Lihat ke Halaman Asli

dian equanti

Pengajar Geografi

Pak Jumadi, Nelayan Pelestari Mangrove dari Setapuk Besar, Singkawang Utara, Kalimantan Barat

Diperbarui: 5 Januari 2022   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Jumadi (Dokumentasi, 2020)

Kami menemui Pak Jumadi atas saran seorang teman yang bekerja di Dinas Pariwisata Singkawang. Pertemuan terjadi dua kali. Pertama saat berkunjung ke Setapuk Mangrove pada 13 Oktober 2020 sekitar pukul 14.30 WIB. Kali kedua, pada 14 Oktober 2020 sekitar pukul 16.30 sengaja kami sempatkan berkunjung ke kediaman beliau sehari sebelum bertolak pulang ke Pontianak. Berikut hasil wawancara yang kami peroleh.

Pak Jumadi bertubuh tinggi besar. Merasa postur tubuhnya memenuhi syarat, Pak Jumadi muda pernah mengikuti seleksi penerimaan TNI dua kali, namun gagal. Dengan gaya bicara blak-blakan dan perbendaharaan kosakata yang baik, ia terkesan sangat cerdas. Orang yang terlibat obrolan dengannya mungkin tidak akan percaya bahwa ia hanya lulusan SMA.

Setelah menamatkan SMA di Tahun 1997, ia bekerja di Pontianak di sebuah perusahaan sawmill (perusahaan penggergajian kayu) selama 7 tahun. Masa ketika perusahaan-perusahaan berstatus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masuk di Kalimantan Barat sekitar tahun 2000-an, banyak perusahaan sawmill tutup karena adanya pelarangan perusahaan penebangan hutan. Ia berhenti bekerja sebagai buruh sawmill di tahun 2004, dan kembali ke kampung halamannya di Singkawang.

Di Singkawang, ia mengikuti jejak keluarga pergi melaut. Ayah dan adik laki-lakinya memang bekerja sebagai nelayan. Mula-mula menjadi anak buah kapal, hingga dapat membeli kapal penangkap ikan sendiri. Pada tahun 2006 ia mendirikan kelompok nelayan yang diberi nama Surya Perdana Mandiri. Ada kisah unik dibalik nama kelompok ini. Surya adalah nama seorang pemilik toko emas yang dikenal sebagai orang terpandang yang menjadi panutan di kampungnya. Pak Surya ini dikenal ramah dan mau bergaul dengan siapa saja. Beliau dikagumi karena sosoknya bijaksana dalam memandang sesama manusia. Nama perdana artinya pertama, maksudnya kelompok nelayan ini yang pertama ada di Setapuk dan diharapkan dapat berkontribusi bagi masyarakat nelayan sekitar. Kelompok nelayan ini memiliki Anggaran Dasar Rumah Tangga dan peraturan yang disepakati anggotanya, serta iuran kas yang digunakan untuk membiayai berbagai kegiatannya.

img-20201026-wa0016-61d4a8b14b660d36290ca0d2.jpg

                                                                         Perahu-perahu Nelayan yang di sungai kawasan Setapuk Mangrove

Kelompok mangrove ini sering mendapat cibiran dari masyarakat. Dari 10 orang anggota kelompok nelayan, beberapa di antaranya tidak sepakat membentuk kelompok mangrove. “Pekerjaan yang sia-sia”, komentar anggota nelayan yang waktu itu tidak setuju. Sebelumnya, di Desa Setapuk sudah ada 3 kelompok mangrove. Kelompok mangrove yang dinamai Swadaya Peduli Mangrove merupakan kelompok mangrove ke-4 di Setapuk.

“Sampai kapanpun, nama swadaya tidak akan dihilangkan. Secara filosofis kata swadaya ini menjadi motif kelompok ini agar tidak hanya menunggu bantuan (untuk bergerak)”.  

Upaya menanam mangrove di sekitar pantai oleh kelompok sebelumnya, tidak ada yang berhasil. Mangrove yang ditanam gagal tumbuh, atau terbawa arus laut sebelum tumbuh.

Merespon anggota kelompok nelayan yang tidak setuju dengan dibentuknya kelompok mangrove, Pak Jumadi mengatakan,

“Tidak mau (ikut) tidak masalah. Semua anggota tetap saya rangkul. Tidak ada yang karena tidak sependapat dengan saya, lalu saya keluarkan. Yang penting biaya (penanaman mangrove) tidak mengurangi apa yang harus disetorkan ke kelompok nelayan”.

Meskipun tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari anggota nelayan, dan usahanya dipandang dengan apatis oleh masyarakat, Pak Jumadi tetap berkeyakinan hanya dengan menanam mangrove lahan kampungnya dapat diselamatkan. Ia tidak ingin Setapuk suatu saat hilang sebagaimana abrasi lumayan parah dialami suatu kampung lain. Tak hilang akal dalam mengajak orang lain ikut peduli, Pak Jumadi mengajak anak-anak kampung berusia Sekolah Dasar yang bermain di sekitar pantai sepulang sekolah untuk mencari buah bakau. Buah bakau ini dijadikan bibit bakau untuk ditanam. Bakau atau mangrove merupakan tumbuhan yang sangat sensitif terhadap perbedaan kondisi lingkungan, seperti salinitas (kadar garam), pH tanah dan air tempat ia tumbuh, persaingan dengan tanaman gulma lain, maupun gelombang. Menanam mangrove dengan bibit dari luar kerap kali gagal karena tanaman tak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu dengan menggunakan bibit dari buah bakau daerah sendiri diharapkan bibit tersebut mewarisi sifat induk dewasa yang mampu bertahan di lingkungan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline