Lihat ke Halaman Asli

Mengejar Nilai Diri, Bukan Harga Diri

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seseorang sedang menjual sebuah mobil bekas dengan kondisi mesin mobil mati. Penyebabnya mobil itu sudah tak pernah dipakai selama setahun. Maklum orang ini sudah punya 2 mobil yang lebih bagus dan tahunnya lebih baru.

Nilai jual mobil tersebut sebenarnya tak kurang dari 70 Juta, tapi dengan pertimbangan pemilik diiklankanlah mobil tersebut seharga 55 Juta. Para calon pembeli yang sebagian adalah makelar pun akhirnya pagi-pagi sudah ngantre datang ke rumah pemilik, mereka ingin melihat mobil tersebut.

Apa yang terjadi? Semua mau membeli dengan harga yang ditawarkan 55 Juta. Hitung-hitungan ongkos perbaikan seluruhnya tak akan lebih dari 3 juta, kalau dijual lagi berarti sudah untung duduk 12 Juta. Wow..

Pemilik mobil bingung, mau diberikan siapa? Semua berani membayar sesuai harga iklan. Menaikkan harga jual tidak etis. Demi rasa keadilan, pemilik menawarkan kepada 7 orang yang ngantre mau membeli agar mengundi saja, nama yang keluar berarti dia yang beruntung.

Para pembeli menghargai saran pemilik, tapi mereka tidak setuju. Bagi mereka tidak ada istilah mengundi untuk sebuah jual beli. Mereka semua sepakat bahwa semua dari mereka akan mengajukan penawaran tertutup untuk menentukan siapa yang berani menawar paling tinggi, itulah yang berhak membeli.

Pemilik mobil sepakat karena itu kemauan pembeli, dan penawaran tertutup dilakukan. Mobil itu pun akhirnya terjual akibat penawaran tertinggi seharga 57 Juta.

Cerita diatas sangatlah sederhana. Kita dapat belajar sesuatu yang sangat berharga. Harga/nilai sebuah mobil (barang) ternyata standarnya baku dan berlaku umum. Berapapun nilai yang diberikan oleh pemilik tak akan jauh berkurang dengan kisaran nilai pasar. Seandainya mobil itu mesinnya hidup pasti lakunya berkisar70 Juta, sesuai harga pasaran.

Jadi nilai/harga sebuah barang adalah senilai penilaian umum/pasaran.

Lalu seberapakah nilai seseorang manusia?

Manusia tidak memiliki nilai pasar, semua tergantung sikap perilaku. Contohnya,Si pemilik mobil, kesempatan ada untuk menaikkan harga dengan berbagai alasan. Bisa saja beralasan bahwa iklan itu harganya salah ketik, atau mengatakan mobilnya tidak jadi dijual.

Si pemilik masih beretika, dia tidak mau jatuh nilai dirinya, dia tak mau keluar dari komitmen harga yang sudah terlanjur ditawarkan. Dia tidak mau nilai dirinya dinilai senilai dengan nilai kenaikan harga mobil. 

Kita menilai nilai diri Si pemilik mobil itu tinggi. Tak ternilai, karena sikap perilaku dan akhlaknya yang baik. Dan sebaliknya penilaian terhadap orang bisa jatuh melorot ke jurang ternista jika terbukti buruk dalam sikap dan perilaku.

Akhlak adalah bunga kehidupan kita. Dia mampu mengukur seberapa nilai dari diri kita. Dengan akhlak, rasa sayang dan senang akan selalu mengikuti kita.Akhlak merupakan modal hidup. Betapa sengsara orang yang tidak mempunyai akhlak. Meskipun berharta dan merasa punya harga diri kalau tidak ada akhlaknya apalah artinya . Meskipun cantik dan punya harga diri jika sikapnya buruk dan tiada berakhlak, maka kecantikannya tiadalah berguna.

Menjadikan diri bernilai adalah sama dengan menjadikan diri berharga.  Memang sebaikanya kita  mengejar nilai diri dan bukan semata-mata untuk mengejar harga diri....






Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline