"Diskursus Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Hutang Pajak"
Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memeriksa kepatuhan wajib pajak terhadap aturan perpajakan. Ada berbagai jenis pemeriksaan, mulai dari pemeriksaan laporan hasil, pemeriksaan bukti permulaan, hingga pemeriksaan khusus untuk kasus-kasus tertentu. Tujuan utama pemeriksaan adalah untuk memastikan kepatuhan wajib pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Ruang lingkup pemeriksaan pajak melibatkan berbagai hal, mulai dari pengajuan pengembalian pajak hingga pemeriksaan atas permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Standar pelaksanaan pemeriksaan ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013, yang kemudian diubah dengan PMK Nomor 184/PMK.03/2015 dan terakhir diatur dalam PMK Nomor 18/PMK.03/2021 sebagai aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, mencakup persiapan yang matang, pengujian berdasarkan metode yang sesuai, dan hasil pemeriksaan yang didasarkan pada bukti yang cukup dan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Tim pemeriksa biasanya terdiri dari supervisor, ketua tim, anggota tim, dan dalam kondisi tertentu, mereka dapat dibantu oleh tenaga ahli dari instansi lain. Pemeriksaan dapat dilakukan di berbagai tempat, baik kantor pajak, tempat tinggal atau usaha wajib pajak, sesuai kebutuhan. Seluruh proses pemeriksaan juga didokumentasikan dalam KKP (Ketetapan Keputusan Pajak).
Pemeriksaan pajak dilakukan untuk mengevaluasi kepatuhan wajib pajak terhadap hukum pajak, dan ini melibatkan evaluasi catatan keuangan, dokumen perpajakan, dan laporan yang diajukan oleh wajib pajak. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pelaporan pajak dan pembayaran yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu Pemeriksaan Lapangan dan Pemeriksaan Kantor, dengan perbedaan tempat pelaksanaan dan jangka waktu yang diberikan. Pemeriksaan pajak dapat memakan waktu hingga 12 bulan. Dimulai dengan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, serta berakhir dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Wajib Pajak memiliki hak untuk mengajukan Keberatan atau Banding jika terdapat perbedaan pendapat terkait hasil pemeriksaan atau SKP yang dikeluarkan. DJP telah melakukan manajemen risiko kepatuhan sejak tahun 2014 dengan rencana strategis dan penggunaan Compliance Risk Management (CRM) sejak tahun 2015. Sebelum adopsi CRM Engine, digunakan McFarlan Strategic Grid sebagai bagian dari aplikasi dalam kuadran high potential grid yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Sebelum mengadopsi CRM Engine, DJP menggunakan Benchmark Behavioral Model (BBM) sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2016. Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko dibagi menjadi tiga, yaitu analisis risiko secara manual, hasil analisis dan pengembangan Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP), serta analisis rasio komputerisasi hasil analisis Compliance Risk Management (CRM). CRM mulai digunakan sejak 2014, namun pada awalnya hanya diakses oleh Komite Perencanaan Audit Kantor Pusat DJP. Namun, akses tersebut belum tersedia bagi pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Sementara itu, penagihan pajak merupakan proses di mana Direktorat Jenderal Pajak atau KPP melakukan upaya untuk menagih utang pajak yang belum dibayar oleh wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses ini melibatkan surat tagihan pajak, surat paksa, dan langkah-langkah lainnya untuk memastikan bahwa pajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak benar-benar dilunasi. Lebih jauh dibahas dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.03/2020. Peraturan ini merinci tata cara penagihan pajak dengan cermat, memberikan langkah-langkah yang tegas untuk menagih utang pajak yang belum dibayar. PMK ini menambahkan kewenangan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, memperbarui prosedur penyitaan pada lembaga jasa keuangan, serta memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai berbagai kategori Penanggung Pajak.
Penagihan Pajak
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk memaksa penanggung pajak agar melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihan. Penagihan bisa dilakukan dengan surat teguran, penagihan seketika dan sekaligus, dan memberikan surat paksa. Pasal 1 Ayat 3 UU PPSP mendefinisikan penanggung pajak sebagai individu atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak. Berdasarkan Pasal 20 UU KUP, PPSP dikeluarkan jika masih ada pajak terutang dalam dokumen tagihan pajak atau dokumen penambah utang pajak lainnya yang belum dibayar setelah tanggal jatuh tempo. PPSP bisa diterbitkan setelah terlewatnya masa pembayaran utang pajak. Proses ini dapat dimulai dari surat teguran, dan jika tidak dilunasi, PPSP akan diterbitkan. Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar, termasuk sanksi administrasi seperti denda atau bunga. Sementara Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah Surat yang menentukan jumlah pajak yang kurang dibayar, kredit pajak, kekurangan pembayaran, sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang harus dibayar. Diterbitkan jika wajib pajak kurang atau tidak membayar pajak sesuai yang seharusnya dibayar. Penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan dalam beberapa situasi, seperti ketika terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia, memindahtangankan barang dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan di Indonesia, atau ada tanda-tanda perubahan bentuk usaha, kepailitan, atau pembubaran usaha.
Dasar penagihan pajak adalah berbagai dokumen, seperti surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, SKPKB tambahan, dan putusan lainnya yang menyebabkan penambahan utang pajak. PMK 189/PMK.03/2020 menetapkan proses penagihan yang ketat, dimulai dari surat teguran hingga penjualan barang sitaan. Berikut adalah timeline dan proses penagihan yang dijelaskan dalam peraturan PMK 189/PMK.03/2020 :