Lihat ke Halaman Asli

Curahan Hati

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya mau cerita kisah beberapa waktu lalu. Karena nggak ingat sudah sejak kapan hubungan itu berakhir sampai sekarang (*males banget -_-)

Dulu tuh saya sempet berpacaran sama dia, karena sudah ada niat menikah. Dan juga nggak mau nambah dosa, tapi saya nggak berani ngomong ke ibu.Karena takut terulang masalah yang sama dengan kakak pertama saya (cewe), nah pas kakak saya minta ijin nikah selesai wisuda (kalo nggak salah ingat) tapi ibu belum mau. Terus pacarannya lama, saking kelamaannya makin susah minta restu ibu. Akhirnya baru bisa ngelunak hatinya pas umur kakak saya mau mendekati kepala tiga. Sebagai anak, apa salahnya kami nikah muda? Kalau ujung-ujungnya nunda terus malah nambah dosa, kan? Saya sedih. Karena kami, anak-anaknya seorang yatim. Ditinggal ayah karena dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski agak susah minta restu ibu kalau tanpa bapak. Jadi saya maklumi.

Nah, karena itulah saya nggak berani karena pasti kejadiannya sama menimpa kakak saya. Dan kenyataannya emang bener. Awalnya saya bilang gini, “Bu, kalau misalkan aku ingin menikah gimana?” nungguin jawaban lama banget alias diam saja, tak ada komentar. Terus saya tanya lagi, tau nggak apa kata ibu? Beliau bilang, “Nanti ajalah. Lagian mbak-mu belum nikah juga, nggak enak duluan.” Saya diam. Emang iya sih kakak kedua saya belum nikah juga (cewe juga, saya anak ketiga dari dua bersaudara). Terus ya saya lanjutin pacaran setahun kemudian, iseng nanya pendapat ke kakak kedua saya. “Mbak, kalau aku nikah duluan, gimana?” sambil becandain. “Iya nggak apa-apa, sok atuh kapan?” katanya, dan saya cuma nyengir doang.

Beberapa bulan kemudian, saya tanya lagi ke ibu. “Bu, gimana? Boleh nggak? Kata mbak nggak apa-apa kalau aku duluan.” Ibu bilang, “Dia kerjanya apa? Pendidikannya apa?” saya kaget ibu nanya gitu tentang pendidikan, dan sudah tahu sebelumnya kalau cowo saya kerjanya di resto sebagai koki masak, tapi kalau pendidikan? Memang sih, sangat berbeda jauh banget. Saya lulusan diploma, sedangkan dia hanya tamatan SMP. Tapi apakah saya melihat strata pendidikan dia? Membanding-bandingkan dia? Sama sekali nggak pernah sekalipun. Karena yang saya lihat hanya ketulusannya, kedewasaannya, hatinya, agamanya. Bukankah calon suami yang baik itu dilihat dari cara dia memperlakukan ibunya dengan baik, bukan? Itulah mengapa saya memilih dia. Terus saya komplain ibu nanya gitu, yah alasannya biar saya hidupnya terjamin atau macam apalah. Kecewa saya sama ibu.

Terus beberapa bulan berikutnya, cobaan datang lagi. Dari cowo saya cerita, dia mau dijodohin sama pilihan ibunya sendiri. Sakit banget pas denger berita itu. Padahal dari awal mau nunggu saya, yah otomatis saya kecewa juga sama ibunya dia dan dia juga. Dia cerita kalau dulu cewenya (yang dijodohin) sama ditinggal nikah cowonya juga, gara-garanya ibunya cewe itu nggak suka sama cowonya. Nggak tau apaan. Konflik tetangga katanya. Terus dia dikasih pilihan, mau kenal dulu sama cewe itu atau langsung tunangan. Karena saya sama dia belum putus, jadi ambil pilihan pertama. Padahal sama aja ujung-ujungnya bakalan nikah juga. Akhirnya putus sendiri. Sakit bangetlah.

Terus semenjak itu sampe sakarang saya udah nggak kontek-kontekan. Saya sibukin diri, sekalian memperbaiki diri. Tapi ada yang aneh dari perubahan ibu saya, dulu pas saya belum putus sama dia merasa ada jarak antara saya dengan ibu. Sekarang, ibu berubah baik dari biasanya. Setelah saya putus baru bisa sedekat ini. Kenapa nggak dari dulu, berarti emang beliau nggak suka sama cowo saya. Kalau emang nggak suka mah, tinggal bilang aja. Lah ini mah diam aja, saya mana tau. Ngedesak juga percuma. Saya juga masih ada sedikit kecewanya, tapi ya sudahlah. Toh, kalau dia bukan jodoh saya sepaksa apa pun juga nggak bakalan jadi. Saya coba menerima, sabar, ikhlas. Saya yakin, Allah Maha Tau apa yang terbaik buat saya.

Begitulah curhatan saya. Mwehehe. Dan terima kasih sebelumnya udah berkenaan baca, sempet-sempetin baca :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline