Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia pada tahun 2011 merilis laporan Indonesia Most Liveable City Index. Laporan ini menunjukkan hasil survei cepat persepsi penduduk yang tinggal di 16 ibu kota provinsi di Indonesia tentang beberapa komponen indikator kenyamanan tinggal di kota mereka sendiri. Liveable city adalah istilah yang menggambarkan suasana dan lingkungan kota yang nyaman sebagai tempat untuk beraktivitas, dilihat dari berbagai aspek, baik fisik (fasilitas perkotaan, infrastruktur, perencanaan wilayah, dan sebagainya) dan non fisik (relasi sosial dalam masyarakat, aktivitas ekonomi, dan lain-lain). Hasil laporan ini menyatakan bahwa hanya 54,17 persen penduduk kota-kota di Indonesia yang disurvei merasa nyaman tinggal di kotanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa kota-kota tersebut masih berada jauh dari kondisi ideal.
Secara umum, Kota Pontianak menduduki peringkat ke-14 dari 16 kota dalam survei Liveable City Index 2011. Kota Pontianak bahkan mendapat catatan penting karena perolehan index paling rendah dalam survei 2009 (peringkat terendah) dan 2011 (terendah nomor 2). Ini artinya Kota Pontianak berada pada kondisi tidak nyaman dan jauh berada di bawah angka rata-rata indeks kota di Indonesia. Kendala utama dalam pembangunan infrastruktur dan perencanaan kota Pontianak adalah kondisi fisik yang sebagian besar berupa lahan gambut.
Dalam prinsip liveable city, fasilitas umum yang dinilai antara lain adalah tersedianya transportasi publik. Kriteria indikator transportasi, mencakup seberapa baik kota menyediakan transportasi publik, dan bagaimana kualitas jalan-jalan di kota tempat tinggal Anda. Satu di antara beberapa indikator yang dinilai rendah oleh masyarakat Kota Pontianak adalah aspek transportasi dengan perolehan skor baik hanya oleh 35 persen responden. Padahal dalam perkembangan kota, semakin padat dan tinggi kompleksitas aktivitas perkotaan, maka sarana transportasi yang baik menjadi kebutuhan vital yang menunjang mobilitas penduduknya.
Tingginya mobilitas masyarakat di daerah perkotaan menimbulkan permasalahan kemacetan, khususnya di negara-negara berkembang dengan moda transportasi publik yang tidak ideal seperti Indonesia. Pontianak merupakan salah satu kota di Indonesia dengan transportasi publik dalam kota yang nyaris mati. Jumlah angkutan kota Tahun 2012 tercatat 280 unit, padahal terdapat sekitar 600 angkutan kota yang memiliki izin operasi. Hal ini mendorong penggunaan kendaraan bermotor milik pribadi yang sangat tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Bappeda, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Kota Pontianak dalam kurun waktu 2008-2011 rata-rata sebesar 12,25 persen per tahun. Sepeda motor merupakan penyumbang kendaraan pribadi yang paling besar. Sejak tahun 2008, jalan-jalan Kota Pontianak mendapat tambahan beban 40.000 sepeda motor baru. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor ini tidak sebanding dengan pertumbuhan panjang jalan dalam kurun waktu 2008-2011 yang kurang dari 10 persen (http://bappeda.pontianakkota.go.id/index.php/rencana-tata-ruang diakses tanggal 15 April 2014).
Upaya yang telah ditempuh pemerintah Kota pontianak untuk mengatasi kemacetan di beberapa ruas jalan utama adalah melalui kebijakan perluasan jalan-jalan utama yang menjadi jalur pergerakan primer kendaraan serta melalui kebijakan jangka panjang seperti membuka akses jalan lingkar dalam yang menghubungkan kawasan permukiman di sekitar Sungai Raya Dalam dan sekitarnya menuju kawasan Kota Baru yang diharapkan dapat menguraikan kemacetan di Jalan A. Yani dan sekitarnya. Sementara itu, untuk merevitalisasi moda transportasi publik khususnya angkutan kota, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kota Pontianak tengah melakukan pemetaan jalur-jalur angkutan yang sudah tidak terlayani.
Ditinjau dari aspek fisik, hambatan pembangunan infrastruktur kota dan jalan di Kota Pontianak adalah topografinya yang relatif datar berada pada ketinggian 0,1 – 1,5 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian ini Kota Pontianak berada dalam pengaruh pasang surut. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Kota Pontianak mudah tergenang. Hal ini membuat pembengkakan anggaran perbaikan jalan. Badan jalan harus ditinggikan terlebih dahulu untuk mengantisipasi banjir, sebelum dilebarkan. Sementara itu, daerah manfaat jalan (damaja) yang seyogyanya benar-benar dimanfaatkan untuk pengguna jalan sering dirampas oleh pagar, pekarangan ruko, pedagang kaki lima termasuk lahan parkir (http://dreamindonesia.wordpress.com diakses tanggal 15 April 2014).
Informasi yang dibutuhkan para pengguna jalan dan perencana transportasi berkaitan dengan masalah kemacetan dapat berupa jawaban dari pertanyaan: satu di mana lokasi persimpangan tempat bertemunya arus lalu lintas berlawanan arah yang menyebabkan kepadatan jalan; dua, di mana terdapat pemakaian badan jalan yang tidak sesuai fungsinya, misalnya tempat berjualan pedagang kaki lima (PKL) atau lokasi parkir kendaraan bermotor yang tidak tepat; tiga, di manakah lokasi ruas jalan dengan aktivitas masyarakat yang berpotensi menyebabkan kemacetan lalu lintas; empat, di mana titik-titik pusat kemacetan pada jam-jam sibuk; dan sebagainya.
Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas perlu menyebutkan lokasi, baik berupa nama jalan, ruas jalan, persimpangan, atau lokasi obyek secara relatif. Data-data yang mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan dalam ruang bumi disebut data spasial. Oleh karena masalah lalu lintas berkaitan dengan pemanfaatan ruang jalan raya yang mengandalkan data-data spasial, dapat dikatakan bahwa fenomena kemacetan merupakan permasalahan spasial.
Pemecahan masalah spasial perlu didekati dengan pendekatan spasial atau disebut analisis keruangan. Dalam analisis keruangan, berbagai faktor mencakup pola dan persebaran, relasi dan interaksi elemen-elemen penyusun ruang penyebab kemacetan akan dijelaskan. Permasalahannya, dengan menyajikan deskripsi dan data tabel tentang kondisi ruas jalan, volume kendaraan, faktor penyebab kemacetan dan saran penanganan in situ (di lokasi-lokasi) pusat kemacetan tidak cukup informatif memberi gambaran keruangan yang dibutuhkan. Untuk memperoleh gambaran situasi lalu lintas secara komprehensif dibutuhkan pemodelan spasial yang memudahkan pengambil keputusan menganalisis permasalahan kemacetan lewat interpretasi relasi fenomena dalam ruang (jalan raya).
Untuk mengatasi kemacetan tidak hanya diperlukan upaya mengurai kepadatan lalu lintas, tapi juga perlu solusi yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dengan membangkitkan kembali transportasi publik yang efisien. Untuk itu diperlukan identifikasi permasalahan ruang jalan raya, baik berkaitan dengan lokasi, dan fenomena elemen-elemen ruang di sekitar jalan raya yang mengalami kemacetan. Oleh karena itu diperlukan pemodelan spasial sebagai alat bantu dalam identifikasi masalah kemacetan di Kota Pontianak dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografi.
Pemodelan spasial yang handal dalam memvisualisasikan fenomena keruangan adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). Keunggulan SIG sebagai pemodelan spasial adalah adanya data koordinat geografis yang diikatkan dengan obyek dalam ruang yang diskalakan. Output utama SIG adalah peta. Sifat peta yang mirip dengan kondisi di lapangan memudahkan pengamat dalam menganalisis kondisi keruangan penyebab kemacetan. Melalui kemampuan pemutakhiran (up dating) data, Out Put digital SIG bisa menunjukkan kondisi lalu lintas real time yang dapat digunakan sebagai panduan bagi pengguna jalan.