"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Setidaknya begitulah bunyi dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Isu mengenai kelangkaan garam yang tiba-tiba muncul menjadi headline di akhir tahun 2016 dan menggeser isu tentang perceraian selebritis bisa dikatakan sangat urgent.Bagaimana tidak? Garam lebih akrab di keseharian ibu-ibu daripada artis yang hanya bisa dilihat melalui televisi. Tapi bukan itu poin pentingnya. Apa yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut? Padahal apabila dilihat dari kondisi geografis Indonesia yang sebesar 2/3 wilayahnya berupa lautan, seharusnya produktivitas garam bisa sangat melimpah.
Menurut data yang diperoleh dari statistik KKP, rentang tahun 2011-2014 kebutuhan garam nasional meningkat sekitar 3,88%, yang mana kebutuhan garam ini dibagi menjadi dua macam, yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl minimal 94,7% - 97% yang digunakan untuk konsumsi, sedangkan garam industri adalah garam dengan kadar NaCl minimal 97% yang digunakan untuk bahan baku atau bahan pelengkap bagi industri.
Kondisi geografis Indonesia yang 2/3 wilayahnya merupakan lautan dan dengan garis pantai sepanjang 99.093 km, Indonesia hanya mampu memproduksi garam konsumsi. Tidak dengan garam industri. Bisa ditarik satu benang merah, bahwasanya Indonesia belum mampu menggunakan kekayaan laut untuk memakmurkan rakyatnya.
Hal tersebut bukan berarti Indonesia diam saja dengan adanya keadaan seperti ini. Upaya yang telah dilakukan untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran rakyat adalah dengan dibentuknya Rancangan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 dengan sasaran "Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional". Maka pada era Presiden Jokowi, disusun visi yang berbunyi "Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong". Salah satu misi yang dirumuskan berbunyi "mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional".
Kementrian Kelautan dan Perikanan kemudian membentuk 3 pilar sebagai misinya pada rencanga strategis KKP 2015-2019, yaitu kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan (prosperity).Langkah yang ditempuh oleh KKP selanjutnya adalah dengan menjalankan program PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat). Realisasi program ini ditekankan pada penyediaan insfrastruktur pendukung.
Data menyebutkan bahwa pada rentang tahun 2011-2015 produksi garam mengalami peningkatan sekitar 7,00% per tahun. Tahun 2011 produksi garam rakyat nasional sebesar 1,62 juta ton meningkat menajadi 2,50 juta ton. Produksi garam menurun pada tahun 2013 yang hanya mencapai 1,16 juta ton. Hal tersebut terjadi akibat musim hujan yang lebih panjang dari biasanya. Penurunan produksi garam kembali terjadi pada tahun 2016 yang hanya mampu memproduksi 118 ribu ton garam. Fenomena La Ninamenjadi penyebab utama rendahnya produksi garam tahun 2016 sekaligus menguatkan pernyataan bahwa produksi garam di Indonesia masih bergantung pada cuaca dan kondisi iklim selama satu tahun.
Lantas bagaimana langkah yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan garam Indonesia? Impor garam akhirnya menjadi alternatif yang dipilih oleh pemerintah. Menteri Perikanan, Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa industri garam di Indonesia dikuasai oleh perusahaan besar yang membentuk kartel. Kartel ini yang menentukan harga garam para petani garam.
Para kartel melakukan impor garam di saat Indonesia musim panen. Meskipun yang diimpor adalah garam industri, fakta di lapangan menyatakan bahwa garam industri ini dijual kembali sebagai garam konsumsi karena memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda. Melimpahnya garam industri yang dijual sebagai garam konsumsi ini yang kemudian menyebabkan harga garam petani menjadi sangat rendah, bahkan mengalami kerugian. Kondisi tersebut sebagai penyebab utama petani garam beralih profesi.
Menghadapi masalah impor garam tersebut, peraturan mengenai impor garam yang diatur pada Permendag No 58 tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian disusun peraturan baru mengenai ketentuan impor garam pada Permendag No 125 tahun 2015. Poin penting yang terdapat di peraturan terbaru adalah adanya keterlibatan Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam impor garam, khususnya garam konsumsi. Kemudian impor garam hanya boleh dilakukan pada saat terjadi gagal panen raya oleh BUMN yang mendapat penugasan dari menteri dan mendapat rekomendasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk menjadikan Indonesia mampu berswasembada garam, diperlukan integrasi antara petani-petani garam dan juga pemerintah. Misalnya dalam usaha produksi garam industri (peningkatan kandungan NaCl) sehingga nilai impor bisa ditekan. Serta dibutuhkan teknologi modern untuk meminimalisir kondisi cuaca agar produksi garam tetap bisa dilakukan.