Lihat ke Halaman Asli

Utang (2)

Diperbarui: 6 Desember 2022   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kisah kedua tentang utang. Kali ini teman saya yang lain, si B. Utang mungkin bukan level kehidupan yang diinginkan tiap orang. Sekali lagi jika itu hanya sebatas memenuhi keinginan, tahan dulu, tunda dulu. Jangan sampai berurusan dengan bank menjadi sebuah rutinitas demi sebuah keinginan.


Si B, teman saya, adalah seseorang yang berprinsip apa yang dimiliki hari ini, silakan dihabiskan hari ini. Perkara besok uang habis, mari cari lagi. Jika tidak ada, utang saja.


Si B adalah seorang guru. Suaminya sebelumnya adalah seorang supervisor yang sudah resign dari perusahaan home care ternama. Katanya ingin mengembangkan bakat sebagai fotografer. Maka mereka berdua berinisiatif membuka studio foto kecil di rumahnya.


Sedikit demi sedikit usaha itu mereka rintis. Mulai dari renovasi ruang tamu untuk ruang foto, menambah perlengkapan fotografi dan editing foto, dst. Demi hal tersebut, si B pernah beberapa kali meminjam dana ke sebuah bank secara kolektif melalui sekolah. Maksudnya supaya angsuran tiap bulan dapat langsung diangsur lewat potongan gaji. Tiap kali lunas, akan segera membuka utang baru.


Namun sejak pandemi melanda, banyak kegiatan publik mulai dibatasi termasuk berbagai event seperti pernikahan, karnaval, sekolah dan lain sebagainya. Ini juga berdampak pada usaha si B. Di tahun yang sama, beberapa keluarga dekat, termasuk sang ayah mulai jatuh sakit dan meninggal dunia.


Ternyata selain meminjam ke bank, si B juga menggunakan dana milik sekolah yg waktu itu dikelola sebagai dana harian program kerja. Jumlah yang terpakai lumayan besar. Ini baru diketahui saat sekolah mau melaksanakan program. Si B hampir tak pernah masuk kerja (saat itu meski siswa diberlakukan sekolah dari rumah, tetapi pengajar diharap tetap masuk kantor). Dirinya juga sulit dihubungi.


Saat pihak sekolah mendatangi rumahnya, si B uang yang pernah dipinjam entah dari bank atau milik sekolah, sebagian memang untuk kebutuhan studio mereka, sebagian lainnya lagi untuk pengobatan orang tua dan untuk makan sehari-hari, yang lain pernah untuk memenuhi keinginan mereka untuk punya televisi yang lebih besar. Ya Tuhan, televisi. Itu bukan sesuatu yang terlalu penting, kan? 

Dalam suatu kondisi dirinya dan suami bahkan hanya memiliki uang sepuluh ribu rupiah. Sehingga mereka terpaksa makan dengan nasi dan garam. Ketika ditanya komitmennya untuk melunasi utang, si B hanya menyerahkan surat tanah miliknya sebagai jaminan. Dia hanya berjanji melunasi secepatnya.

Kini si B sudah pindah kerja ke sekolah baru. Utangnya di sekolah lama belum sepenuhnya lunas. Waktu itu dia berjanji akan melunasi segera mungkin jika SK-nya sebagai aparatur sipil negara sudah dijaminkan di bank. Kebiasaan pinjam ke bank ternyata masih menjadi kesukaannya. Entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline