Lihat ke Halaman Asli

diandra putri

Mahasiswi

Studi Kasus: Perang dan Keamanan dalam Perspektif Realisme Klasik dan Neo-Realisme

Diperbarui: 16 Oktober 2023   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perang dan konflik internasional selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam studi Hubungan Internasional. Teori realisme klasik dan neo-realisme memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami perang dan konflik yang terjadi di dunia internasional. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa contoh kasus yang dapat dijelaskan menggunakan teori yang ada di Ilmu Hubungan Internasional yaitu realisme klasik, neo-realisme defensif dan neo-realisme ofensif.

Teori Realisme Klasik

Dalam pandangan teori realisme klasik, power dianggap lebih penting daripada kerjasama internasional. Negara harus memperkuat dirinya sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Dalam pandangan teori realisme klasik juga ada yang nama nya Big Power Rule dimana negara yang kuat dapat mengatur atau mengendalikan negara-negara yang lemah. 

Perang Teluk II merupakan salah satu contoh kasus yang menggambarkan perspektif teori realisme klasik. Perang Teluk II merupakan upaya invasi Irak atas Kuwait yang berlangsung pada tahun 1990-1991. Pada tanggal 2 Agustus 1990, hanya dalam 24 jam Irak mampu menguasai wilayah Kuwait dengan mengerahkan kurang lebih 2.000 tank, 100.000 personel militernya serta beberapa pesawat jet untuk menyerang Kuwait. Invasi ini mendapatkan kecaman di dunia internasional, sehingga PBB, Uni Eropa hingga Amerika Serikat mengambil tindakan seperti memutus kerjasama ekonomi dengan Irak hingga membekukan kekayaan Irak. Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi yang menuntut Irak untuk keluar dari wilayah Kuwait yang dikeluarkan pada tanggal 19 November 1990 namun diacuhkan oleh Irak. Hingga pada tanggal 15 Januari 1991, Amerika Serikat menggunakan Hak Veto Dewan Keamanan PBB bersama Uni Eropa menyerang Irak. Akhirnya Irak menerima resolusi yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB. 

Teori Neo-Realisme Defensif

Teori Neo-realisme Defensif atau Defensive Structural Realism menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan maksimilasi kekuatan, tetapi hanya mencari kekuatan yang tepat. Neo-realisme defensif lebih menekankan pada aspek keamanan negara. Dalam teori ini juga ada konsep Balance of Threat yang dicetuskan oleh Stephen Waltz. Dia berargumen bahwa respon aliansi antar negara tergantung terhadap persepsi ancaman yang dilihat dari perilaku negara lain atau disebut dengan bandwagon

Contoh kasus yang menggambarkan perspektif teori neo-realisme defensif adalah peluncuran anti satelit (ASAT) oleh Tiongkok. Tiongkok mulai merasa kalah dari kekuatan Amerika Serikat yang semakin menguasai ruang angkasa. Tiongkok memandang ruang angkasa tidak berbeda dari wilayah daratan, laut dan udara yang ada di bumi dimana ruang angkasa harus diperjuangkan agar Tiongkok setara dengan negara-negara besar yang lain seperti Amerika dan Rusia sehingga Tiongkok menyusun program luar angkasa. Tiongkok terus mengembangkan program tersebut diantaranya co-orbital anti-satellite system, directed energy weapons, direct-ascent ASAT, dan cyber ASAT capabilities. Menurut  Tiongkok, Amerika Serikat memonopoli ruang angkasa dan Tiongkok tidak bisa menerima monopoli dari  negara lain. Tiongkok merasa terancam sehingga Tiongkok melakukan Balance of Threat.

Teori Neo-Realisme Ofensif

Teori Neo-Realisme Ofensif atau Offensive Structural Realism dicetuskan oleh John Mearsheimer. Ia berpendapat bahwa negara akan mencoba bertahan dengan terus meningkatkan kekuatannya hingga tidak ada yang bisa mengalahkannya. Neo-realisme ofensif menganggap bahwa ekspansi militer adalah kunci jika negara ingin menjamin keamanan dan survivalitas negaranya ditengah struktur internasional yang anarki. Teori ini menekankan sikap maksimalisasi kekuatan negara. 

Contoh kasus yang menggambarkan perspektif teori neo-realisme adalah invasi Rusia terhadap Ukraina dalam melakukan aneksasi wilayah Krimea pada tahun 2014. Pada saat itu Rusia mencoba melakukan aneksasi atau pengambilan wilayah secara paksa terhadap Krimea yang merupakan wilayah bagian paling selatan Ukraina. Pada saat itu juga Ukraina sedang menghadapi konflik internal yang memanas. Upaya Rusia dalam mengambil wilayah Ukraina membuat Uni Eropa yang merupakan organisasi regional khawatir dan terimidasi. Rusia juga merasa terancam atas kedekatan Ukraina dengan Uni Eropa terutama jika Ukraina menjadi anggota Uni Eropa. Rusia, di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, berusaha meningkatkan pengaruhnya di kawasan sekitarnya. Mereka melihat Ukraina sebagai bagian penting dalam memperluas wilayah pengaruhnya dan berusaha mengamankan posisi strategis di wilayah Krimea. Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kekuatan Rusia di kawasan.Dalam perspektif teori neo-realisme ofensif, invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2014 merupakan upaya Rusia untuk meningkatkan pengaruhnya di wilayah kawasan dan menunjukkan kekuatan politik dan militernya di dunia internasional. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline