Solok.
Sabtu, 3 Oktober 2009
Dengan menumpang bus NPM aku kembali ke Jakarta. Di dalam bus berbagai perasaan berkecamuk di hatiku. Senang karena semua keluarga dan kerabatku selamat. Tapi rasa sedih dan kecewa sebenarnya lebih menguasai hati dan perasaanku. Aku bagaikan serdadu yang sedang melakukan desersi, lari dari perang yang sedang berkecamuk.
Di Padang ribuan jiwa mengharapkan bantuan dan pertolongan, tapi apa yang aku lakukan? Lari dari medan yang sebenarnya bisa menjadi ladang amal bagiku. Kekecewaan dan penyesalan yang paling dalam, karena aku tak membawa kamera, karena kepulanganku yang terburu-burutanpa recana. Padahal itulah senjataku sebagai fotografer, kini aku bagaikan tentara tanpa bedil. Banyak yang dapat kulakukan dengan kamera di tanganku, memperlihatkan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi. Mewakili mereka untuk mendapatkan gambaran yang utuh, apa tindakan yang dapat dilakukan, membantu mereka yang menjadi korban.
Kini aku kembali dengan tangan hampa, tanpa satupun yang kuperbuat, tiada amal yang kutanam. Sementara nun disana, wajah-wajah menunggu tangan yang terulur. Dan pukulan kekecewaan itu semakin menghentak dadaku, karena di sepanjang jalan kulalui barisan bala bantuan datang dari berbagai jurusan, yang berkonvoi atau sendirian, semuanya membawa bala bantuan. Siapakah mereka itu? Sanak bukan saudara bukan, mereka datang atas nama kemanusiaan, untuk saudaraku, familku, keluargaku. Sementara aku pergi menghindar, dan meninggalkan semuanya. Aku hanya bisa menangis, melihat begitu banyak yang peduli. Tapi tangisku tak punya arti.... karena aku seorang desersi
Tamat
.
Tulisan sebelumnya: http://siapa-yang-mengatur-pertemuan-itu/
Tulisan Teman:
@ Fathoni Arief : http://selamat-pagi-pak-guru/
@ Fadly Syarif : http://antrian-panjang-kendaraan-roda-dua-padati-jl-s-parman/
@ Azmil Nasution: http://wibawa-sukarno-hingga-kini-masih-aku-rasakan-di-mesir
@ Cechgentong : http://mengapa-wanita-lebih-sering-meminta-maaf/
@ Bisyri : http://raksasa-memnon-luxor/
@ Della Anna : http://carrefour-menggeser-pasar-tradisionil/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H