Lihat ke Halaman Asli

Dian Kaizen Jatikusuma

Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Dahlan Iskan, Jokowi, PSSI, dan CJ

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13294884731909045710

[caption id="attachment_161786" align="aligncenter" width="640" caption="Dahlan Iskan & Joko Widodo (KOMPAS.com)"][/caption]

Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia…

Terkadang membaca penggiringan opini tentang PSSI yang terjadi di media mainstream, baik cetak maupun televisi, membuat kening saya berkerut, tenggorokan saya kering, bibir pecah-pecah, dan susah buang air besar. Sungguh luar biasa metode yang dipergunakan untuk menggiring opini masyarakat, semua dengan data-data yang kelihatan luar biasa bagus (dengan menghilangkan data-data yang merugikan), memakai jasa para pengamat dari berbagai latar belakang, dan dihiasi dengan indah: lengkap dengan jargon-jargon yang kedengaran sangat bijak dan mulia.

Saat ingin menumbangkan pengurus PSSI yang sekarang, bersliweran kata-kata bijak seperti: “sepakbola harus dijauhkan dari perebutan kekuasaan antara AP dan ABB”, “Prof. Johar sama saja dengan pendahulunya, maka harus segera KLB”, “PSSI mengkhianati sejarah klub-klub besar”, “PSSI sumber perpecahan bangsa”, bahkan ada yang cukup nekat menggunakan argumen “Gara-gara Prof. Johar lah kekuatan NH bisa bangkit kembali”.

Kemudian, begitu kedudukan mulai terdesak dan kemungkinan KLB semakin buram, muncullah kata-kata bak begawan suci (mungkin sambil mengelus-ngelus jenggot dan menatap langit di luar jendela): “damai itu indah..”, “kita bosan melihat percekcokan terus”, “kita harus menjaga persatuan dan kesatuan”, “mari kita cari win-win solution…” Walaupun ya tetap ada juga yang cukup tega (dan gila) memberikan pernyataan: “rekonsiliasi adalah strategi PSSI menghindari KLB…”

Di sini lah citizen journalism berperan besar. Di berbagai sosial media, para jurnalis amatir yang hanya bermodal koneksi internet, komputer, dan hati nurani ini bersatu tanpa penggalangan, masing-masing terpanggil untuk menolak digiring opininya. Mereka berjuang mengumpulkan data-data, menyisihkan waktu di sela-sela pekerjaan dan kuliah, bahkan terkadang menyisihkan dana juga, untuk menangkis semua usaha pengaburan dan penguburan fakta, penggiringan opini, pemalsuan data, dan berusaha memberikan pencerahan kepada lingkungannya. Dan kadang-kadang, sungguh sulit memberi masukan kepada orang-orang yang hanya mengandalkan berita-berita dari media mainstream tanpa berusaha menyaringnya.

Berhasilkah? Belum tahu lagi. Tapi demi sepakbola yang lebih baik, semua susah payah ini rasanya cukup pantas.

Sebenarnya, menurut saya, kasus PSSI ini adalah salah satu ujian untuk citizen journalism. Dua tahun dari sekarang, kita menghadapi suatu hal yang bukan hanya sekedar menentukan masa depan sepakbola Indonesia, tetapi masa depan bangsa Indonesia. Ada dua calon yang sampai saat ini reputasinya masih baik, sebagai calon presiden yang bersih, perduli pada rakyat dan sederhana, bahkan di media sosial juga: Dahlan Iskan dan Joko Widodo. Tapi yakinlah, saya ulangi, yakinlah, jika mereka nanti benar-benar akan terpilih, dan jika memang mereka benar-benar bersih dan berusaha membawa perubahan untuk Indonesia, maka akan ada upaya besar-besaran penggiringan opini di media massa dari berbagai pihak yang berkepentingan: para pejabat yang korup, pengusaha hitam, para mafia pengadilan, bahkan pemerintahan asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional (jika mereka memandang naiknya dua figur ini mengancam kepentingan mereka).

Akan sangat mudah bagi mereka menguasai media massa mainstream (bahkan media asing), mencari orang-orang yang mampu menceritakan “keburukan-keburukan” Dahlan Iskan dan Jokowi, menampilkan data maupun fakta versi mereka (yang lagi-lagi dibungkus dengan kata-kata bijak dan mulia), sehingga pada akhirnya menggiring para pemilih untuk mengambil kesimpulan: kedua orang itu tidak layak memimpin bangsa ini.

Saat itu, perjuangan CJ jauh lebih berat. Kita tidak sekedar menghadapi akun-akun kloningan, media massa dalam negeri, dan anggaran dana dari orang terkaya di republik ini. Kita akan menghadapi orang-orang yang luar biasa pintar, jaringan media yang luar biasa luas, dan dukungan dana tanpa batas. Mereka bahkan mampu membeli kompasiana dan kaskus sekaligus (pernah dengar cerita tentang Al Jazeera?), dan menutup pintu-pintu akses kita untuk menyuarakan isi hati kita. Berat? Jelas. Tetapi biarlah kasus PSSI ini menjadi ajang sparring partner kita: jika kita bisa mengalahkan penggalangan opini oleh salah satu orang terkaya di Indonesia, kita cukup pantas untuk menghadapi semua kesulitan itu.

Biarlah kata-kata bijak teman saya, kita jadikan kenyataan: “orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air.. Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline