Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini semakin pesat. Semua orang sudah terbiasa menggunakan berbagai platform media digital untuk melakukan aktivitas, tak terkecuali anak-anak. Data Kominfo menyebut ada sekitar 10% pengguna internet di Indonesia yang berusia di bawah 15 tahun. Para orangtua mempunyai keresahan bersama terkait aktivitas anak-anak di dunia maya. Mereka khawatir anak-anak terpapar berbagai konten negatif. Konten negatif tentu akan memengaruhi perilaku, bahkan sampai tataran membahayakan diri dan orang lain.
Maraknya kasus kekerasan terhadap anak di ruang digital menjadi salah satu tantangan serius. Di dunia maya, anak-anak menghadapi berbagai risiko seperti pelecehan seksual, perundungan, berita hoax, eksploitasi, gaya hidup liberal dan konten berbahaya lainnya. Kemenkominfo melaporkan, pada 2020, ada sekitar 3.276 lebih kasus kekerasan anak di media sosial dan internet, 156 lebih kasus kekerasan seksual, 58% anak Indonesia mengalami cyberbullying yang 74%-nya dilakukan melalui media sosial, serta 66% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan Indonesia menyaksikan pornografi melalui media digital. Data-data tersebut menunjukkan suatu kondisi yang berbahaya dan perlu penanganan serius.
Menciptakan lingkungan yang aman bagi anak di ruang digital membutuhkan kesadaran, pendidikan, dan tindakan yang tepat. Namun apakah tindakan preventif itu cukup hanya dilakukan pada tataran rumah dan sekolah saja? Negaralah yang memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan ruang digital aman bagi anak-anak. Masalah mengamankan ruang digital ini adalah masalah sistemik, artinya butuh solusi dari negara.
Regulasi yang saat ini telah dibuat masih memiliki banyak celah. Misalnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sebenarnya telah memiliki mekanisme pemblokiran konten negatif berdasarkan aduan masyarakat. Berarti ketika tidak ada aduan, apakah tidak ada pemblokiran? Jika ini terus terjadi maka situs maupun konten negatif akan terus tumbuh liar tidak terkendali. Keamanan ruang digital pun tidak akan pernah terwujud.
Terbaru, pemerintah akan segera merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang perlindungan anak dari game online untuk merespons maraknya tindak kriminalitas. Perpres yang akan dibuat lebih menitikberatkan pada peran orang tua dalam mengawal anak-anak di ruang digital. Tentu ini jauh dari harapan masyarakat. Negara terkesan "kabur" dari tanggung jawabnya dan menyerahkan masalah ini kepada orang tua. Belum lagi masalah kesenjangan digital yang membuat tidak semua orang tua mampu mengakses internet.
Masyarakat menginginkan semua konten bahkan aplikasi negatif harus diblokir. Siapa yang memiliki wewenang tersebut? Tentu negara, bukan tataran keluarga. Nampaknya hal itu sulit dilakukan oleh pemerintah, dikarenakan ada sebuah kepentingan ekonomi dari perkembangan industri game. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan nilai pendapatan dari industri game atau aplikasi permainan yang berkembang di Indonesia mencapai Rp25 triliun selama tahun 2022. Angka yang cukup fantastis. Namun pendapatan dari industri permainan itu, 99,5 % mengalir ke luar negeri yang selama ini sebagai penyedia aplikasi permainan itu, sedangkan pendapatan bagi pelaku industri permainan dalam negeri tercatat hanya 0,5% saja. Kemenparekraf berupaya mengambil potensi tersebut dengan mendorong pelaku industri kreatif permainan membuat lebih banyak permainan agar bisa menarik pendapatan tersebut.
Dari sini kita bisa melihat ketidakseriusan pemerintah untuk menjaga keamanan ruang digital. Satu sisi, orang tua diminta untuk mengawal anak-anak dari pengaruh negatif internet, tapi satu sisi pemerintah justru membuka keran berkembangnya konten maupun aplikasi-aplikasi yang rentan merusak generasi. Kita ketahui bahwa teknologi melalui apllikasi-aplikasinya, bukanlah sesuatu yang bebas nilai, akan tetapi sering disusupi sesuatu untuk mengaruskan opini/ide tertentu, atau penjajahan gaya hidup yang merusak.
Ini adalah sebuah fakta yang tengah terjadi. Negeri ini menganut sistem kapitalisme dimana pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang utama, sehingga pemanfaatan teknologi pun dipandang sebagai suatu keharusan tanpa melihat dampak yang lebih luas. Pengurusan oleh negara saat ini terasa seperti simbiosis parasitisme, sebagian pihak diuntungkan, masyarakat luas dirugikan. Maka wajarlah jika kita pesimis bahwa pemerintah akan memberikan keamanan ruang digital. Pasalnya, pemerintah tidak serius hadir untuk menyelesaikan akar persoalan munculnya paparan negatif di ruang digital.
Perlu digarisbawahi, bukan berarti perkembangan teknologi tidak penting. Teknologi merupakan hal yang penting, bahkan menjadi salah satu indikator negara itu maju atau tidaknya. Namun perlu dicatat bahwa produksi dan pemanfaatan teknologi tinggi harus dipastikan membawa hasil positif, memberikan maslahat bukan malah mengantarkan mudarat, memberikan keamanan bukan kejahatan. Kemampuan menciptakan teknologi demikian hanya mampu diwujudkan jika negara sadar akan tanggung jawabnya.
Pertama, negara harus menyadari bahwa keamanan merupakan hak masyarakat, dan menjadi kewajiban negara untuk mengadakannya. Tuntutan keamanan tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga ruang digital. Mindset ini harus tertanam sehingga negara tidak mudah tergiur keuntungan semata, dan mengorbankan rakyatnya.
Kedua, harus menjadi negara mandiri. Jangan sampai infrastruktur digital negeri ini terus menerus bergantung pada negara-negara maju. Jika hal itu terjadi, maka intervensi-intervensi akan selalu menghantui. Alhasil kepentingan asing akan mendominasi kebijakan teknologi, akan sulit bagi kita membentengi ruang digital. Untuk bisa menjadi negara mandiri, tentu butuh langkah berani dari pemerintah untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah neo-imperialisme