Lihat ke Halaman Asli

Jerat Cinta dari Balita Gede

Diperbarui: 3 Juli 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Entah kenapa Tuhan tak mau menengok ke arahku. Apalagi sudi memberi solusi padaku. Ternyata ... hidup di hamparan fana begitu mengerikan.

Namaku Reyhan. Aku punya seorang MANTAN kekasih yang sangat mengekang. Bahkan dia pun begitu kekanak-kanakan. Gila saja! Masa ... setelah hubungan kami bubar, dia masih saja cemburu dan marah-marah padaku kalau pesan/inbox/W-A/BBM/wechat/line yang dia kirim buatku tidak aku gubris. Dasar wanita! Maunya menang sendiri saja.

Untung kepalaku buatan Tuhan. Bukan buatan china. Kalau tidak, pasti sudah meledak! Pasalnya wanita itu sekarang mengancamku mau bunuh diri kalau aku tak sudi lagi padanya. Ampun dah!

Kenapa sih kaum hawa suka seenaknya kalau bertindak. Padahal kita sudah deal untuk putus. Tapi kenapa aku mesti terus memberi perhatian padanya? Apakah mereka tidak mau berfikir secara dewasa dengan pikiran yang terbuka (?) bukannya malah menuntut dan mengancam mau bunuh diri seperti ini.

Memang salahku apa (?) sehingga dia tak mau melepaskan aku. Aku itu sudah bosan dengan sikapnya yang mengekang. Aku juga mau bebas seperti mereka. Bukan malah dibatasi seperti ini.

Arrrghh! Nyesel banget rasanya bisa bercinta sama wanita yang kekanak-kanakan. Padahal usianya sudah bisa dibilang dewasa. Tapi tingkahnya masih seperti balita yang suka ngambek kalau kemauannya tidak dituruti.

Badan gede, otak pintar tapi mental setara sama anak PAUD. Jauh dari yang aku harapkan. Lelaki mana yang mampu bersabar jika hidupnya dimata-matai. Segala gerak-geriknya diintai.

Aku sudah bosan! tahu tidak sih? Muak rasanya bercinta dengan tipe wanita bocah sepertimu. Apalagi sekarang keluarga dia menututku yang macam-macam. Aku dipaksa melakukan ini dan itu. Agar putri kesayangan mereka tidak jadi bunuh diri. Pasalnya sekarang dia sudah nggak mau makan dan terus mengurung diri di kamar.

Arrrghh! Sialan! Bangsat! Keparat! Andai saja jiwa ini buatan India. Pasti mampu menghadapi kemelut ini dengan bernyanyi. Sayangnya bukan, dan itu membuatku tertekan.

Semua mata menyalahkanku. Semua pihak menudingku. Semua kalimat menyudutkanku. Padahal apa salahku? Kenapa aku harus menuruti mereka? Kenapa hanya aku saja yang jadi terdakwa. Mereka hanya mau membenarkan apa yang diucapkannya. Sedang aku harus manggut-manggut meng-iyakan argument mereka.

Woi! Kalian! Punya otak kagak? Seenaknya saja melemparkan semua kesalahan padaku. Emangnya aku budak kalian apa (?) yang harus menuruti semua perintah dan khotbah sampah juga tudingan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline