Lihat ke Halaman Asli

Selfie: Antara Kreatifitas dan Gangguan Kepribadian

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selfie terus mewabah dikalangan mengguna jejaring sosial di dunia. Siapa yang tidak kenal dengan cara berfoto yang satu ini. Mulai dari anak-anak sampai orang tua sering kali melakukannya untuk mengekplorasi diri. Tidak hanya selfie dengan kamera yang natural, sering kali selfie dibantu oleh aplikasi sederhana yang membuat hasil bidikan semakin mempesona. Diawali dari mengatur focus sampai member warna unik pada bibir dan kulit agar kelihatan artistik dan menarik perhatian para pengguna jejaring sosial.

Selfie ternyata tidak hanya dapat mengeksplorasi diri seseorang. Akan tetapi, selfie dapat mendorong para creator untuk menciptakan alat-alat pendukung yang membuat selfie menjadi semakin booming. Anindito Respati Giyardani pencipta tongsis contohnya, ia dapat membuat alat yang membantu penggemar selfie untuk berfoto dari jarak yang lebih jauh.

Tidak berhenti pada tongsis. Sekang muncul tren baru dalam selfie yaitu dronie. Dronie dilakukan menggunakan drone atau pesawat tanpa awak yang digerakkan dengan remote control. Walaupun terbilang sulit untuk mengenalikan pesawat, ini dapat menambah keasikan dalam selfie. Fenomena ini dapat dinilai sebagai bentuk dari kreatifitas yang lahir dari kegemaran selfie.

Di sisi lain, selfie juga dapat menjadi gejala gangguan kepribadian yang disebut dengan narsistik. Orang yang mengalami narsistik merasa bahwa dirinya adalah pribadi yang istimewa dan harus diperlakukan dengan istimewa pula. Seorang narsistik selalu berusaha untuk tampil mempesona hingga menimbulkan pandangan yang berlebihan akan kemampuan dan keunikan diri mereka.

Kasus yang disebabkan oleh selfie yang berlebihan pernah terjadi pada seorang remaja bernama Danny Bowman asal Inggris. Ia menjadi sangat kecanduan setelah pengalamannya ditolak untuk menjadi model oleh sebuah agency. Sampai pada puncaknya ia sanggup meng-upload 200 foto selfie-nya setiap hari dan memperhatikan foto itu satu persatu hingga ia merasa tidak ada kekurangan dengan bentuk tubuhnya. Di saat itu, ia terus menelan banyak obat untuk bunuh diri. untungnya, orang tuanya mengetahui usaha bunuh dirinya dan berhasil menyelamatkannya dari kematian.

Jika ditinjau lebih dalam, maka salah satu sebab seseorang mengalami narsistik adalah kurangnya harga diri. sehingga selfie menjadi topeng untuk menutupi erasaan rendah diri tersebut. Akan tetapi, kita tidak bisa melabel seseorang yang suka ber-selfie sebagai orang dengan gangguan kepribadian. Karena gangguan tersebut memiliki bebrapa karakteristik buka hanya satu karakteristik.

Karakteristik gangguan kepribadian narsistik adalah pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, terfokus padda keberhasilan, kecerdasan dan kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk dipuja dan perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapat segala seusatu. Selain itu, kecenderungan memanfaatkan orang lain dan iri pada orang lain juga merupakan karakteristik gangguan ini.

Dari pembahasan diatas kita bisa memahami bahwa selfie kadang kala menjadi suatau yang menyenagkan, baik, seru dan kadang juga menjadi sesuatu menyebabkan atau disebabkan hal yang negatif. Semuanya tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline