Lihat ke Halaman Asli

Dian Febria

Mahasiswa

Self-harm Karena Konten Media Sosial

Diperbarui: 22 Juni 2023   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

          

Dalam era media sosial yang terus berkembang, tren dan tantangan baru sering kali muncul dan menyebar dengan cepat di antara pengguna. Sayangnya, beberapa tren ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan perkembangan psikologi anak, terutama dengan meningkatnya kasus self-harm. Self-harm adalah tindakan seseorang melukai diri sendiri sebagai bentuk pelepasan emosi atau rasa sakit yang tidak dapat diungkapkan secara verbal. Banyak faktor yang berperan dalam maraknya self-harm, dan tren media sosial dapat menjadi faktor pemicu yang signifikan.

Dalam beberapa tahun terakhir, remaja dalam rentang usia 13 hingga 25 tahun cenderung sering melakukan self-harm atau melukai diri sendiri. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga, di salah satu sekolah di Karangasem, Bali, 49 anak perempuan menjadi korban fenomena self-harm. Ada empat puluh anak yang melakukan sayatan sekali saja, dan sembilan lainnya melakukannya berulang kali. Ia sedih setelah mengetahui bahwa anak-anak berani melukai diri sendiri karena terpengaruh oleh tren media sosial. Menurut Bintang, kebanyakan korban berasal dari keluarga yang broken home dan berbagai permasalahan lainnya. Konten self-harm yang diunggah ke media sosial seringkali memiliki potensi viralitas yang tinggi. Sebuah foto atau video yang menunjukkan tindakan self-harm dapat menyebar dengan cepat dan mencapai banyak orang dalam waktu singkat. 

Efek viral ini dapat menyebabkan fenomena "klaster" atau lonjakan kasus self-harm di kalangan individu yang terpapar konten tersebut. Selain itu, anak-anak dan remaja yang masih dalam masa perkembangan mereka cenderung lebih rentan terpengaruh oleh tren dan konten yang ada di media sosial. Yosafat Kevin, seorang anggota komunitas pencegahan bunuh diri, mengatakan jika perilaku menyakiti diri ini dipublikasikan di media sosial, hal itu dapat menyebabkan efek domino, karena ada kecenderungan untuk mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama juga.

         Bagaimana bentuk self-harm itu?

Self-harm dapat terjadi melalui berbagai bentuk tanpa mempertimbangkan akibatnya. Contohnya menggunakan benda tajam untuk menggores bagian tubuh dengan silet, cutter, pisau, kaca atau benda tajam lainnya. Bahkan sampai membakar bagian tubuh dengan korek atau rokok, menusuk kulit dengan benda tajam, memukul-mukulkan anggota tubuh dengan benda tumpul, membenturkan kepala ke tembok, dan sebagainya. Sangat mungkin bahwa self-harm akan meninggalkan bekas di tubuh pelaku.

Ada banyak alasan dan tujuan setiap orang untuk melakukan self-harm. Selain digunakan sebagai pelampiasan emosional, self-harm juga dianggap bisa mengurangi stress. Penulis melakukan wawancara dengan lima remaja yang mengalami masalah dengan membuat konten self-harm di media sosial. Ada di antara remaja tersebut yang berasal dari keluarga yang hancur, bahkan berasal dari keluarga utuh namun peran orang tua tidak ada. Remaja tersebut mengatakan bahwa alasannya karena dia merasa tidak berharga, rendah, gagal, memiliki masa depan yang suram, merasa tidak dicintai, dan kesepian. Ia mengatakan bahwa melukai dirinya dengan silet, kaca, atau benda tajam lainnya membuatnya merasa lega dan tenang, tetapi setelah melakukannya juga mengalami perasaan bersalah atau penyesalan. Selain itu, seorang remaja lain mengatakan bahwa dia melakukan self-harm karena tidak mampu lagi menghadapi tantangan hidupnya dan merasa tidak punya tujuan hidup. Namun, self-harm yang ia lakukan tidak berhasil melukainya, hanya meninggalkan sayatan. Ternyata remaja lain juga menderita gangguan kesehatan mental seperti gangguan bipolar, depresi, dan kecemasan.

         Bagaimana cara pencegahannya?

Dalam menghadapi maraknya self-harm yang terkait dengan tren media sosial, langkah-langkah pencegahan perlu diambil. Pertama, perusahaan media sosial harus secara aktif memantau konten yang dipublikasikan di platform dan menghapus segala bentuk promosi self-harm yang berbahaya. Kedua, para orang tua dan pendidik perlu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang potensi bahaya tren media sosial dan membantu anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial dengan bijak. Terakhir, penting untuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatif self-harm dan menyediakan sumber daya kesehatan mental yang dapat diakses oleh individu yang membutuhkan.

Dok. pribadi

Ada berbagai cara untuk menenangkan diri atau mencegah self-harm. Cara pertama, melakukan magic finger. Jika kita merasa cemas, kita bisa memegang salah satu tangan kita dan tarik napas selama sepuluh atau dua menit. Demick dan rekan-rekannya dari badan amal N-Compas, yang bermarkas di Lancashire, Inggris, menganjurkan untuk melakukan The Butterfly Project, salah satu tindakan kepedulian. Mereka memulai The Butterfly Project karena mereka khawatir tentang remaja yang suka melukai diri sendiri. Harapannya adalah untuk mendorong seseorang yang frustrasi, depresi, atau sakit mental lainnya untuk menghindari melakukan bahaya diri sendiri. Caranya adalah dengan membuat kupu-kupu dan menulis nama seseorang di bagian tubuhnya. Ketika seseorang ingin melukai bagian kupu-kupu yang digambar, mereka seolah-olah juga ingin melukai orang yang mereka cintai. Setelah itu, kupu-kupu akan pudar sendiri. Namun, ketika gambar kupu-kupu itu terhapus dengan sendirinya, itu menunjukkan bahwa seseorang telah berhasil melepaskan kupu-kupu itu dan membiarkan kupu-kupu itu terbang dengan aman. Kupu-kupu dianggap sebagai simbol transformasi, dan masalah akan hilang dengan sendirinya jika kita dapat belajar untuk menerima keadaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline