Lihat ke Halaman Asli

Dian Kaizen Jatikusuma

Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Kenapa saya benci puisi...

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1377013008147106472

[caption id="attachment_260701" align="aligncenter" width="240" caption="sumber: www.kawandnews.com"][/caption]

Setiap mlm

setiap detik….

ku slalu terbayang senyummu….

rambutmu yg sgt indah….

ingin rasanya selalu disampingmu slamanya.

trus..

Isiin Pulsa gw Yah say..kalo mw lanjutannya..

Ga tau, mungkin karena saya cowok yg ga romantis, atau karena saya lama di Medan (yang terbiasa teriak di jalanan “woooi, matamu ke mana laeee!”), atau mungkin karena tingkat sensitifitas saya adalah 10 (tapi dalam skala 1-100), atau mungkin karena saya lahir di Jumat kliwon, saya nyaris ga pernah bisa memahami puisi..

Saat membaca karya-karya shakespeare, termasuk menonton film-filmnya, hati saya tidak tergetar mendengar bait-bait puisi dilantunkan.. Saya malah ngakak melihat cowok berbaju rumbai-rumbai, termasuk kerahnya, dan saya sangat curiga, termasuk CDnya juga, berusaha nongkrong dibawah balkon sambil melontarkan kata-kata yang berputar-putar, hanya untuk menyatakan perasaannya kepada seorang gadis.. Maksud saya, ayolah, kalau memang begitu suka kepada seorang gadis, lewati balkon itu, ketuk pintunya, temui ortunya, lalu lamar.. Itu, menurut saya, jauh lebih berarti dari 1000 kata-kata gombal tentang sinar bulan, dagu yang bak sarang lebah tergantung, atau tatapan mata indah yang bisa melumerkan hati Gengis Khan (saya belum berhasil membayang tokoh yang paling ditakuti sepanjang sejarah, kecuali mungkin, preman yang sering malakin Gengis Khan)..

Sayangnya, makhluk-makhluk berambut panjang yang saya harapkan menjadi belahan hati saya, ternyata bukan makhluk logika.. Ternyata, tingkat sensitifitas para wanita bisa mencapai 100, 110, bahkan ada yang tembus 500 (Hoax! Jangan minta saya menampilkan link penelitiannya).. Wanita-wanita yang malang, yang pernah saya dekati di saat saya remaja, ternyata sering lebih terbuai dengan kata-kata manis (“karena saya juga makhluk manis mas!” argumen mereka).. Sikap, perhatian, perbuatan, dan bahkan materi, kadang tidak cukup melumerkan hati mereka.. Hati mereka, bara cinta mereka, kadang perlu ditiup, dengan kata-kata romantis (“alias kata-kata gombal” gerutu saya dalam hati).. Dan jauh lebih baik lagi, jika kata-kata romantis itu dibungkus dengan kertas kado yang indah, bernama puisi..

Pernah di satu saat, demi menyatakan hati kepada seorang wanita, saya berniat memberikan sebait puisi untuk meluluhkan hatinya.. Karena saya buta puisi, penjelajahan saya demi mencari puisi pun di mulai.. Saya membaca semua buku-buku puisi, koran-koran, majalah, sampai teman-teman yang berbakat puisi (bisa dilihat dari tingkat gondrong rambutnya), saya teror siang dan malam, demi mendapatkan Jurus Sebaris Puisi Penakluk Hati.. Akhirnya, eureka, saya menemukan sebuah puisi yang, menurut saya, paling logis, rasional, masuk akal, dan tidak terlalu berbunga-bunga.. Tapi sungguh, bahkan untuk puisi serasional itupun, saya tidak sanggup membacakannya di depan sang gadis, tanpa muka saya menjadi merah dan tanpa keinginan untuk bunuh diri atau kabur ke Papua.. Akhirnya, saya tuliskan puisi tersebut di secarik kertas wangi berbunga-bunga (plis deh), dan tanpa kata sambutan, saya serahkan kertas tersebut kepada sang gadis, lalu saya buru-buru membelakanginya dan menekuni pot bunga (barang terdekat yang bisa saya lihat.. untunglaaah, saya tidak lagi dekat-dekat septic tank)..

Lalu tiba-tiba sepasang tangan memeluk saya dari belakang, dan hati saya menjadi hangat.. Puisi copas itu (mohon maaf teman-teman anti plagiat, karena saya sengaja lupa menuliskan sumbernya di kertas itu), berhasil.. Walau hubungan saya dengan sang gadis tidak berlanjut sampai sekarang, saya berhasil membuktikan, bahwa ternyata, puisi bisa menjembatani logika dengan perasaan..

Tapi tetap saja, saya masih buta puisi.. Saya masih saja terheran-heran, mengapa manusia mau bersusah payah menggunakan bahasa yang njlimet bin bikin mumet, hanya untuk menggambarkan sebuah cinta.. Sebuah artikel opini dengan kalimat-kalimat yang jelas, lebih mampu menggugah hati saya, daripada satu buku puisi, yang saya harus mengernyitkan dahi, merenungi, dan menggunakan segenap mulut bathin saya untuk mengunyahnya.. Kadang-kadang, saya merasa, banyak sekali para pencipta puisi, yang hidup di awan-awan.. Sehingga mungkin kata-kata ini tepat untuk menggambarkannya:

Sejuta ilmu lupa pada yg sederhana. Sejuta orang pandai gagal melihat cakrawala. Sejuta kemajuan terlepas dari sumbernya

Tetapi, siapa sih saya, berani menghakimi para pencipta puisi? Mungkin jiwa seni saya yang tidak terasah.. Walau saya bisa melukis, jago menyanyi, bisa bermain gitar, sedikit bisa membentur-benturkan simbal, agak pandai memainkan kecrekan, dan sangat mahir meniup peluit, hidup dan rezeki saya mungkin bukan di seni (rezekimu di aer mas!)..

Walau saya lebih percaya dengan sikap, perbuatan, dan kata-kata lugas untuk mencerminkan isi hati saya, para pencipta puisi ini mungkin perlu hadir, sebagai penyeimbang.. Mungkin, jika semua orang menggunakan logika sekuat saya, maka dunia ini tidaklah seindah sekarang.. Dan mungkin, itulah kenapa saya tidak suka puisi: saya tidak mampu menciptakannya..

Dan bukankah, ayat-ayat kitab suci sangat mirip dengan baris-baris puisi?

PUISI ANAK AKUNTING

Wahai Kekasihku… Debetlah cintaku di neraca hatimu Kan ku jurnal setiap transaksi rindumu Hingga setebal Laporan Keuanganku

Wahai kekasih hatiku… Jadikan aku manager investasi cintamu Kan ku hedging kasih dan sayangmu Di setiap lembaran portofolio hatiku Bila masa jatuh tempo tlah tiba Jangan kau retur kenangan indah kita Biarlah ia bersemayam di Reksadana asmara Berkelana di antara Aktiva dan Passiva

Wahai mutiara kalbu ku…. Hanya kau lah Master Budget hatiku Inventory cintaku yang syahdu General Ledger ku yang tak lekang ditelan waktu

Wahai bidadariku…. Rekonsiliasikanlah hatiku dan hatimu Seimbangkanlah neraca saldo kita Yang membalut laporan laba rugi kita Dan cerahkanlah laporan arus kas kita selamanya Jika di hari closing nanti, Tidak ada kecocokkan saldo mungkin cinta kita harus dijurnal balik…

Sumber puisi: http://petualanganku-jejakapetualang.blogspot.com/p/puisi-lucu-dan-konyol.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline