1979. Seorang bayi laki-laki yang sehat lahir di sebuah rumah bersalin. Seorang laki-laki yang tengah menggendong seorang balita, masuk menuju ruang pemulihan, dialah sang suami dari wanita dan ayah si bayi. Aku mengiringi dari belakang. Setelah sampai di tepi pembaringan, aku mengulurkan tangan pada si ibu, mengucapkan selamat atas kelahiran anak keduanya. Di sampingnya sang bayi yang masih merah itu, tertidur pulas.
Si ayah lalu menurunkan sang kakak dari pangkuannya, seorang perempuan balita berusia 3 tahun, yang tidak bisa berdiri sempurna karena polio. Aku lalu memegang tangan si anak bernama Vienna itu. Sementara sang ayah lalu menggendong si bayi.
Aku lalu menggendong Vienna. Wajah ingin tahunya yang sedari tadi tak lepas dari adiknya, membuat aku kasihan padanya. Karena tidak bisa lagi melihat adiknya yang tengah berada di pangkuan sang ayah. Setelah berada di pangkuanku, aku lalu mendekatkan Vienna ke adiknya yang masih dalam pangkuan ayahnya. Tangan mungilnya yang tak sempurna, mencoba membelai wajah adiknya. Ada rasa hiba yang aku rasakan saat itu. Melihat Vienna berusaha dengan jari tangannya yang kaku tetap mencoba menyentuh pipi adiknya, dan ketika hal itu berhasil di lakukannya, dia tertawa begitu bahagia, begitu juga saat hal itu dapat di ulanginya beberapa kali.
***
Jaime demikian nama sang bayi, tumbuh sebagai anak yang sehat dan tampan. Rambut ikalnya membuat dia berbeda di tengah keluarga. Prestasi sekolahnyapun bagus sehingga membuat bangga keluarga. Vienna, dengan segala keterbatasan fisiknya. Juga mampu memberikan nilai yang baik di sekolahnya, walau bukan yang terbaik, namun masih diatas rata-rata. Kecuali dalam mata pelajaran olah raga yang memang tak bisa diikutinya.
Hubungan kekeluargaan kami juga cukup baik. Walaupun tak punya hubungan darah dan keluarga, tapi aku cukup dekat dengan keluarga mereka. Akupun sering bertandang dan menginap di rumah mereka. Merekapun beberapa kali sempat berkunjung kerumah kakakku di mana aku tinggal dan menumpang.
Lulus sekolah dasar, Jaime dimasukkan ke pesantren yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Karena dekat dari rumah, Jaime pun tidak mondok di pesantrennya. Berbeda dengan teman yang lain yang harus mondok di asrama dengan segala peraturannya yang ketat.
Selesai menuntaskan SMPnya di pesantren dengan nilai yang cukup bagus. Masuk SMA, Jaime dimasukkan ke sekolah negeri. Nilai raport SMPnya yang cukup bagus itu, menolong dirinya untuk mendapat tempat di SMA favorit pilihannya. Walau bukan berasal dari keluarga kaya, namun keluarganya cukup mampu untuk menyekolahkan dirinya di sekolah pilihan itu.
Di SMA sendiripun Jaime masuk murid yang cukup cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Walau bukan yang terbaik, namun masih dalam lingkaran sepuluh besar di antara murid-murid pilihan lainnya. Dengan prestasi yang cukup membanggakan ini, diapun telah merencanakan masa depannya untuk memasuki salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pihak keluargapun tak merasa keberatan dengan pilihan sang anak. Apalagi tinggal hanya dialah satu-satunya yang masih menjadi tanggungan keluarga. Karena Vienna sang kakak, setelah menamatkan SMP, tak lagi punya keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Karena sering kesulitan melakukan aktifitas, disebabkan oleh keterbatasan kondisi fisiknya.
Tamat SMA dengan nilai diatas rata-rata. Jaime mendaftar di beberapa perguruan tinggi terbaik pilihannya. Dan tentu saja pilihan utamanya adalah Universitas Indonesia, yang saat itu telah pindah ke Depok.
Keberuntungan nampaknya memang tengah berada di pihaknya. Jaime lulus dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, yang saat itu lebih terkenal dengan singkatan,“sipenmaru” yang diselenggarakan di Stadion Utama Senayan. Seluruh keluarga ikut bahagia menyambut keberhasilan Jaime, lulus memasuki perguruan terbaik di Indonesia itu. Walau tak ikut mengantarnya ke Depok, aku juga cukup senang mendengar kabar itu, saat aku berkunjung kerumah mereka.