Lihat ke Halaman Asli

Dian

Peternak

Solusi Selamatkan Industri Tekstil dalam Negeri

Diperbarui: 15 Agustus 2024   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Solusi Selamatkan Industri Tekstil Dalam Negeri

Saat ini tekstil Indonesia sedang mengalami kelesuan. Negara kita dibanjiri berbagai macam dan model pakaian impor asal Cina. Di Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya. Pakaian bayi dan anak yang berlabel "Made in China" membanjiri pasar tersebut. Padahal pakaian tersebut adalah produk yang wajib berlogo Standar Nasional Indonesia (SNI).

Masyarakatpun berbondong-bondong membeli pakaian impor China ini karena harganya tergolong sangat murah. Misalnya untuk pakaian anak, harganya dibandrol mulai Rp. 20.000---Rp. 50.000. Sedangkan harga untuk pakaian bayi, harganya berkisar mulai dari Rp. 25.000---Rp. 35.000 per potongnya.

Kalah Saing

Dari segi kualitas, tekstil Indonesia memiliki kualitas yang bagus jika dibandingkan dengan produk buatan Cina. Baju impor tersebut jahitannya renggang dan mudah sobek. Bahan pakaian yang digunakanpun memiliki kualitas yang standar. Namun baju impor tersebut memiliki motif dan model yang lebih beragam dibandingkan dengan produk tekstil negara kita.

Melalui strategi predatory pricing, produk impor buatan China ini sejatinya sedang mematikan pasar dalam negeri. Karena barang yang dijual lebih murah dengan harga di pasaran sehingga melemahkan ekonomi dalam negeri.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para pedagang. Selain menjual di tokonya secara langsung, mereka juga sudah menjual secara online atau marketplace. Namun tetap saja yang menguasai pasar online adalah produk impor buatan Cina dimana barang yang dijual harganya lebih murah dibanding produk dalam negeri.

Industri Tekstil Indonesia dalam Bahaya

Dilihat dari fenomena saat ini, bisa dibilang Industri tekstil Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Banyak perusahaan tekstil gulung tikar dan PHK ada dimana mana.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, permasalahan dimulai ketika terjadi pandemi Covid-19 yang membuat orang-orang lebih memprioritaskan makanan sebagai kebutuhan utama dibandingkan produk pakaian.

Faktor lainnya disebabkan industri tekstil saat ini sulit  meningkatkan teknologinya atau merestrukturisasi mesin karena biaya mesin yang mahal,  pajak pertambahan nilai (PPN) yang tinggi. Untuk mengajukan pinjaman modalpun bunganya sangat tinggi dan ditambah lagi masuknya barang-barang impor yang harganya murah serta penyelundupan barang dari luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline