Hangat senyumu menyelimuti logika.
Suara tawamu kadang bergema di belakang kepala.
Hatiku masih berharap kau disana.
Lama tak kupanggil namamu, tapi kupastikan kamu tidak asing dimulutku.
Yang tersisa darimu kini hanya sabun dan sebotol air yang belum sempat kau habiskan.
Yang kusimpan darimu hanya celana dan jaket yang wanginya samar pantang pudar.
Barang-barang kecil itu kebingungan karena tuannya tidak kembali pulang.
Katanya kau lebih bahagia disana.
Katanya kau sudah tidak sakit-sakit lagi disana.
Katanya kau sudah bersama ayah dan ibumu disana.
Katanya kalian sudah tertawa, muda selamanya.
Bagaimana rasanya hidup tanpaku disana?
Asumsiku kamu tidak perlu repot marah-marah.
Pikirku kamu tidak perlu menghela napas panjang setelah aku lupa membuang sampah.
Dugaku kamu tidak perlu pulang malam setelah hari yang panjang.
Mau kuceritakan hidupku tanpamu disini?
Aku yang hari ini lebih cantik.
Aku yang hari ini lebih berani.
Aku yang hari ini tidak lagi menyebalkan.
Sementara kau pergi, aku disini bertahan.
Tidak adil jika dipikirkan.
Tapi karena aku sudah lebih berani, maka ku tahan.
Rasanya berjalan tanpa kaki membuatku harus menyeret beban sendirian.
Rumah yang kau tinggalkan masih bersih dan rapih.
Setidaknya aku mencoba untuk tetap menjaganya seperti itu.
Tidak ada yang bisa menandingi telatenmu.
Namun kuharap kau masih bangga melihatku berusaha.
Tidak mudah tanpamu.
Dari mulai perabotan rumah hingga barang-barang tanpa tuan yang menunggumu kembali.
Hal kecil yang kau tinggalkan bersamaan dengan rasa cintaku yang tersesat bersama duka.
Karena duka adalah cinta tanpa rumah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H