Kegaduhan bernuansa agama akhir-akhir memang sulit dielakkan. Salah satu yang mendapat banyak sorotan di media adalah pembakaran bendera yang disusul dengan aksi bela membela. Tema ini tidak hanya menjadi perbincangan di ruang-ruang akademis kampus, di kalangan elite politik, tapi juga di angkringan kaki lima bahkan sampai di grup-grup whatsaap ibu-ibu anggota Dasa Wisma. Sanggah menyanggah terjadi, tuding menuding tak dapat dihindari. Masing-masing merasa pada posisi yang paling benar.
Di tahun politik, simbol agama memang menjadi menjadi barang "seksi" yang banyak dimanfaatkan sebagai strategi untuk memenangi pemilu. Simbol agama dijadikan mesin untuk merenggut simpati publik. Cukup naif jika ada pernyataan bahwa polemik ini hanya masalah agama yang tidak berkaitan dengan politik, nyatanya di beberapa aksi berjudul "membela agama" sebagian kelompok membubuhinya dengan tagar #2019Ganti Presiden.
Menggunakan simbol agama dalam kepentingan politik dikategorikan sebagai politisasi agama, yaitu ketika wilayah agama dan politik dicampuradukkan. Lebih jauh, pencampuradukan ini berakibat pada penghilangan agama dari fungsinya yang hakiki yaitu sebagai sumber moralitas. Agama hanya dijadikan sumber legitimasi untuk memobilisasi dukungan.Yang patut disesalkan, aksi ini kerap diekspresikan melalui tindakan-tindakan intoleran seperti ungkapan-ungkapan kebencian, baik melalui media-media sosial, spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai rumah ibadah, atau bahkan melalui khutbah-khutbah Jumat dan berbagai pengajian.
Politisasi agama potensial menyebarkan benih intoleransi. Hal ini mutlak harus diwaspadai oleh Indonesia sebagai negara dengan pluralitas yang given. Sikap dan perilaku intoleran jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip penghargaan atas keragaman.
Secara sederhana, makna toleransi adalah rights to differ, hak untuk berbeda. Seluruh manusia diberi ruang untuk merayakan perbedaan tersebut. Namun begitu, luasnya ruang perbedaan bukannya tanpa batas, terlebih dalam konteks Indonesia. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi agar perayaan atas hak untuk berbeda tidak memecah belah persatuan bangsa.
Lebih lanjut toleransi juga bukan sebatas "hak" untuk berbeda saja, tetapi juga merupakan "kewajiban" untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada berdasarkan pada konsensus bersama, yaitu UUD 1945. Klaim kebenaran berbasis agama yang ingin diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa berlawanan dengan spirit penghargaan keragaman dalam bingkai NKRI, apalagi jika sampai ingin mengganti dasar negara.
Milad Hana (2008) melengkapi diskursus tentang toleransi dengan memberikan pengertian bahwa toleransi tidak sekedar menghormati dan menghargai yang berbeda. Toleransi merupakan upaya aktif untuk menyongsong yang lain. Ia membedakan toleransi pasif (lazy tolerance) dengan toleransi aktif (qabulul akhar). Menurutnya, saat ini toleransi pasif sudah tidak relevan dan harus ditingkatkan menjadi toleransi aktif, yaitu upaya membangun dan menyebarluaskan budaya damai sebagai counter terhadap budaya kekerasan yang biasanya berawal dari klaim-klaim kebenaran atas dasar agama.
Upaya-upaya meneguhkan toleransi penting untuk terus disemai dengan jangkauan yang seluas-luasnya, dengan menitikberatkan pada kontekstualisasi dalam bingkai penjagaan NKRI. Dalam contoh kasus yang sudah disampaikan sebelumnya, ketika pembakaran bendera bertuliskan kalimat syahadat dianggap sebagai tindakan intoleran maka perlu dipastikan, apa makna di balik pengibaran bendera tersebut. Jika pengibaran bendera digunakan sebagai salah satu cara untuk membangkitkan bibit radikalisme dan ekstremisme maka hal ini tidak dapat lagi dibiarkan atas nama toleransi.
Penggiringan makna toleransi yang salah kaprah ini perlu diwaspadai dan dihalau secepat mungkin karena kerap digunakan sebagai cara baru untuk melawan orang-orang yang kritis terhadap fenomena radikalisme dan ekstremisme berbasis agama. Sudah saatnya kita naik kelas. Agama harus kita tempatkan pada posisi yang seharusnya sebagai pedoman moral dalam relasi sesama manusia. Jangan lagi agama dijadikan alat kepentingan politik yang berujung pada terpecah belahnya persatuan bangsa. Republik ini dibangun dengan pilar keragaman, oleh karenanya menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk menjaga keragaman itu.
Sumber :
opini siti rofiah meneguhkan toleransi melawan politisasi agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H