Lihat ke Halaman Asli

dian equanti

Pengajar Geografi

Gagasan Penggunaan Big Data Konsumen LPG bagi Rumah Tangga

Diperbarui: 10 Januari 2022   03:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Promosi Bright Gas Sumber: https://upperline.id/post/sambut-lebaran-pertamina-tingkatkan-penyaluran-elpiji-di-tanjung-pinang

Liquified Petroleum Gas (LPG)  merupakan bahan bakar utama hampir di setiap dapur rumah tangga di Indonesia. Bukan hanya di perkotaan, sejak konversi minyak tanah ke elpiji tahun 2007 penggunaan LPG mengisi dapur-dapur keluarga hingga pelosok desa. LPG di pedesaan kini berdampingan bersama persediaan kayu bakar di dapur masyarakat desa. Untuk keperluan masak hajatan dalam jumlah besar, memasak air dan nasi, kayu bakar masih digunakan. Sedangkan untuk memasak lauk sehari-hari masyarakat di pedesaan sudah akrab dengan LPG khususnya ukuran 3 Kg.

Harga LPG 3 Kg diperuntukkan bagi masyarakat  miskin dengan harga Rp21.000 per tabung. Namun tak jarang harga di agen dan warung menjadi Rp25.000 hingga Rp 27.000 yang bagi konsumen dianggap margin keuntungan bagi penjual. Setiap kali muncul isu kenaikan harga, sering kali para spekulan bermain menahan stok hingga terjadi kelangkaan elpiji di pasar. Akibatnya masyarakat harus mengantri panjang untuk memperoleh elpiji khususnya kemasan 3 kg bersubsidi, itu pun dengan harga melebihi ketentuan harga jual Pertamina.

Elpiji merupakan kebutuhan dasar yang karenanya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin aksesnya bagi masyarakat luas, baik dari aspek ketersediaan dan harga yang terjangkau, menjadi beban tersendiri ketika pemerintah dalam hal ini Pertamina mengambil kebijakan tidak populis dengan menaikkan harga jual. 

Komoditas ini, akan selalu menuai dilema saat dijual dengan dua harga, harga subsidi dan harga keekonomian. Misalnya harga BBM versus Pertamax, dan Pertalite demikian pula elpiji kemasan 3 kg, 5,5 kg dan 12 kg. Meskipun harga keekonomian itu pun sebenarnya tetap disubsidi walau dengan porsi yang lebih kecil. Sebagai perbandingan harga LPG 5,5 Kg baru dijual dengan harga Rp76.000 per tabung, dan LPG 12 Kg dijual dengan harga 163.000 per tabung. Ini belum termasuk persiapan membeli tabung perdana, yaitu dengan harga Rp306.000 per tabung untuk ukuran 5,5 Kg; dan Rp513.000 per tabung untuk ukuran 12Kg.

Penerapan dua harga yang memisahkan komoditas barang konsumsi untuk kalangan menengah atas dan kelompok berpendapatan rendah yang memang harus dilindungi haknya untuk memenuhi kebutuhan mereka, sering kali sulit diterapkan. Logika konsumen, ketika suatu barang bisa diperoleh dengan harga lebih murah, mengapa harus membeli dengan harga yang lebih mahal? Umumnya masyarakat paham bahwa harga subdisi diperuntukkan bagi masyarakat miskin. 

Agar subsidi tepat sasaran, di lingkungan kami pembeli perlu mendaftar dengan menunjukkan KTP agar berhak membeli LPG 3KG sebanyak 3 tabung per bulan. Sementara untuk UMKM, pembatasan pembelian tabung 3 Kg adalah 9 kali per bulan.

Mereka yang dahulu mendapat pembagian tabung 3 Kg di masa awal konversi, masih tetap menggunakannya walaupun kondisi ekonomi rumah tangga telah meningkat. Bagi keluarga baru, tampaknya sulit memperoleh tabung gas hijau perdana, sehingga biasanya akan langsung membeli kemasan 5,5 Kg.

Upaya untuk menarik pelanggan elpiji agar beralih ke kemasan 5,5Kg dan 12 kg atau dipasarkan dengan nama Bright Gas sudah dilakukan oleh pihak Pertamina, dengan promosi gratis ganti tabung. Kini tampilan tabung 12 kg pun lebih menarik dengan warna sesuai pilihan konsumen dan jaminan kualitas klep anti bocor yang lebih baik. 

Bright Gas dilengkapi dengan security seal cap atau penutup tabung yang lebih aman menggunakan teknologi double spindle dan karet pelindung. Maka dari itu, tabung Bright Gas aman dan tahan benturan. Sementara tabung LPG subsidi gas melon kurang aman dan mudah bocor. Namun apakah ini mampu menjamin konsumen elpiji 12 kg ini bertahan? Ataukah perlu strategi lain?

Menurut pendapat Saya, sebagian masyarakat kita dengan pendapatan cukup baik atau golongan menengah sebenarnya tidak begitu keberatan dengan kenaikan harga elpiji nonsubsidi . Mengapa saya berasumsi demikian? Sering kita jumpai sehari-hari masyarakat golongan menengah ini memiliki konsumsi yang cukup tinggi, mulai dari kegemaran berganti gadget terbaru. Juga barang-barang fesyen lain.  

Tak terkecuali pemenuhan kebutuhan kesehatan dan kecantikan. Dibuktikan dengan menjamurnya produk-produk kecantikan, gadget, fesyen dan kesehatan yang berharga mahal, dan laris di kalangan menengah atas. Sebagian besar malah diisi produk-produk impor. Bukankah konsumsi barang-barang seperti ini sifatnya sekunder dibandingkan pengeluaran untuk elpiji?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline